Dan Aliana memang selalu bisa kuandalkan. Dia sudah mengatur semuanya secara sempurna. Belasan nyonya sudah mendapatkan gilirannya. Dengan sebuah kode, aku akhirnya tahu itu tanda giliranku untuk memeriksa denyut kehidupan baru di dalam sini.
***
“Kau harus bantu aku!”
“Bukankah itu yang selaku kulakukan?”
“Aku harus menggugurkan kandungan ini!”
“Bisa kau ulangi lagi?”
“Tuli?”
Desahan nafasnya membuat isi otakku seperti mau melonjak menembus pembungkusnya..
“Aku dan Deni masih kuliah. Aku juga tak mungkin mempermalukan papa. Apa kata orang nanti? Papa itu pendeta yang s’nantiasa berusaha menuntun hidup umat ke jalan benar, tapi ternyata anaknya membelot.”
“Ayahmu adalah ayahmu. Kamu adalah kamu! So?”
Kali ini aku yang mendesah......dan semuanya memang selalu bisa kuatur. Entah ini pintu menuju dosa atau pintu pertolongan. Perjalanan menuju pulau seberang yang tak seberapa jauh dari tempat tinggalku setelah berdiskusi dengan Deny, lalu bertemu wanita paruh baya yang kehandalannya tak perlu diragukan lagi untuk urusan aborsi! Lucunya, upaya ini masih kami topang dengan doa. Apa Tuhan mau mendengar doa dengan harapan kelancaran proses aborsi?
Dan hanya butuh pergulatan dua minggu dengan ramuan-ramuan tradisional itu sebelum Iva kembali ke rutinitas kampus...
***
“Terima kasih, Aliana. Kau memang sabahatku. Kami berdua mungkin takkan bisa seperti ini tanpa kamu”. Ini lontaran terima kasih kesekian kalinya pada lima tahun berikutnya saat aku memeluknya di altar dalam balutan gaun pengantin. Bersama siapa dia bahagia? Oh, sykurlah..bersama Deny rupanya. Beruntunglah mereka ketika masa perkuliahan itu telah berganti dengan dunia kerja ditambah dengan psikologi mantap, modal yang disebut kematangan untuk mengakhiri kelajangan secara baik-baik.
Dan terima kasih itu masih terus terucap sampai sekarang... “Terima kasih telah membantuku aborsi.”
✽✽✽