Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perburuan Aset Koruptor, SBY Kesulitan, Prabowo Nyinyir, Jokowi Sukses

16 Desember 2018   23:46 Diperbarui: 17 Desember 2018   00:08 1257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karikatur Anti Korupsi. (Ilustrasi: depokpos)

"Uang kita ada dimana?" tanya Prabowo Subianto.

Dalam bukunya yang berjudul "Paradoks Indonesia", calon presiden nomor urut 02 ini kemudian menjawab sendiri pertanyaannya. Mungkin biar kelihatan smart, sejumlah sumber dan data pun dikutipnya.

Misalnya, Prabowo mengutip sinyalemen Menteri Keuangan kala itu, Bambang Brodjonegoro, yang pada 2016 sempat mengatakan, ada Rp 11.000 triliun uang milik pengusaha dan perusahaan Indonesia yang disimpan di luar negeri. Jumlah ini lima kali lebih besar dari APBN Indonesia pada 2016.

Pada halaman lain bukunya, Prabowo pun lagi-lagi cuma mengutip. Kali ini, dari Reuters pada 2016. Ia menulis, bahwa menurut investigasi Reuters pasca terbitnya kebijakan Tax Amnesty, sebanyak US$ 200 miliar dari US$ 470 miliar uang yang ada di bank-bank swasta Singapura adalah milik orang atau perusahaan Indonesia. Padahal, US$ 200 miliar itu setara dengan Rp 2.600 triliun atau lebih besar dari APBN Indonesia 2016.

Terakhir, menjawab pertanyaan "Uang kita ada dimana?", Prabowo kembali mengutip kesimpulan lembaga riset pergerakan uang dunia Global Financial Integrity (GFI) yang bermarkas di Washington DC, Amerika Serikat. Kata GFI, tulis Prabowo, setidaknya US$ 180,71 miliar atau setara Rp 2.349 triliun uang dari Indonesia digelapkan ke luar negeri, dalam kurun 2004 hingga 2013. Catatan saja, Joko Widodo dilantik menjabat Presiden RI ke-7, pada 20 Oktober 2014.

Masih pada paparan infografi bukunya, Prabowo menyebut, ada tiga modus penggelapan uang keluar Indonesia, yaitu KORUPSI (penggelapan hasil korupsi), KRIMINAL (penggelapan hasil jual-beli Narkoba, manusia, dan perdagangan terlarang lainnya), dan KOMERSIAL (pemalsuan dokumen ekspor dan impor untuk menghindari pajak).

* * *

Data-data bermodal "tipsani" (kutip sana-sini) dari Prabowo ini, cukuplah masuk telinga kiri keluar telinga kanan saja. Karena, bagi Presiden Joko Widodo, yang paling penting adalah bukti atas komitmen untuk memberangus korupsi di Indonesia. Termasuk memburu aset-aset koruptor, kriminal, dan pengusaha maupun perusahaan yang melakukan penggelapan pajak ke luar negeri.

Luar negeri yang dimaksud adalah tax heaven countries atau negara-negara yang menjadi surganya para pengemplang pajak, lantaran pemberlakuan pajak di sini teramat sangat minim, bahkan nyaris tidak ada sama sekali. Sebut saja sebagai contoh, negara-negara seperti Cayman Island, Swiss, Luxemburg, Bahama, Bermuda, Hongkong, dan Singapura. (Baca tulisan sebelumnya: Jokowi Telisik, Koruptor Terusik Aset Diusik)

Bila Prabowo cuma bisa kutip sumber sana-sini, lalu dilanjutkan dengan menjadikannya sebagai bahan nyinyiran, maka beda kelas dengan Joko Widodo. Calon presiden nomor urut 01 ini, justru semakin sigap melakukan perundingan demi perundingan dengan Pemerintah Swiss. Ini perundingan serius. Sangat serius! Sebab, diharapkan melahirkan MLA, mutual legal assistance. Jokowi mengklaim, babak akhir perundingan Indonesia dengan Swiss, diharapkan sama-sama bisa menandatangi kesepakatan MLA. Ini merupakan legal platform untuk memburu uang hasil korupsi dan money laundring yang disembunyikan di luar negeri.

Dengan kata lain, MLA antara Indonesia -- Swiss, bisa dimanfaatkan untuk membantu proses hukum penyidikan, penuntutan, sampai eksekusi putusan yang berkekuatan hukum tetap. Penyidikan bisa dilakukan dengan meminta keterangan saksi, mencari keberadaan seseorang, mengetahui apakah ada aset berupa moveable asset, rumah, tanah dan lainnya. MLA mirip seperti super body yang bisa menjangkau hal-hal yang selama ini "tabu dan tersembunyi".

Apabila MLA sudah ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dengan Swiss, maka semua yang dijadikan "senjata" Prabowo untuk memaparkan kondisi keterpurukan Indonesia, mulai dari upaya penggelapan pajak dan pelarian uang ke luar negeri, segera bisa dihilangkan secara bertahap namun pasti.

