Pada 13 Agustus 2023, MK genap berusia dua dasawarsa. Sebelumnya, dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan nasional, kebutuhan akan adanya mekanisme judicial review makin lama kian terasa.
Kebutuhan tersebut baru bisa dipenuhi setelah terjadi reformasi yang membuahkan perubahan UUD 1945 dalam empat tahap. Pada perubahan ketiga UUD 1945, dirumuskanlah Pasal 24C yang memuat ketentuan tentang MK. Untuk merinci dan menindaklanjuti amanat Konstitusi tersebut, pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi.
Setelah dilakukan pembahasan, akhirnya rancangan undang-undang tersebut disepakati bersama oleh pemerintah bersama DPR dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003.
Pada hari itu juga, Undang-Undang tentang MK ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri. Ditilik dari aspek waktu, Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk MK. Sekaligus, sebagai negara pertama di dunia yang membentuk MK pada abad ke-21. Tanggal 13 Agustus 2003 itu pula yang kemudian disepakati menjadi hari lahir MK.
Sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Dalam hal ini, untuk Menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; Memutus pembubaran parpol; Memutus perselisihan tentang hasil pemilu; dan, Memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
MK juga berwenang mengadili PHPKada atau perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah. Pasca-Putusan 85/PUU-XX/2022, MK batalkan Pasal 157 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 dengan demikian, MK berwenang memeriksa dan memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Perjalanan 20 tahun MK sudah tentu kaya "warna" dalam dinamika konstitusi di negeri ini. Selama itu pula, apresiasi dan kritik yang ditujukan ke MK seharusnya dimaknai sebagai cermin terwujudnya "masyarakat sadar konstitusi".
Keterwujudan "masyarakat sadar konstitusi" memang menjadi satu dari tiga tujuan MK yang hendak dicapai dalam lima tahun ke depan. Ketiga tujuan itu adalah, pertama, terwujudnya sistem peradilan konstitusi yang bersih dan tepercaya. Tujuan ini mengarah pada kondisi aktivitas dalam setiap aspek proses peradilan di MK berlangsung sesuai dengan ketentuan, dilaksanakan secara cermat dan teliti, bebas dari intervensi, transparan, dan akuntabel. Kedua, terwujudnya masyarakat sadar Pancasila dan Konstitusi. Ketiga, terwujudnya putusan yang bermutu dan implementatif. Â
Tercatat, selama 19 tahun melaksanakan kewenangannya, MK telah menerima 3.463 perkara untuk empat kewenangan yang telah dijalankan. Yakni, Pengujian Undang-Undang (PUU), Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN), Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), dan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada).
Rinciannya, dari 3.463 perkara, ada sebanyak 1.622 (perkara PUU), 29 (perkara SKLN), 676 (perkara PHPU), dan 1.136 (perkara PHP Kada). Dari 3.463 perkara di atas, hingga akhir 2022, sebanyak 3.444 perkara telah diputus dan 19 perkara masih dalam proses pemeriksaan.