Bedakan "Mega Mendung" dengan "Wadasan"
"Temuan" tak sengaja saya terhadap motif Batik Mega Mendung pada saat mencermati ukiran kayu "Ganesha Naik Gajah", ternyata sudah pernah juga dimuat dalam satu tinjauan akademis.
Di tinjauan itu, khususnya pada Bab "Pembahasan Mengenai Makna Motif Batik Wadasan" disebutkan:
"... pun diaplikasikan pada seni kriya yaitu seni ukir salah satunya adalah karya buatan tangan Panembahan Girilaya pada tahun 1588 (di Museum KKC ditulis 1582 - Â red) yang di ukiran tersebut terdapat motif hias Wadasan serta Mega Mendung."
Lalu:
"... Â terdapat ukiran dengan motif Wadasan pada sisi kanan dan kiri secara vertikal, serta pada bagian atasnya terdapat motif Mega Mendung."
Nah, sesudah melihat bagaimana bentuk ukiran motif "Wadasan" dan "Mega Mendung", kita menjadi paham dua hal. Pertama, kedua motif sangat identik dan mirip. Kedua, perbedaan mendasar hanya pada posisi, yaitu motif "Wadasan" diposisikan ujungnya menghadap ke atas (vertikal), sedangkan "Mega Mendung" posisinya horisontal.
Menurut narasumber yang diwawancarai (2017) untuk tinjauan akademis itu yakni keturunan KKC, Hafid Permadi, banyak orang salah kaprah dengan menyebut motif "Wadasan" sebagai "Mega Mendung". Padahal makna filosofis keduanya berbeda!
"Wadasan" berasal dari Bahasa Cirebon, dengan kata dasar "Wadas" yang artinya batu (watu) karas atau batu karang. Kata "watu" pun ada maknanya. "wat" artinya kuat, sedangkan "tu" berarti patuh. Jadi, "watu" atau "wadas" (wadasan) berarti kuat dalam menjalankan kepatuhan! Jangan berpikiran kuat itu secara otot dan raga. Karena makna paling hakiki kuat dalam menjalankan kepatuhan itu tentu saja keimanan seseorang. Iman seseorang yang kuat dan hanya patuh pada Tuhan.