"Jam 04.00 pagi sudah harus kumpul semua di lobby. Kita langsung berangkat ke Danau Kelimutu."
Begitu instruksi Dwi Setijo Widodo, pemandu wisata rombongan. Alamak, jam 04.00?! Padahal kami baru juga tiba di tempat penginapan, jam 01.30 dini hari. Ya ampun, mana bisa curi waktu untuk  berbaring dan tidur. Belum lagi, ketika sampai di kamar penginapan Kelimutu Ecolodge di Desa Koanara, Moni, Ende, Flores -- NTT ini, harus siapkan segala sesuatu buat mendaki ke Puncak Gunung Kelimutu.
Oh ya, kami tiba di Moni -- tempat biasa para pendaki Kelimutu menginap -- lewat dari tengah malam, karena memang baru berangkat dari Maumere kelar makan malam, sekitar jam 20.30. Lho, kenapa enggak berangkat dari sore hari? Ya 'gimana mungkin, karena jam 19.00 pun kami baru tiba di Maumere, sesudah menempuh perjalanan lebih dari 110 km dari Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kec Demon Pagong, Flores Timur - tempat tinggal keluarga Mama Sorgum alias Maria Loretha. [Baca di sini:Tuhan Titipkan Sorgum Lewat Tangan Maria Loretha]
Perjalanan dari Maumere ke Moni (sekitar 98 km) di malam hari terasa membosankan. Sepanjang jalan, jarang sekali bertemu kendaraan lain, mobil apalagi motor. Meskipun tidak terlalu lebar ruas jalannya, tapi Jalan Nasional Larantuka -- Maumere ini lumayan bagus.
Artinya, kita yang kelelahan tidak merasa ajrut-ajrutan di dalam mobil. Tapi, itu juga bukan berarti kami bisa istirahat. Karenaaaa ... jalan raya ini bergitu banyaaaakkkkkkk kelak-keloknya. Ya ampun, kalau enggak percaya lihat saja ini kondisi rute via Google Maps. Jalannya kelak-kelok kayak gitu ... hahahaaaa. Melihat petanya saja udahmumet kan, apalagi kami yang merasakannya sendiri di dalam minibus. Baru mau tidur sedikit, mobil sudah berbelok tajam kanan, disusul kemudian belok tajam kiri. Begitu terus dan terus. Lagi ... dan lagiiii.
Pemandu wisata berambut gondrong ini juga tak sedang berdusta ketika bercerita, bahwa ia pernah terjebak stuck di jalan lantaran ada tebing longsor. Enggak heran, sepanjang jalan kami sering lihat tebing yang begitu mepet dengan jalan raya. Bahkan di beberapa titik, ada satu dua bongkahan batu di jalan raya setelah menggelinding dari punggung tebing.
Begitulah keseruan dan "aduhai"-nya jalan darat dari Maumere ke Moni (pintu gerbangnya Kelimutu).
o o o O o o o
Tepat jam 04.00, minibus yang kami tumpangi bergerak dari Moni menuju Kelimutu. Minibus serasa longgar, maklum koper dan ransel gendut sudah diturunkan di penginapan. Dingin merasuk badan sepanjang jalan. Moni, seperti kata orang, benar-benar pintu gerbang Kelimutu. Banyak dijumpai home stay di kiri kanan jalan yang terus menanjak. Kehidupan sekitar seperti belum nampak. Eh, lha iyaaaa ... ini masih jam sahur ... hahahahaa
Ketika mulai mendaki punggung bukit, kiri kanan jalan mulai banyak pepohonan dan belukar. Maklumlah, namanya juga mulai mendekati area Taman Nasional (TN). Artinya segala sesuatu yang ada didalamnya pasti harus dilestarikan. Apalagi, Kelimutu juga bukan wilayah sembarangan, karena berkaitan dengan adat istiadat masyarakat lokal. Makanya, kalau berwisata ke sini pun, ya harus menghormati kearifan lokal. Contohnya, pada setiap 14 Agustus, Suku Lio menggelar ritual ada Pati Ka di ceremonial site yang berjarak 850 m dari lokasi parkir. Ritual ini berupa pemberian makan atau sesajen bagi arwah leluhur. Ini simbol syukur atas perjalanan tahun yang sudah berjalan, sambil memohon berkah agar tahun berikut lebih baik lagi segala sesuatunya.
Jalan mendaki terus kami lalui. Kelihatan sekali, Pemerintah Daerah setempat benar-benar berusaha melayani tamu dan wisatawan sebaik mungkin. Ruas-ruas jalan diperlebar, sejak mula pertigaan Moni. Tepi tebing dipangkas-dibelah, agar pada jalan menikung misalnya, bisa dilebarkan lebih lapang lagi. Tebing pun diberi tanggul dari batu-batu kali yang di-cor demi menahan longsor. Sayangnya, suasana di luar masih rada gelap sehingga tak begitu banyak yang bisa saya rekam melalui pandangan pun ingatan.
Sudah 30 menit perjalanan, masih juga belum sampai di Kelimutu.
Sepuluh menit kemudian, kami sampai di gerbang utama TN. Supir menepikan kendaraan. Dwi dengan sigap turun dan menuju pos penjagaan untuk melapor ke petugas sambil bayar tiket masuk. Karena hari ini adalah Minggu, 1 Juli 2018, maka dikenakan tarif hari libur yaitu Rp 7.500 per wisatawan domestik. Katanya, kalau hari biasa, cukup Rp 5.000 saja. Di sobekan tiket warna putih itu tercantum, bahwa ketentuan ini: Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No.12 Tahun 2014 tertanggal 14 Februari 2014.
Awalnya saya agak ragu melanjutkan pendakian. "Apa tidak sebaiknya Sholat Subuh dulu?" tanya saya ketika mendengar suara adzan Subuh dari handphone Dwi. Tapi jawaban Dwi justru menohok. "Mau sholat dimana Pak? Di sini tidak ada mushola. Kalau saya, biasanya tetap mendaki dulu. Nanti kalau ketemu lokasi memungkinkan untuk sholat, ya kita sholat dengan kondisi sedikit darurat," ujarnya.
Menyimak jawaban Dwi, saya pasrah. Okelah kalo begitu, ayo lanjut saja pendakian. Suasana gelap. Hanya di permulaan jalan saja ada lampu sorot. Selepas itu, gelap nge-dedhet. Syukurlah masih ada sisa temaram sinar bulan purnama. Lampu senter milik Dwi terus dinyalakan. Menyinari tangga-tangga batu dan tapakan kaki, agar rombongan tidak tersandung tangga batu atau terpeleset jalan berkerikil yang terbasahi embun.
Usai sholat, perjalanan dilanjutkan.
o o o O o o o
Jalan mulai mengeras, ada semacam track dengan semen coran. Lumayanlah untuk ditapaki kaki-kaki lelah, mata mengantuk dan tubuh yang menggigil kedinginan. Beberapa kali, langkah kami disusul sejumlah pendaki dengan langkah yang lebih bergegas. Diantara mereka, ada juga wisatawan mancanegara. Mungkin karena sudah terbiasa dengan salju di negaranya, ada satu dua perempuan diantara mereka yang bercelana pendek. Wkwkwkkkk ..., kagak kedinginan apa 'ntu, Neng?
Belum seberapa jauh melangkah, Dwi menghentikan langkah. Ia menunjukkan ke sisi sebelah kanan. Terlihat susunan tangga-tangga batu untuk menuju ke atas. Enggak terlalu curam sih, paling-paling 15 sampai 20 derajat sudut kemiringannya. Ternyata, inilah danau pertama yang ada di Kelimutu. Dalam bahasa lokal sering disebut Tiwu Ata Polo. Tiwu artinya danau. Menurut kepercayaan adat setempat, di danau inilah para arwah orang-orang jahat ditempatkan. Dari lokasi parkir, Ata Polo berjarak 625 m.
Oh ya, di sejumlah penanda informasi yang dipasang secara permanen juga ada disebutkan bahwa Kelimutu sebenarnya adalah satu gunung api dengan tiga danau di kawahnya. Kelimutu sendiri berasal dari 2 kata: "keli" (gunung) dan "mutu" (mendidih). Adapun soal perubahan warna air danau, begini informasi yang tertulis selengkapnya: "Ketiga danau kawah Kelimutu memiliki sumber gas vulkanik yang sama, tetapi sebagai akibat dari transportasi gas yang sub-akuatis tersebut maka menghasilkan "ekspresi" kimia yang berbeda pada setiap danau."
Sebelum matahari terbit, enggak usahlah coba naik tangga dan melihat kawah Tiwu Ata Polo. Percuma. Toh, masih diselimuti kabut tebal dan air danaunya pun tak tampak, kecuali hanya gelap dan kegelapan. Gagal melihat danau pertama ini, kami pun bergegas menuruni anak tangga lagi. Saya sempat hitung ada sekitar 80-an anak tangga. "Nanti kalau sudah agak siang, kita ke sini lagi," ujar Dwi kepada rombongan.
Jalan setapak mendaki yang lebarnya kira-kira muat 4 orang berdiri berjejer ini akhirnya membawa kami sampai juga ke puncak Gunung Kelimutu yang menurut beberapa sumber meletus terakhir kali pada 1886. Gunung setinggi 1.639 m (5.377 kaki) ini berada di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Kabupaten Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Di puncak gunung, ada monumen berwarna putih yang dibangun di atas tanah datar cukup lapang. Di atas monumen dengan anak tangga berundak ini ada tugu. Menjulang ke langit setinggi kira-kira 2,5 -- 3 meter. Anak-anak tangga ini sekaligus jadi kursi bagi wisatawan untuk menyaksikan detik-detik matahari terbit, alam pegunungan yang berselimut mega, sekaligus pancaran keindahan permukaan air tiga danau.
Saatnya tunggu detik-detik mentari kembali dari peraduannya. Sunrise!
Ketika mentari terbit dan menampakkan sinar kuning oranye kemerahannya, serta membuat garis horizontal timur yang apik, semua yang ada di puncak Kelimutu berteriak riuh rendah kegirangan. Semua terpesona atas lukisan alam ciptaan Tuhan.
Angin dingin yang kencang benar-benar tak bisa dihindari di atap Kelimutu ini. Dingin juga terasa kian luar biasa, utamanya terasa di dahi, telinga, hidung dan bibir. Makanya, lebih baik buat yang mau ke sini, bawalah jaket tebal lengkap dengan tutup kepala, syal lilit leher, sarung tangan, kaos kaki tebal, topi dan kacamata hitam. Bbbrrrrrrrr ... selain bikin menggigil, angin kencang juga jadi momok tersendiri ketika kita hendak membuat video blogging, Vlog. Karena, suara yang masuk ke microphone akan kalah dengan suara terpaan angin.
Di puncak Kelimutu, di sekitar monumen terdapat beberapa warga setempat menjajakan minuman dan camilan. Ada juga yang menjual kain tenun ikat, diantaranya dengan memajang kain-kain tersebut di pagar besi pengaman layaknya jemuran. Yaaahhh ... alangkah lebih baik, menjual kain tenun ikatnya di lapak khusus saja. Supaya pemandangan di puncak gunung ini terjaga rapi, asri, sedap dipandang, selain bikin gampang orang yang motret ambil angle.
Nah, satu danau di sisi barat yaitu Tiwu Ata Mbupu atau danau yang menjadi tempat arwah para orang-orang tua. Warna danau ini agak biru pekat. Untuk menuju ke sini, jauh jarak yang musti kita tempuh adalah 1.300 m dari tempat parkir kendaraan.
Usai menikmati matahari terbit di horizon timur dan sinar hangatnya mulai makin hangat, biasanya wisatawan meninggalkan puncak Kelimutu. Tapi bukan berarti obyek wisata ini akan sepi. Sama sekali tidak. Karena, ketika matahari mulai bergerak meninggi pun, justru semakin banyak wisatawan lain yang baru tiba dan lakukan pendakian.
Pokoknya, karena kondisi sudah terang benderang, maka semua bisa kelihatan jelas, termasuk pemandangan ciamik danau Tiwu Ata Polo yang bisa disaksikan dari bibir kawah. Meskipun, tetap harus hati-hati, waspada dan patuhi aturan batas pagar besi pengaman.
o o o O o o o
Sepanjang perjalanan menuju ke lokasi parkir kendaraan, jalan yang ditempuh berbeda dengan ketika baru hendak mendaki. Tentu saja ini bagus, untuk memecah kerumunan pengunjung antara yang baru datang dengan mereka yang hendak bersiap pulang. Tidak sulit jalan yang harus dilalui untuk ke parkiran. Malah pengunjung bisa selfie kala menemukan bunga-bunga bermekaran indah di pinggir jalan. Kicau burung aneka nada, pepohonan rindang dan rerumputan hijau menyatu dengan jalan yang lembab.
Elang Flores juga ada di sini. Burung empunya nama ilmiah Nisaetus Floris ini gampang-gampang susah ditemui di TN Kelimutu karena jumlah raptor endemik NTT ini terus berkurang. Bahkan, sudah masuk red list sebagai critically endangered yang artinya, selangkah lagi akan punah di alam. Tahun 2017, jumlahnya disebut-sebut tinggal sisa 8 individu. Fauna lain misalnya Monyet Kra, Burung Decu Belang, Ular Piton, Burung Dara Timor dan masih banyak lagi.
Kita berharap kelestarian flora dan fauna di TN Kelimutu terpelihara. Apalagi, data menunjukkan, jumlah wisatawan domestik maupun mancanegara yang berkunjung terus bertambah. Data tertempel di pos informasi - di sudut kanan lokasi parkir -- memuat grafik tersebut: Tahun 2014: (Domestik: 41.517, Mancanegara: 13.184); Â Tahun 2015 (Domestik: 50.324 orang, Mancanegara: 12.633 orang); Tahun 2016 (Domestik: 66.818, Mancanegara: 14.504). Ketika libur Idul Fitri 2018 kemarin, hanya dalam 3 hari (15-17 Juni) pengunjung TN Kelimutu 6.411 orang (146 diantaranya wisatawan mancanegara).
* * *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H