Tok! Putusan Bawaslu RI itu seakan sekaligus meresmikan, bahwa PKS enggak dapat imbalan kursi Cawapres buat mereka. Kecuali, hanya menyisakan kecurigaan awal bahwa partai ini diduga terima uang mahar politik dari Sandiaga Uno. Iba juga rasanya melihat kiprah PKS, sedari awal ngotot ajukan sembilan nama kader kepada Prabowo, tapi ya 'gitu deh, enggak ada yang "nyangkut" satu jua pun.
Lalu apa arti ngototnya PKS waktu mengajukan sembilan nama kader, berikut ancaman untuk tarik atau evaluasi dukungan kepada Prabowo? Apa sandiwara politik? Apa ada "udang dibalik batu"? Entahlah ...
Kondisi memprihatinkan yang serupa, hampir terjadi untuk posisi Wakil Gubernur DKI. PKS yang tak mau kejadian kursi Cawapres terulang, lagi-lagi mengajukan ancaman serupa. Mau keluar dari koalisi pendukung pasangan Capres-Cawapres nomor urut 02, Prabowo-Sandi, kalau "jatah" kursi Wagub DKI bukan menjadi hak PKS. Maklum, sejak awal kader Partai Gerindra, M Taufik, nampak ngotot benar untuk menduduki kursi Wagub mendampingi Gubernur Anies Baswedan.
Klimaksnya, Senin, 5 November 2018, Gerindra yang justru mengundang PKS untuk bertemu dan mencari jalan tengah, terkait siapa berhak menduduki kursi Wagub DKI. Apakah ada solusi? Saya justru sempat kaget membaca PKS nyaris ditelikung lagi. Masalahnya begini. Hasil pertemuan tersebut, dalam penilaian PKS, dianggap sudah memberi amanah kepada PKS untuk menunjuk kadernya sebagai pendamping Anies Baswedan.
Tapi rupanya, Gerindra seakan belum ridho, belum plong ikhlasnya. Karena, pemberian amanah kepada PKS untuk mengajukan nama kadernya sebagai Cawagub DKI, masih ada embel-embel persyaratannya. Apa itu? Jikalau kader PKS tersebut lolos fit and proper test yang akan dilakukan bersama, antara Gerindra-PKS. Lucu juga ya, kader di-fit and proper test oleh sesama kader juga. Lha terus, kalau kader PKS tidak lolos, maka Gerindra masih punya kesempatan yang sama untuk bersaing merebut kursi Wagub DKI.
Lagi dan lagi. Tidakkah PKS bercermin dari kejadian sebelumnya? Memberi dukungan loyal, tapi tidak menerima imbalan (apa-apa). Tak berlakulah "tahaddu tahabbu" dalam perpolitikan itu.
Selain kurang moncer kalau berurusan politik dengan teman sekoalisi, PKS saat ini juga didera problem rumah tangga. Antara lain, kabar mundur teraturnya banyak kader PKS di sejumlah daerah, misalnya di Banyumas, Mojokerto, Bali, juga Sumatera Utara. Alasan mundurnya beragam. Utamanya sih soal ketidakpuasan atas kebijakan manajemen elite partai.
Hampir sepanjang 2018, pemberitaan mengenai "rumah-tangga" PKS kurang sedap dipandang. Mulai dari politisinya yang terlibat kasus suap usulan proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Sosok yang dimaksud Yudi Widiana Adia, yang pernah menjabat Wakil Ketua Komisi V DPR. Pada 21 Maret, Yudi divonis sembilan tahun kurungan. Hakim menilai ia terima uang suap lebih dari Rp 11 miliar dari Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa, So Kok Seng alias Aseng. Whewwww ... "main matanya" sama Aseng!
Sampai pada Agustus 2018, ketika Presiden pertama PKS, Nur Mahmudi Ismail ditetapkan menjadi tersangka oleh Polresta Depok. Kasusnya, mantan Wali Kota Depok ini disangka melakukan korupsi, pada proyek pengadaan lahan untuk pelebaran Jalan Nangka, Tapos, Depok.