Arif melanjutkan, Indonesia punya ketergantungan impor gandum dalam bentuk produk tepung terigu, yang dari tahun ke tahun meningkat signifikan jumlahnya. Bahkan dua tahun lalu, negeri ini  menjadi pengimpor gandum terbesar di dunia. Dari negara yang baru makan gandum pada sekitar '70-an, tapi kini Indonesia sudah menjadi negara pengimpor gandum terbesar sedunia.
"Impor gandum ini menjadi persoalan serius, karena akhirnya membebani ekonomi nasional dan lainnya. Diperkirakan, sekitar 25 persen konsumsi (makanan) pokok karbohidrat kita adalah gandum. Bisa dibilang 75 persennya beras, dan sisanya gandum. Pangan-pangan lokal lain yang berlimpah, hampir-hampir tidak mendapat tempat memadai. Indonesia yang secara tradisional tidak memiliki  kultur mengonsumsi atau makan gandum, sekarang tergantung pada impor gandum. Ini juga berdampak pada kesehatan, misalnya dengan adanya kadar gluten yang memicu sakit pencernaan dan lainnya," tuturnya.
Sampai saat ini, menurut Arif, indonesia masih mengabaikan sumber-sumber pangan lokalnya. Banyak daerah di Indonesia, masih menderita kerentanan pangan.
"Tahun lalu, saya ke Papua. Pengalaman menuju ke Asmat dari Timika, saat di bandara saya harus antri dan berbagi tempat dengan paket-paket bantuan pangan, dalam bentuk mie instan. Mie-mie ini berbasis tepung terigu. Miris, karena dominasi tepung terigu juga sudah merangsek masuk ke Asmat yang sebenarnya kaya dengan budidaya pangan lokal," kisahnya.
Ekologi daerah-daerah se-nusantara ini, katanya lagi, sangat beragam. Tidak semua tempat cocok ditanami padi sawah, maupun padi ladang. Karena saat ini sudah berlangsung gangguan perubahan iklim, pola hujan bergeser dan lainnya.
"Jadi, kenapa daerah-daerah harus dipaksa menanam padi semuanya, yang tidak bisa ditumbuhkan sendiri? Presiden Soekarno pernah mengingatkan, kita tidak mungkin memenuhi kebutuhan pangan kita kalau hanya mengandalkan beras. Kalau kita ingin memenuhi kebutuhan pangan kita, maka kita harus melirik lahan-lahan kering kita bagaimana, lahan-lahan gambut kita seperti apa. Setiap tempat punya keunikan sendiri. Ragam pangan kita beragam dari Aceh sampai Papua," tegas Arif.
Tapi yang terjadi kini, sambungnya, seolah-olah Indonesia ini tidak punya pengetahuan kekayaan alam lokal sendiri. "Makanan pokok yang kita tahu hanya beras. Kita tidak tahu, masih banyak lagi makanan pokok lokal lainnya. Kita lapar, karena kita tidak punya pengetahuan tentang makanan pokok lokal.Â
Kita belum mengoptimalkan apa yang kita punya dari berkah alam karena kompleksitas geologi yang sama. Jadi kita cuma dapat bencananya, tapi sumber daya alam yang dimiliki diabaikan," prihatinnya.
Sebelum menulis buku Sorgum ini, Arif yang mengaku tertarik dengan isu pangan, sudah lebih dulu menerbitkan buku tentang Sagu Papua. "Jadi kalau saat ini menerbitkan buku Sorgum, semata adalah untuk mengenalkan kembali ragam-ragam pangan yang memang selama ini diabaikan.Â