Mohon tunggu...
Garda Maharsi
Garda Maharsi Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pemerhati Sosial-Budaya

Seorang peneliti sosial-humaniora yang sekaligus praktisi dunia Public Relations.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

William Sidis

25 November 2024   16:47 Diperbarui: 25 November 2024   16:48 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://amenteemaravilhosa.com.br/william-james-sidis/

---buat E

Andai ada sebuah pertanyaan "Siapa orang terpintar di dunia?" dan harus ada jawaban pasti, orang akan mengingat Albert Einstein, atau Leonardo da Vinci, atau mungkin Stephen Hawking. Namun amat jarang orang menyebut William James Sidis dengan perjalanan hidupnya yang tragis...

William Sidis, dengan rambut belah pinggir dan mata yang pincing, adalah seorang jenius. Dengan IQ antara 250-300, Sidis seperti hujan es di siang gurun. Pada umur 18 bulan ia sudah membaca harian New York Post, menulis puisi dalam bahasa Perancis ketika berumur 5 tahun, dan bicara 8 bahasa ketika belum genap 6 tahun.

Ketika menginjak 9 tahun, Sidis lolos ujian masuk Harvard. Saat usianya 11, dia bahkan sudah memberikan kuliah di klub matematika Harvard dengan tema "Four Dimensional Bodies". Januari 1910 itu, puluhan professor dan mahasiswa berkacamata menyemut, mendengarkan paparan dari seorang "boy-wonder" Amerika. Dan mayoritas dari mereka mengumpat.

Beberapa yang menyukainya akan membatin bahwa Sidis adalah masa depan matematika. Bagi yang membencinya, anak kecil norak ini hanya seorang "radio rusak" yang bahkan tak pernah mencium perempuan sepanjang hidupnya...

Orang-orang Amerika tidak cuma menyorot Sidis, namun juga Bapaknya. Adalah pria Yahudi berjenggot bernama Boris, yang dengan sabar dan telaten, mengajari Sidis. Boris adalah seorang psikolog, lulus sarjana dan master dari Harvard dalam 3 tahun. Masa kecilnya yang suram membuatnya menelaah keadaan dengan cara-cara tidak biasa. Boris adalah imigran yahudi yang masuk Amerika setelah kejadian pogrom Ukraina tahun 1888. Dan di negeri dimana intelektualitas lebih dihargai lebih dari pakaian jas, Boris membalaskan dendamnya.

Boris meraih doktor bidang psikiatris dengan spesialisasi pada abnormal psychology. Pria ini begitu ambisius dan melawan. Dengan sengit Boris mencoba membangun metode pendidikan baru, dan anaknyalah yang menjadi percobaannya. Dalam sebuah buku berjudul Philistine and Genius bahkan Boris menghardik sistem kurikulum pendidikan Amerika. Baginya, masa tumbuh kembang anak akan menjadi penuh ketika sedari kecil anak dikenalkan dengan disiplin sains dan bahasa, untuk menjauhkan mereka dari "sifat tercela, kejahatan, dan budaya kriminal".

Dan Boris berusaha konsekuen dengan trek itu. Sedari bayi William Sidis dikenalkan dengan piranti analisis sains, kecakapan bahasa asing, dan etiket orang dewasa. Usia 5 tahun William Sidis sudah membaca tulisan Plato dalam bahasa Yunani asli, duduk di meja makan sembari mengiris steak dengan pisau, dan belajar algoritma dengan rumus yang dibuat sendiri.

https://allthatsinteresting.com/william-james-sidis
https://allthatsinteresting.com/william-james-sidis

Disiplin adalah metode belajar yang tidak kenal ampun buat William Sidis. Dan Boris, dengan kemarahan yang seperti radang, suka dengan itu. Setiap anaknya mencapai sebuah capaian tertentu, ia memanggil wartawan untuk meliput. Semua orangtua di Amerika menonton dengan seksama, dan membayangkan mereka mempunyai anak seperti William Sidis. Tanpa pernah merasakan perihnya...

William Sidis sendiri sedar dengan sorot kamera dan berita yang memenuhi tiras berisi foto dirinya. Namun Sidis kecil tidak serta merta menerima...

