William Sidis sendiri sedar dengan sorot kamera dan berita yang memenuhi tiras berisi foto dirinya. Namun Sidis kecil tidak serta merta menerima...
William memang akhirnya lulus college, dan masuk Harvard sebagai jenius kecil. Tapi dia tidak lulus. Dia merasa publisitas sudah merenggut kenyamanannya. Sorot kamera memudarkan rasa galaunya sepanjang hidup. Jutaan rasa iri anak seusianya justru membentuk rasa minder dan takut.
William Sidis memilih pergi...
Dia putuskan hubungannya dengan keluarganya. Hidupnya jadi kembara. Tak terlalu jelas dimana dia berlabuh, dengan kerja seadanya yang jadi topangan hidupnya. Praktis, hidupnya menghilang dari sorot kamera.
Sampai pada tahun 1937 majalah New Yorker mengangkat kembali kisah hidupnya. Esai itu diberi judul April Fool, berisi cerita paradoks hidup William Sidis pasca hidupnya yang redup..
Di tulisan itu tergambar bagaimana sedih dan runyamnya sebuah potret hidup seorang jenius yang tak berumah lagi. Ketika diwawancara, Sidis sudah tak lagi kecil. Usianya 39 tahun, dan hidup menggelandang dari satu tempat ke tempat yang lain. Ia dilukiskan sebagai pria kusam yang tinggal di apartemen kumuh di pinggiran Boston, dan tampak kesulitan membahasakan pikirannya dengan lempang. Tak ada lagi matematika yang cemerlang, atau cerita polyglot yang gemar bicara banyak bahasa. Yang tersisa hanya derai penyesalan...
Dan sejak tulisan itu kembali naik, menjadi viral --meski era itu lema viral belum tentu dikenal---hidup Sidis jadi terantuk jeram. Usahanya untuk menghilang dari peredaran seperti gagal, dan cemooh publik kembali datang.
William Sidis, dengan sisa-sisa tenaga diantara tubuh yang perot, meradang. Sidis menggugat majalah New Yorker karena tulisannya dianggap mengganggu privasinya...
Akan tetapi malang tak bisa dinyana. Mahkamah memutuskan bahwa gugatan Sidis kalah. Media bebas mengangkat tulisan apa saja. Toh didalam tulisan itu juga memuat wawancara Sidis dengan sadar. Lagipula, apakah artinya kisah hidup dan privasi ketika sorot media sudah mencapai wajah kita?