Baru dua hari saya menengal Rudi dan Yadi, mereka non muslim. Mereka berdua adalah karyawan pusat yang datang ke kantor saya yang terletak di pedesaan dalam rangka kunjungan kerja selama tiga hari. Kedatangannya tidak pada waktu yang tepat. Ia datang pada jum'at (20/07/12) hari pertama puasa yang ditetapkan oleh Muhamadiyah.
Rata-rata masyarakat yang tinggal disekitar tempat saya bekerja adalah pengikut muhamadiyah. Sehingga hari Jum'at tersebut sudah banyak yang mulai berpuasa. Rumah makan Padang sudah mulai tutup, cuma ada satu-dua rumah makan yang masih buka karena mereka mengikuti aturan pemerintah yang mulai puasa pada hari sabtu (21/07/12).
Untung masih ada rumah makan yang buka, sehingga Rudi dan Yadi bisa beli makanan untuk makan siang mereka. Namun, esoknya (21/07/12)Â di hari kedua, tidak ada lagi rumah makan yang buka karena semua masyarakat muslim sudah mulai berpuasa.
Rudi dan Yadi kelabakan mencari makanan siang. Hotel tempat mereka menginap tidak menyediakan makanan siang selama ramdhan ini. Maklum, hotel yang mereka tempati adalah hotel syariah. Pihak hotel cuma menyediakan makanan untuk sahur dan berbuka. Tidak ada kompensasi pengelola hotel skala kecil ini meskipun itu untuk non muslim. Padahal hotelnya memliki embel-embel syariah. Bukankah Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang tidak menganiaya siapapun, walau mereka non muslim.
Secara tidak langsung, Rudi dan Yadi merasa "teraniya" perutnya karena mereka tidak terbiasa berpuasa. Melihat kondisi mereka saya cukup iba. Warung makanan tidak ada yang buka satupun, sementara stock makanan di kantor juga tidak ada. Maka mereka berinisitif makan mie instan saja untuk mengganjal perut mereka.
Untuk beli mie instan saja susahnya minta ampun, perlu menjelajahi berpuluh kilometer supaya bisa menemukan warung kelontong yang buka. Kendalanya tidak pula sampai disitu. Setelah membeli mie instan. Tempat memasaknya tidak pula ada. Sementara dispenser pemanas air juga sedang rusak. Jadi mie instan yang dibeli tidak bisa dimasak. Percuma beli mie, jika tidak bisa dimasak.
Lalu saya berpikir untuk meminta bantuan kepada uni Len tetangga yang tinggal di sebelah kantor. Saya minta tolong sama uni Len untuk memasakan mie instan yang sudah dibeli karena uni Len yang mempunyai alat masak. Uni Leni mau membantu kami, sementara suaminya melarang. Sebab suami uni Leni termasuk orang yang konservatif. Suami uni Leni berpandangan bahwa membuatkan dan memberi makanan untuk orang yang tidak berpuasa hukumnya haram.
Mendengar pernyataan itu, pikiran uni Len bimbang antara mengikuti kata suaminya atau mengikuti kata hatinya. Uni Len tidak begitu paham dengan hukum fiqih yang terkait dengan puasa. Namun, hatinya berkata lain. Bukankah puasa itu diwajibkan kepada kaum muslim yang beriman. Sementara Rudi dan Yadi berbeda Iman dengan dirinya.
Hati uni Len diperkuat dengan kisah seorang pelacur yang masuk surga karena memberi makan seekor anjing. Kisah itu disampaikan kepada suminya sembari menyampaikan kata hatinya. Jangankan memberi makan manusia yang non muslim, memberi makan seekor anjing saja Tuhan menimpali dengan pahala. Sementara itu, toh puasa hanya diwajibkan kepada orang-orang yang beriman agar bertaqwa.
Mendengar penjelasan tersebut, suami uni Len tidak mampu lagi berkata apa-apa. Musyawarah mereka sebagai suami istri menghasilkan kesimpulan bahwa uni Len diperbolehkan oleh suaminya memasak makanan untuk Rudi dan Yadi yang merupakan non muslim, dengan catatan sebagai suami ia tidak ingin dipersalahkan kelak di akhirat sana.
Hanya Tuhan Maha Esa yang tahu dan menilai apakah tindakan uni Len itu merupakan tindakan yang benar dan diperbolehkan dalam bulan ramadhan ini. Setidaknya, sikap uni Len tersebut telah menggambarkan kepada kita semua, khususnya kepada Rudi dan Yadi bahwa Islam adalah agama damai yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H