Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Iktikad Baik Nasabah, Kunci Aman Kasus Bank Salah Transfer

21 Desember 2021   18:06 Diperbarui: 21 Desember 2021   18:08 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karyawan menunjukkan mata uang Dolar Amerika Serikat. (Foto: Republika)

Kasus bank salah transfer sudah sering kita dengar. Nasabah yang mengetahui ada uang masuk di rekening dan tak jelas sumbernya, ada yang menyebut hal itu sebagai uang siluman. Bahkan ada juga yang memadupadankan dengan mendapat durian runtuh.

Bank melakukan salah transfer? Rasa-rasanya, dengan prinsip kehati-hatian perbankan (prudential banking) yang wajib diterapkan, praktik bank salah transfer seharusnya sangat musykil terjadi. Tapi faktanya, bank salah transfer  terjadi.

Kita masih ingat, kasus Bank BCA yang salah transfer senilai Rp51 juta. Hal itu diakui sebagai kekeliruan petugas Bank saat menginput satu digit terakhir nomor rekening. Fatal akibatnya! Uang itu kemudian salah tujuan. Harusnya, uang itu masuk ke rekening nasabah atas nama Philip. Tapi, karena salah menginput nomor rekening, jadilah uang itu  masuk ke rekening nasabah atas nama Ardi Pratama, warga Surabaya, Jawa Timur. Salah transfer itu terjadi 17 Maret 2020 lalu.

Mengetahui ada transfer masuk, Ardi sejak awal mengira, uang Rp51 juta itu sebagai komisi atas jerih payahnya menjadi makelar mobil. Ia pun lantas memanfaatkan uang salah transfer itu untuk sejumlah keperluan. Termasuk, melunasi hutang.

Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Sekitar satu pekan sesudah kejadian salah transfer, Ardi terkejut manakala ia didatangi dua pegawai Bank swasta tersebut. Keduanya memberitahu, bahwa uang sebesar Rp51 juta yang masuk ke rekening Ardi merupakan kejadian salah transfer.

Ardi pun diminta mengembalikan Rp51 juta uang salah transfer. Tak punya uang sebanyak itu, pada 27 Maret 2020, Ardi berjanji untuk mengembalikannya dengan cara diangsur secara berkala. 

Kasus bergulir, 31 Maret 2020, Ardi menerima somasi dari pihak bank. Pada 2 April 2020, Ardi datang memenuhi panggilan pihak bank dan menemukan jawaban bahwa kesanggupannya mengembalikan uang salah transfer dengan cara dicicil, ditolak pihak bank.

Ardi tetap menunjukkan iktikad baik untuk mengembalikan uang. Ia mulai mencicil pengembalian uang. Warga Manukan Lor Gang I Surabaya itu pun mentransfer uang sebesar Rp5,4 juta, tapi pihak bank tidak mau menerimanya.

Empat bulan kemudian, atau tepatnya Agustus 2020, Ardi dilaporkan ke kepolisian. Pelapor adalah Nur Chuzaimah, yang pernah bertugas sebagai  back office di bank tersebut. 

Pada 7 Oktober 2020, Ardi diperiksa polisi. Ia kemudian dinyatakan sebagai tersangka. Penyidik unit Resmob Satreskrim Polrestabes Surabaya menjerat Ardi dengan Pasal 85 UU Nomor 3 tahun 2011 tentang Transfer Dana, dan UU Nomor 8 tahun 2010 tentang TPPU atau Tindak Pidana Pencucian Uang.

Akhirnya, pada 14 April 2020, hakim di Pengadilan Negeri Surabaya memutuskan Ardi bersala, dan dijatuhi hukuman penjara 1 tahun. Vonis ini lebih ringan dibandingkan tuntutan 2 tahun penjara yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum dari Kejari Tanjung Perak, Surabaya.