Apa yang menjadi keresahan dan kegalauan Prabowo, justru Jokowi sudah punya resep jawabannya. Jokowi, sepertinya memang tiga langkah lebih maju, dari apa yang dipikirkan dan hendak dilakukan oleh pesaingnya, Prabowo.

 * * *

Jokowi yang pernah dihina plonga-plongo dan kerempeng, ternyata kini malah membuat banyak pihak melongo, lantaran kiprah si kerempeng ini yang justru malah menggentarkan para koruptor, kriminal, dan penghindar pajak. Maklum, kalau Swiss saja bisa diajak menandatangani MLA, bukan tidak mungkin negara-negara lain yang menjadi surga para pembawa lari uang haram dan penghindar pajak, boleh jadi juga bakal "di-Swiss-kan". Sehingga dengan begitu, tak ada lagi tempat yang nyaman buat para koruptor menyembunyikan asetnya di luar negeri.

Karikatur Anti Korupsi. (Ilustrasi: depokpos)
Karikatur Anti Korupsi. (Ilustrasi: depokpos)
Pertanyaannya, bagaimana Jokowi bisa sampai sebegitu perkasa mendorong reformasi keuangan global? Bermodalkan apa sih Jokowi ini? Jawabannya, ada tiga hal, pertama, pesan Sujiatmi, ibunda Jokowi yang selalu menyemangati dan memagari sosok sang putra agar tidak berbuat melenceng dari norma dan pakem yang mereka anut bersama. Kerapkali Sujiatmi menasehati Jokowi. Pesannya sederhana namun mendalam, "Kamu harus bersyukur, jangan menggak-menggok (belak belok), lurus saja. Jangan aneh-aneh diberi amanah sama rakyat, sama Allah. Dijalankan dengan baik."

Kedua, semangat menentang dominasi tax heaven countries yang selama ini memanjakan para koruptor dengan "menyediakan" tempat persembunyian aset, tidak semata hanya menjadi concern Jokowi sendiri saja. Tapi, ini merupakan perjuangan bersama, utamanya dengan negara-negara anggota G-20 dan OECD, yang memang berusaha sejak 2013 untuk meruntuhkan era kerahasiaan bank. Dilanjutkan pada 2017, dimana secara global mulai diberlakukan program Sistem Pertukaran Informasi Otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEoI). Ini adalah komitmen sesuai hasil pertemuan pimpinan negara-negara G-20 pada KTT di Antalaya, Turki. Implementasinya, untuk membuka informasi dan data perbankan termasuk pajak dan transaksi keuangan dari wajib pajak (WP) antar negara.

Ketiga, dukungan tim kerja Pemerintahan Joko Widodo -- Jusuf Kalla yang sebangun seirama dalam upaya penuntasan dan pemberantasan korupsi. Sebutlah misalnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang bisa berlaga ciamik di berbagai fora internasional, semisal menghadapi Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank).

Asal tahu saja, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono saja sempat mengaku kesulitan lho, dalam melakukan perundingan dengan Pemerintah Swiss. Ketika itu, pada 2011, Pemerintahan SBY nampak sibuk mengejar aset Bank Century di luar negeri, dalam hal ini Swiss. Meski Pemerintah Swiss menyatakan menolak permohinan penyitaan aset bekas pemegang saham Bank Century, tapi SBY dan jajarannya kelihatan tak mau menyerah.

Tim terpadu lintas instansi disiapkan Pemerintahan SBY untuk menemui otoritas hukum di Swiss. Tim diminta menuntut kejelasan dari otoritas hukum Swiss, mengenai cara apa yang paling tepat untuk mendapatkan kembali aset-aset Bank Century. Tim ini masih ditambah dukungan penuh dari duta besar Indonesia untuk Swiss. Pada saat itu, Menteri Sekretaris Negara, Sudi Silalahi mengungkap kegetiran Presiden SBY.

Kata Sudi, Presiden SBY kecewa, karena tim sulit memproses pengembalian aset Bank Century. Padahal, Pemerintah Swiss semula sudah memberi sinyal hijau untuk memberikan bantuan.

Yang dimaksud Sudi, pertemuan antara SBY dengan Presiden Swiss terjadi pada saat sama-sama menghadiri World Economic Forum di Davos, Swiss, pada 27-29 Januari 2011. SBY bertemu dengan Presiden Swiss, Micheline Calmy-Rey, dan membicarakan masalah pengembalian aset Bank Century. Ketika itu, Calmy-Rey menjawab, Indonesia harus menyiapkan bukti dokumen hukum yang jelas agar permohonan bantuan hukum atau MLA dapat diproses. Nyatanya, dalam prosesnya, Pemerintah Swiss terkesan kurang kooperatif membantu proses pengembalian aset. 

Kalau Prabowo nyinyir, dan SBY mengaku kesulitan - menembus kesediaan Swis mengeluarkan MLA -, tapi justru tidak begitu dengan Jokowi. Ia malah sedang sibuk memasuki tahap pembicaraan pada bahagian akhir dengan Pemerintah Swiss, guna saling menandatangai MLA.

