[caption id="attachment_166567" align="aligncenter" width="300" caption="Abhishek Bachan"][/caption]
“Tapi..tapi aku sangat mencintaimu, Abi..”
“Terlambat..sudah terlambat, Grace.”
“Terlambat bagaimana?”
“Sekarang waktuku hampir habis.”
“Minta tambahan waktu saja dari wasit.”
“Aku mau mati, bodoh?!”
“Ooo..maaf. Maksudnya, aaaaaaa! Jangan mati sekarang!”
“Aku sudah tidak kuat lagiiii!”
“Tidaaaaak! Aaaaaa...”
Tanganku menggapai-gapai dalam kehampaan, meraih sesuatu yang terlalu tinggi dan tak mungkin tersentuh..karena memang tak ada. Mataku pun takut membuka meski kenyataan sudah menarik-narik kerah bajuku. Dan aku menyerah dalam sengalan nafas diburu khayal. Pekikku dalam mimpi romantis bersama Abhishek Bachan Bachan yang macho itu kini bersambung dengan bereinkarnasinya Abi - panggilan sayangku kepada Abhishek Bachan Bachan – menjadi makhluk hijau yang kini bertatapan denganku kira-kira berjarak hanya tiga sentimeter. Entah sudah berapa lama dia menemani lelapku di samping kiri kepalaku.
[caption id="attachment_166568" align="alignleft" width="150" caption="Belalang sembah"]
Tanpa harus menunggu aba-aba dari siapapun, tubuhku segera mencari pertolongan pertama di depan pintu.
“Uuuh! Belalang sembah kurang ajar,” gerutuku dalam diam mengingat sekarang baru pukul 05.00 WIT. Pekik stadium dua berikutnya terlontar lagi – untung saja seisi rumah tidak terbangun - ketika praying mantis itu pamer kekuatan lompatan ke bagian tengah tempat tidur.
“Menyerang atau diserang...” tak ada waktu untuk berpikir panjang ketika dua botol pencuci muka berikut botol air mineral kosong beradu dengan dinding kamar. Paling tidak, sasaran sudah terluka. Hal itu terlihat dari langkah tertatih-tatihnya yang akhirnya dihentikan jua barang sejenak.
“Yes!” Padahal stok amunisi yang lebih dashyat siap dilontarkan bila musuh masih enggan melambaikan bendera putih. Amunisi? Ya, sebotol hand and body lotion yang ukuran dan bobotnya sebanding dengan gabungan dua botol pencuci muka tadi.
“Hmm..tapi apakah musuh sudah sepenuhnya menyerah? Ups! Jangan sampai lengah, Grace!” batinku saat sempat berpikir untuk merebahkan tubuh kembali dengan mengambil posisi seperempat dari tempat tidur.
“Tidak!” kuputuskan untuk terus mengawasi musuh yang sudah tergolek lemah itu sambil sesekali mengakses Facebook dari ponsel tuaku. Tak terasa sudah 30 menit aku menanti pertolongan di depan daun pintu yang kini menganga lebar. Inginnya diriku meminta bantuan dari teman-teman kamar kost lainnya, tapi takut mengganggu lelapnya tidur mereka. Hingga pertolongan datang dengan berderiknya pintu kamar sebelah barat yang hanya berjarak sekira sepuluh meter dari lokasi “pos jagaku”.
Ternyata itu Opa Ngutra – pemilik tempat kost – yang berjalan ke arah kamar mandi. Kutunggu hingga dia kembali.
“Opa..tolong aku”
“Ada apa?”
“Sini..”si opa menurut.
“Tolong pindahkan belalang itu dari tempat tidurku,” telunjukku mengisyaratkan lokasi musuh tanpa harus mendekatinya.
“Ha ha ha..masa kau takut kepada belalang?” tawa kekehnya berlalu ketika kusaksikan musuhku dievakuasi ke luar jendela depan, tentu diriku mundur sejenak, kalau-kalau musuh masih bisa menerjangku.
“Terima kasih ,Opa..” takkudengar lagi apa balasannya ketika raga ini dihempaskan di atas dua lapis kasur lapuk yang untungnya masih dipermanis dengan seprai favoritku. Kubalaskan kenikmatan tidur tanpa Abi jadi-jadianku lagi hingga pukul 10.00 WIT.
“Maaf ya, bos..hari ini aku libur kantor dulu..”
╔═══♥═════► °(^▿^)/° ◄═════♥═══╗
✿) Ini campuran fiksi-kenyataan (10-90). Betapa aku phobia terhadap beberapa jenis serangga seperti aneka belalang (terutama yang berukuran besar) dan kecoa. (►˛◄'!)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H