Dari semua pemberitaan media terkait kasus salah transfer pihak bank ke rekening Ardi Pratama, ada hal yang tidak dilakukan Ardi sebagai penerima uang salah transfer. Yaitu, meminta klarifikasi atau menelusuri ke pihak bank terkait adanya uang masuk Rp51 juta ke rekeningnya.

Andai itu dilakukan Ardi sejak awal. Tentu ini bisa saja menjadi alibi yang menguatkan dan menunjukkan iktikad baik terkait adanya kejadian salah transfer. 

Iktikad baik, itu kuncinya. Kunci untuk melindungi nasabah penerima uang salah transfer dari jeratan hukum sesuai Pasal 85 UU Nomor 3 tahun 2011 tentang Transfer Dana.

Karyawan menunjukkan mata uang Dolar Amerika Serikat. (Foto: Republika)
Karyawan menunjukkan mata uang Dolar Amerika Serikat. (Foto: Republika)

Kasus salah transfer yang baru-baru ini terjadi, juga menimpa Indah Harini. Ia nasabah Bank Rakyat Indonesia (BRI).

Kronologisnya, disarikan dan tertuang dalam Legal Opinion yang ditandatangani Prof Dr Eddy O.S Hiariej SH MHum, tertanggal 4 Desember 2020. Prof Eddy merupakan guru besar dalam ilmu Hukum Pidana di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Begini kisah salah transfer itu.

Indah membuka rekening valuta asing di BRI pada September 2019. Tujuannya untuk membantu memenuhi keperluan transfer biaya sekolah anaknya di Inggris. Di bulan yang sama, Indah pergi ke London mengantar anaknya, sambil berbelanja keperluan dengan menggunakan Mastercard.

Bulan berikutnya, Oktober 2019, Indah menerima telepon dari pihak bank bahwa ia memperoleh tax refund dari Mastercard. Pihak bank kemudian meminta rekening untuk menampung tax refund, dan Indah memberikan rekening valas yang sudah ia buka sebelumnya.

Sejak 20 November hingga 5 Desember 2019, Indah kemudian menerima uang transfer masuk secara bertahap atau tidak sekaligus. Ia terkejut. Jumlah totalnya mencapai 1.500.000 Pound sterling. Dari jumlah itu, Indah mengonversi ke Rupiah sebesar 750.000 Pound sterling atau setara Rp15 miliar. Ia mendepositokannya di bank yang sama untuk beberapa bulan.

Sisanya? Indah mempergunakannya untuk keperluan wakaf, infaq, sedekah sekitar kurang lebih Rp6 miliar, dan Rp4 miliar digunakannya sebagai modal usaha.

Seperti diberitakan di sini, pada 3 Desember 2019, Indah sempat mendatangi Kantor BRI guna meminta klarifikasi dan menanyakan keterangan tentang "invalid credit account currency". Keterangan itu ditanyakan Indah, pada transaksi yang akan dilakukannya untuk kepentingan transfer uang.

Satu pekan kemudian, tepatnya 10 Desember 2019, Indah kembali mendatangi bank untuk meminta keterangan terkait hal yang sama. Tapi pihak bank menyebutkan dan mengonfirmasi kepada Indah, bahwa "hal demikian tidak masalah", sekaligus membenarkan "adanya sejumlah uang masuk" ke rekening milik Indah.

Nah, selang 1 tahun berjalan, atau Oktober 2020, pihak bank meminta pengembalian uang yang sudah masuk ke rekening valas Indah. Pihak bank menyebut terjadi kesalahan bank dalam melakukan transfer. Pernyataan lisan account officer ini juga meminta Indah untuk mengembalikan uang tersebut.

Pada 20 Oktober 2020, Indah diundang datang ke kantor pihak bank untuk musyawarah. Tegas-tegas pihak bank menyatakan, transaksi salah transfer itu karena kelemahan sistem. Indah pun meminta untuk ditunjukkan bukti kelemahan tersebut.

Permintaan Indah masih tetap sama. Saat pertemuan daring pada 13 November 2020, Indah meminta pernyataan kesalahan dan bukti kepemilikan serta penawaran dari pihak bank. Hingga 26 November 2020, tiga permintaan Indah belum kunjung dipenuhi. Ia pun mengirim surat untuk menanyakan iktikad baik pihak Bank.

Tapi 29 November 2020, Indah disomasi pihak bank.

* * *
Indah bersama tim kuasa hukumnya sempat mengajukan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (UU Transfer Dana). Di Mahkamah Konstitusi, permohonan Indah teregistrasi dengan Nomor 59/PUU-XIXI/2021.

Adapun materi yang dimohonkan pengujian yakni Pasal 85 UU Transfer Dana, yang berbunyi: "Setiap orang yang dengan sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp5 miliar."

Pasal ini menuai kontroversi. Karena membuka peluang, siapa saja yang menerima dana "salah transfer" bisa saja dikriminalisasi, dipenjarakan! Meskipun notabene, "salah transfer" itu bukan karena kesalahan si penerima atau si pemilik rekening.

Intinya, kalau ada dana "salah transfer" yang tidak diketahui sumber dan asalnya, lalu tanpa iktikad baik si penerima atau pemilik rekening juga tidak meminta klarifikasi atau meminta keterangan ke pihak bank terkait, maka siap-siap bisa dituntut secara hukum dengan pasal kontroversial tadi.

Meskipun, menurut staf pengajar Program Studi Hukum di Universitas Pelita Harapan (UPH), Jonker Sihombing, penggunaan Pasal 85 kepada siapa saja penerima dana "salah transfer", tidak bisa langsung diterapkan begitu saja. Akan tetapi, bank harus menunjukkan lebih dulu segala bukti dan pembuktiannya.

"Hukum memberikan perlindungan, terhadap para nasabah yang beritikad baik. Iktikad baik ini dinyatakan ada, saat nasabah dengan berhati-hati atau melalui penduga-dugaannya, menanyakan tentang dana yang masuk ke rekeningnya. Dalam hal ini, nasabah sudah melakukan pengecekan atau pemeriksaan atas transfer dana yang masuk," ujarnya di sini.

Nah, itikad baik sepertinya sudah dilakukan Indah Harini manakala ia mendapati dana "salah transfer" di rekeningnya. Ia mendatangi pihak bank, meminta keterangan dan seterusnya.

Hal yang sama disampaikan Prof Dr Eddy O.S Hiariej SH MHum dalam Legal Opininya. Karena, analisis yuridis menunjukkan, Indah sudah melakukan penghati-hatian atau penduga-dugaan dengan menanyakan perihal transfer dana tersebut. Tegasnya, Indah sudah beriktikad baik dengan melakukan check and recheck atas transfer dana yang masuk ke rekeningnya.

Iktikad baik inilah yang secara mutatis mutandis membuktikan, tidak ada niat jahat atau dolus malus dari Indah untuk menguasai dan mengakui keberadaan dana transfer tersebut. Kesimpulannya, Indah tidak dapat dipersalahkan baik secara pidana, perdata ataupun administrasi.

Kasus hukum dana salah transfer yang diterima Indah, kini masih bergulir.

Menarik untuk disimak sekaligus menjadi pembelajaran kita semua, bagaimana perkembangan kasus ini selanjutnya. Minimal kita semua belajar, iktikad baik harus dilaksanakan Nasabah terhadap pihak bank, manakala terjadi sesuatu, termasuk salah transfer!

 Saya jadi ingat apa yang pernah disampaikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Juni 2021 lalu. OJK mengingatkan, industri perbankan menghadapi sejumlah tantangan terutama dalam mengadopsi teknologi, dan menjalankan transformasi digital dalam aktivitas bisnisnya.

Ya, di era disrupsi teknologi seperti ini, melakukan kesalahan digital sedikit saja, akan sangat fatal akibatnya. Bukan hanya untuk pihak banknya saja, tapi juga nasabah yang acapkali tidak tahu-menahu hal ihwal kesalahan teknologi digital itu.  (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun