Itu tadi, semua warna. Spring, summer, autumn, winter ...
Jadi selama ini salah dong kalau Batik Tangsel lebih cenderung kepada warna hijau tosca? Â Â
Bukan salah. Miskin. Mereka mempermiskin, padahal Tangsel itu tempat orang pendatang, berarti membawa budaya, a
dat, macam-macam, ada orang Malang, Batak, ada orang asingnya, orang Jerman, saya mengajar juga di Swiss German University. Jadi harus kaya sekali. Enggak kelihatan kekayaannya. Enggak ada Eropanya. Jadi mereka ikut memiliki nanti. Wah ada juga motif Jerman, karena kita (warga Jerman -- red) di sini, itu mengundang investor untuk jualan. Batik ini harus menjadi "penangkap serangga".
Jadi bisa dibilang, Batik "Neo Tangsel" ini harus beda dengan yang selama ini sudah ada?
Beda. Oh, harus beda. Karena kalau enggak beda, di Departemen Kehakiman untuk intellectual property right, hak kekayaan intelektual, enggak masuk.
Oh, harus! Coba aja lihat Swedia, negara yang cuma kecil, bisa membuat keajaiban mesin. Swedia, negara kecil tapi kaya. Batik "Neo Tangsel" harus jadi miniatur Indonesia, seperti Yogyakarta yang jadi miniaturnya Indonesia. Kalau Bandung jadi miniaturnya Indonesia, tapi 'kan di sana Pasundannya masih kuat. Ya itu yang harus kita pertahankan. Di sini (Tangsel -- red) juga, Betawi sama Sunda. Betawinya, Betawi apa. Sundanya, Sunda apa. 'Kan unik, coba. Kenapa musti ke arah Cirebon, ke arah Pekalongan. Kok jadi kayak 'gitu? Jadi ini mesin fotocopy dong, saya bilang 'gitu.
Jadinya enggak jelas ya? Â Â Â Â Â
Karena masih belum ada konsepsi. Belum ada pendekatan secara intelektual. Ibu-ibu (pembatik - red) ini masih naf. Zaman nenek saya, beliau bilang, ini kembang melati ya, taruh di sini (jadi motif batik -- red). Padahal bentuk melati itu bisa macam-macam. Nanti lihat deh, saya menerjemahkan anggrek seperti apa. Ini anggrek, tapi bentuknya naf.