Keberhasilan Jokowi "berunding" dengan Swiss, memang diuntungkan dengan kondisi global. Desakan negara-negara G-20 dan OECD cukup membuat Swiss dan tax heaven countries lainnya berpikir ulang, untuk mereformasi industri keuangannya. Ya, utamanya demi menghormati Pertukaran Informasi Otomatis (AEoI). Bolehlah, kalau 'gitu pendukung Prabowo dan pendukung SBY mengatakan, bahwa Jokowi lebih diuntungkan iklim global yang semakin solid menekan tax heaven countries membuka akses informasi WP yang diduga kuat melakukan penggelapan uang maupun melarikan dan menyembunyikan uang hasil korupsi. Boleh-boleh saja pendapat seperti itu. Tapi maaf, sekalipun diuntungkan dengan iklim global yang mendesakkan reformasi keuangan global, tapi komitmen Jokowi terhadap pemberantasan korupsi, pasti lebih mengemuka.

* * *

Kepada Prabowo Subianto yang menggebu-gebu dalam bukunya untuk mengungkap dan berusaha menggaungkan kegagalan ini-itu dari Pemerintahan Jokowi-JK, akan terasa lebih baik untuk segera ikutan dan bersama Pemerintah melakukan pembasmian korupsi. Sekaligus memburu aset-aset para koruptor itu hingga jauh ke luar negeri.

Buku Monopoli Bisnis Keluarga Cendana. (Foto: bukalapak)
Buku Monopoli Bisnis Keluarga Cendana. (Foto: bukalapak)
Bagaimana caranya? Prabowo yang pernah menjadi bagian dari "Keluarga Cendana", sebagai menantu Presiden Soeharto, hendaknya bisa berkata jujur mengenai geliat bisnis mantan keluarganya itu. Demi memenuhi rasa keadilan masyarakat, Prabowo sebaiknya mengungkap jaringan bisnis "Keluarga Cendana" yang pernah (atau bahkan sedang) dikelola dengan cara-cara yang tak jujur dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedikit banyak, Prabowo pasti tahu dan masih ingatlah, bagaimana ketika itu geliat bisnis "Keluarga Cendana".

Dalam bukunya yang berjudul "Monopoli Bisnis Keluarga Cendana" karya Drs Soesilo yang diberi kata pengantar oleh Soebadio Sastrosatomo, disebutkan ada 13 bentuk penyimpangan bisnis "Keluarga Cendana" yang dilakukan pada masa Orde Baru.

Ke-13 penyimpangan bisnis itu adalah monopoli, proteksi, ruilslag/BOT, hak pungutan, wajib beli, dana reboisasi, saham kosong, fasilitas khusus, tender terbatas, tax holiday, hak khusus/priviledge, kredit khusus, dan lisensi.

Masih di buku yang sama, termuat tabel tentang Daftar Rekanan Pertamina Beraroma Cendana. Ada banyak nama perusahaan, nama pemilik modal, dan jenis pekerjaan yang disebut. Salah satu perusahaan diantaranya adalah, Tirtamas Majutama, dengan dua nama pemilik modal yaitu Hashim Djojohadikusumo (adik kandung Prabowo Subianto) dan Titiek Prabowo. Perusahaan yang dimiliki Hashim dan Titiek ini melakukan kontrak jual beli Tatun dan Bontang Return Condensate.

Nah, dalam hal-hal seperti ini, sebaiknya Prabowo Subianto bicara berkoar-koar, mendetil dan buka-bukaan. Mana-mana saja perusahaan dan bisnis "Keluarga Cendana" yang diperoleh secara menyimpang (ingat ada 13 penyimpangan bisnis). Lalu, syukur-syukur Prabowo juga bisa bertutur tegas, kemana saja larinya uang "Keluarga Cendana" selama yang dirinya sempat ketahui? Wah, kalau itu dilakukan Prabowo, ia bakal mendulang banyak simpati dari publik. Menjadi "pahlawan pengungkap kebenaran" yang ikut memburu harta dan aset pemimpin Orde Baru berikut keluarga dan kroninya hingga ke luar negeri.

Eh, dalam buku "Monopoli Bisnis Keluarga Cendana" ini juga sedikit diceritakan dugaan keterlibatan Titiek Prabowo dalam memanfaatkan lahan gelora Senayan yang semula mustinya untuk membangun taman kota dan sarana olahraga, tapi justru diperuntukkan bagi pusat komersial Plaza Senayan. Hingga kini!

Jokowi sudah bekerja dan menunjukkan kinerja ciamiknya dalam memburu aset koruptor dan penghindar pajak di luar negeri. Tinggal Prabowo Subianto nih, kalau mau main buka-bukaan soal bisnis Keluarga Cendana, dan kemana saja larinya uang-uang bisnis ketika itu, atau tidak? Ayolah, terbitkan buku lagi, jangan berjudul "Paradoks Indonesia" lagi, tapi buatlah "Paradoks Cendana". Saya yakin, pasti best seller!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun