“Pengembangan N219 adalah untuk menjangkau daerah-daerah yang sangat sulit, dan daerah perintis. Desain N219 memang diawali dengan latarbelakang kewilayahan Indonesia yang banyak memiliki daerah-daerah dengan kategori dataran tinggi, landasan pacu atau landasan udara pendek serta tidak siap ‘lepas landas’, operasi bandara terbatas, cuaca tidak menentu, fasilitas bandara terbatas, dan daerah berpegunungan seperti Papua,” tutur Batara.
Dilanjutkannya, Indonesia memiliki 265 bandara perintis, 90 bandara dengan landasan pacu kurang dari 1.000 meter, dan 48 landasan pacu tak beraspal. Semua ini dapat dilayani dengan menggunakan pesawat N219 yang memang didesain untuk memenuhi rute-rute seperti demikian. “N219 memang didesain sejak awal sesuai kebutuhan karakteristik archipelago Indonesia,” urainya.
Batara menyebut, N219 memang di-deployed untuk memenuhi konektivitas, logistik, distribusi, dan memenuhi kebutuhan di daerah-daerah perintis. “Tak hanya itu, konfigurasi N219 juga bisa dibuat untuk kepentingan health service, kemudian disaster relief. N219 juga untuk kepentingan defence system, dan juga sudah dipikirkan untuk mendukung industri tourism. Jadi, N219 bisa di-desain dengan konfigurasi-konfigurasi kebutuhan yang ada. Inilah tentunya diantara keunggulan dari N219,” urainya.
PTDI mengestimasi, Indonesia membutuhkan 131 unit N219 guna memenuhi semua kebutuhan tadi. “Sampai dengan saat ini kami sudah mengidentifikasi memproyeksikan sejumlah 131 pesawat, baik itu dari segi basic aircraft 77 unit, dan amfibious 54 unit, untuk komersial, local government, kemudian defence sector, dan juga untuk kepentingan kelembagaan,” ujar Batara.
Diungkapkan pula sejumlah kontrak pembelian N219. “Kami mengucapkan terima kasih kepada PT KLI (perusahaan Indonesia yang bergerak di bidang pertambangan, perdagangan dan logistik), yang sudah menandatangani 11 unit. Ada juga kontrak yang terdekat yakni 10 unit untuk penerbangan TNI AD. Kemudian tiga unit untuk Pemda Kepri. Kami tentunya butuh juga dukungan sumber pembiayaan misalkan dari Penerbad, dari Departemen Keuangan, dukungan untuk bagaimana sumber pembiayaan yang tentunya juga dari skema-skema pembiayaan lainnya, supaya PTDI segera bisa bergiat,” jelasnya lagi.
Menurut Batara, beberapa kegiatan sudah mulai dikerjakan demi bisa mengejar target first flight. “Karena kalau kita menunggu, bisa-bisa tahun ketiga dari sekarang. Tapi tentunya, dengan memperhitungkan risk management yang ada, kita sudah mulai beberapa detail part. Sehingga pada saatnya nanti, first aircraft-nya kita bisa delivered yang pertama 24 bulan dari sekarang. Itu yang kami rencanakan,” urainya.
Batara juga merinci sejumlah fitur dan keunggulan yang dimiliki N219. “Cabin-nya luas, memiliki kemampuan short take off landing kurang dari 800 meter, punya wide window, dan full glass cockpit. Ini semua rancangan dari teman-teman engineer,” bangganya.
Lantas, bagaimana dengan kandungan komponen lokal yang dibenamkan di pesawat N219?
”Ini salah satu juga dorongan dari pemerintah dan Bappenas, N219 memiliki komponen lokal hingga 44,69 persen. Selain itu, didalam pengembangan N219 sudah melibatkan 19 industri lokal, tiga institusi pendidikan termasuk Institut Teknologi Bandung (ITB), dan lembaga-lembaga lainnya. Pemerintah meminta kita menaikkan TKDN sampai 60 persen. Ini tak bisa hanya PTDI sendiri yang mewujudkan. Harus dilakukan dengan ekosistem. Sehingga tidak hanya memberi value added bagi PTDI, tapi juga bagi ekosistem industri kedirgantaraan secara keseluruhan,” harapnya.