Dari empat web metrik itulah, 4imn.com melakukan penyaringan dan peninjauan -- filtered (outliers) and reviewed (subdomains) --, penilaian berdasarkan algoritma, dan kemudian pemeringkatan.
Terus, apa tujuan pemeringkatan surat kabar ini? Menurut 4imn.com, tujuannya memberikan perkiraan-perkiraan popularitas surat kabar di seluruh dunia berdasarkan popularitas situs web mereka. Hal itu, diyakini bisa membantu pembaca internasional dan profesional media atau Public Relation untuk memahami seberapa populer surat kabar tertentu di mancanegara.
Tapi tunggu dulu. Ada yang perlu diperhatikan dari klaim 4imn.com. Yaitu, "mereka tidak -- dengan cara apa pun -- mengklaim peringkat surat kabar berdasarkan kualitas upaya atau reputasi jurnalistik surat kabar-surat kabar tadi."
Artinya, urusan kualitas dan reputasi jurnalistik, masih boleh diadu-gengsi. Misalnya, antara Kompas versus Koran Tempo. Atau, Kompas versus The Jakarta Post. Juga, The Jakarta Post versus Koran Tempo.
Hanya saja, orang masih tetap bisa memperdebatkan: "Tidak mungkin popularitas level dunia diraih, tanpa didasari pada kualitas upaya atau reputasi jurnalistik surat kabar yang bersangkutan".
Makanya, tetap amazing-lah bila Kompas berada di posisi ke-5, sesudah The Daily Mail (ranking ke-4), The Washington Post (ranking ke-3), The Guardian (ranking ke-2), dan The New York Times (ranking ke-1).
Saya enggak tahu surat kabar Jawa Pos berada di peringkat berapa pada rilis 4imn.com itu. Saya juga tak mau membanding-bandingkan koran. Apalagi tahun ini, Jawa Pos berusia 71 tahun. Koran ini didirikan The Chung Sen pada 1 Juli 1949. Tempo doeloe, namanya "Djava-Post".
Dahlan Iskan, menjadi pengendalinya pada 1982. Kata wikipedia, Dahlan mampu menaikkan tiras dari koran hampir mati dengan 6.000 eksemplar, menjadi 300.000 eksemplar hanya dalam lima tahun. Salut!
Lalu, 38 tahun kemudian, Dahlan Iskan mulai menjadikan Jakob Oetama sebagai pesaing. Kompetitor.
Melalui blog-nya, Dahlan sempat menulis "kegerahannya" terhadap Jakob Oetama. Dan, sudah tentu, Kompas. Sampai-sampai ia tak mau, wartawan-wartawan baru Jawa Pos mencontoh gaya penulisan Kompas.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!