William memang akhirnya lulus college, dan masuk Harvard sebagai jenius kecil. Tapi dia tidak lulus. Dia merasa publisitas sudah merenggut kenyamanannya. Sorot kamera memudarkan rasa galaunya sepanjang hidup. Jutaan rasa iri anak seusianya justru membentuk rasa minder dan takut.

William Sidis memilih pergi...

Dia putuskan hubungannya dengan keluarganya. Hidupnya jadi kembara. Tak terlalu jelas dimana dia berlabuh, dengan kerja seadanya yang jadi topangan hidupnya. Praktis, hidupnya menghilang dari sorot kamera.

Sampai pada tahun 1937 majalah New Yorker mengangkat kembali kisah hidupnya. Esai itu diberi judul April Fool, berisi cerita paradoks hidup William Sidis pasca hidupnya yang redup..

Di tulisan itu tergambar bagaimana sedih dan runyamnya sebuah potret hidup seorang jenius yang tak berumah lagi. Ketika diwawancara, Sidis sudah tak lagi kecil. Usianya 39 tahun, dan hidup menggelandang dari satu tempat ke tempat yang lain. Ia dilukiskan sebagai pria kusam yang tinggal di apartemen kumuh di pinggiran Boston, dan tampak kesulitan membahasakan pikirannya dengan lempang. Tak ada lagi matematika yang cemerlang, atau cerita polyglot yang gemar bicara banyak bahasa. Yang tersisa hanya derai penyesalan...

https://amenteemaravilhosa.com.br/william-james-sidis/
https://amenteemaravilhosa.com.br/william-james-sidis/

Dan sejak tulisan itu kembali naik, menjadi viral --meski era itu lema viral belum tentu dikenal---hidup Sidis jadi terantuk jeram. Usahanya untuk menghilang dari peredaran seperti gagal, dan cemooh publik kembali datang.

William Sidis, dengan sisa-sisa tenaga diantara tubuh yang perot, meradang. Sidis menggugat majalah New Yorker karena tulisannya dianggap mengganggu privasinya...

Akan tetapi malang tak bisa dinyana. Mahkamah memutuskan bahwa gugatan Sidis kalah. Media bebas mengangkat tulisan apa saja. Toh didalam tulisan itu juga memuat wawancara Sidis dengan sadar. Lagipula, apakah artinya kisah hidup dan privasi ketika sorot media sudah mencapai wajah kita?

https://m.apdut.com/goresan/post/biografi-william-james-sidis/
https://m.apdut.com/goresan/post/biografi-william-james-sidis/

Barangkali begitulah sebuah paradoks bekerja. Sidis yang begitu dipuja keluarga Amerika, tiba-tiba harus lindap. Hidupnya seakan impian banyak pemuja jika ia mau menuruti peta jalan yang dibuat Boris. Tapi Sidis kecil tahu artinya melawan. Dan mungkin tidak terlalu tahu bagaimana cara merespon konsekuensi dari sebuah tindakan.

Dan berakhir menyesali hidupnya yang pernah cemerlang seperti sinar pagi. Lalu menatap peraduan di barat, dan tenggelam oleh sesal diri.

Pada 1944, tubuhnya ditemukan oleh pemilik apartemen sewaan sudah terkulai setengah membusuk. Pada usia 46 tahun. Dan ketika diusut, cerebral haemorrhage jadi penyebab kematiannya...

Adilkah hidup bagi seorang William Sidis? Benarkah rasa cinta dan upaya tekun Boris dan istri? Kemanakah mimpi keluarga Amerika akan berlabuh ---punya rumah besar dan anak jenius yang serba terampil?

Praktis disitu kita sering memompa diri terlalu keras. Gelembung-gelembung tubuh kita tak bisa menyesuaikan harapan-harapan yang dialamatkan...

Pintar, kaya, dan wibawa bisa dicetak. Metodologi bisa dibuat. Tujuan bisa digambar. Tapi jalan hidup berbeda. Mereka tak bisa dikarbit, dijejalkan pada sebuah rel yang membujur lurus sampai tujuan.

Dan ketika krisis datang, rasa tidak percaya akan menembak kita dari kejauhan. Entah apakah tepat sasaran. Tapi ketika krisis, sesuatu yang ideal seperti rapuh tak bertulang, lalu kita menjadi enggan...

William Sidis sudah membuktikan. Kita belajar dan menimbang banyak jalan. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun