"Story telling dalam setiap karya foto makanan saya, hanya ada satu kata. Yaitu, RASA."
Adalah Fellexandro Ruby, food photographer yang membeberkan 8 tips praktis untuk menjadi seorang tukang foto makanan. Apa? Tukang foto makanan? Ya, belakangan profesi ini semakin bergemerincing pundi-pundi uang, lantaran semakin banyak pemilik brand makanan (pun minuman) yang kepingin produknya tampil memikat di samudera media-media massa apalagi di media sosial.
"Kalau lihat foto produk Chitato dan Amanda Brownies yang baru, maka itulah diantara hasil karya foto saya," ujar Ruby, sapaan akrabnya. Dan, kalau penasaran mau lihat tampilan karya-karya foto Ruby lainnya, silakan saja buka akun instagramnya, @captainruby
"Dulu, saya juga blogger. Saya menulis curhatan-curhatan sejak 2009. Kemudian berubah fokus menulis blog dengan passion seputar makanan. Lalu, bergeser sedikit menjadi fotografer makanan sampai sekarang," ujar Ruby mengawali paparan singkatnya di acara Taste of Macao yang menggemakan kampanye "2018 Macao Year Of The Gastronomy" di Nusa Indonesian Gastronomy Restaurant, Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu, 14 Juli kemarin.
"Fotografi menurut saya adalah sebuah skill yang bisa dipelajari oleh semua orang. Bedanya cuma, harus diakui, kalau yang punya keturunan mata seni - apakah turunan dari orangtua, atau kebiasaan sehari-hari yang selalu mengekspose seni -, biasanya akan lebih cepat belajarnya," katanya.
Dari perjalanannya sebagai professional food photographer, Ruby menyebut satu kata sebagai yang paling mewakili dari setiap karya jepretannya. Apa itu? Tak lain adalah: rasa. "Rasa adalah kombinasi dari berbagai macam hal, penciuman, pendengaran, penglihatan, kecap lidah bahkan emosi. Story telling dalam food photograhy saya, yang paling simple adalah diartikan dengan kata "rasa". Tampilkan "rasa" dalam setiap food photography," pesan Ruby.
Tapi jangan gegabah memaknai rasa untuk kemudian asal-asalan memotret makanan. Bisa-bisa hasilnya malah foto yang gagal. Artinya, makanan yang semestinya punya rasa sedap, tampilan fotonya malah bisa jadi terbalik alias kurang sedap.
"Detil-detil property harus diperhatikan secara seksama, termasuk misalnya pemilihan detil gelas. Percaya enggak percaya, saya, agency dan client, harus melakukan dua meeting khusus hanya untuk memilih gelas yang akan dijadikan obyek fotonya. Bersama dengan food stylist kita memilih beberapa gelas saja dari ratusan gelas yang diajukan sebagai contoh," ungkap sang captainruby.
Untuk menjadi juru foto mumpuni, lanjut Ruby, tidak usah dipusingkan dengan kamera apa yang dipergunakan. "Yang penting adalah kita harus paham dengan kamera apa yang kita gunakan itu. Ingat, ada pepatah bijak mengatakan: Camera is secondary. The number one is the person behind the camera. Camkan itu dengan baik," nasihat "sang kapten".
Berikut ini, 8 tips yang disodorkan Ruby untuk menjadi juru foto makanan:
Tips #1: Berteman dengan jendela. "Jendela itu penting, karena food photography yang paling baik adalah foto dengan cahaya natural. Cahaya matahari lebih baik. Sinar matahari yang 'jatuh' ke makanan itu jauh lebih colorful dan lebih enak untuk dilihat," ujarnya.
"Perhatikan juga arah datangnya cahaya dengan cara melihat bayangan dari benda yang menjadi obyek foto. Dibandingkan dengan cahaya yang datang dari arah depan obyek foto, maka cahaya yang datang dari arah samping adalah lebih bagus lagi. Kalau cahaya datang dari arah depan, maka obyek foto akan terlihat flat, sedangkan kalau dari samping menjadi semakin terlihat dimensi dari obyek fotonya," terang Ruby.
Untuk lebih mudahnya, Ruby berpesan, sebaiknya arahkan cahaya agar datang dari arah jam 9 sampai jam 3. Kalaupun dari arah jam 12, maka itu artinya dari arah belakang makanan. Artinya, dari sisi kiri, kanan maupun belakang (KKB).
Untuk tips yang satu ini, Ruby memberi contoh, kalau obyek foto yang akan dipotret berwarna kuning, tetapi kita memotretnya dengan terlalu terang bahkan menggunakan lampu flash, maka hasilnya, warna obyek foto yang tadinya kuning bisa malah menjadi putih.
"Jadi, kalau kita memotretnya sudah kelewat terang, maka yang berubah warna putih tadi akan sulit "dikembalikan" warnanya menjadi kuning. Sedangkan kalau kita memotretnya justru dengan opsi agak gelap sedikit, maka warna obyek foto bisa dibuat menjadi semakin kuning. Kita tidak bisa mengembalikan warna putih akibat silau lampu flash yang terlalu terang secara manual," ujarnya.Â
"Secara teknis, itulah yang namanya Rule Of Third. Dari garis-garis cinta yang bentuknya kotak-kotak di layar kamera itu, kita musti membayangkan bahwa yang horizontal adalah sosok cowok, dan garis yang vertical adalah sosok cewek. Nah, dimana ada garis cowok bertemu atau bersinggungan dengan garis cewek, maka pada posisi itulah obyek foto makanan musti ditaruh. Kenapa begitu? Karena secara artistik yang menjadi titik utama perhatian atau point of interest adalah pada posisi dimana ada pertemuan garis cowok bertemu dengan garis cewek. Hasil fotonya, biasanya akan lebih stand out," beber "sang kapitan".
"Artinya, beri ruang pada obyek foto, jangan dalam satu frame foto terisi penuh oleh obyek fotonya. Harus ada ruang kosong sedikit. Malah kadang-kadang, kalau ada ruang kosong untuk bernafas bagi si obyek foto, biasanya ruang kosong untuk bernafas ini dimanfaatkan juga untuk menambahkan tulisan teks, pasang logo dan lainnya. Ruang kosong juga membantu orang yang melihatnya untuk lebih fokus kepada obyek foto yaitu makanannya," pesan Ruby disambut anggukan peserta yang terdiri dari Kompasianer, Food Blogger juga Food Instagrammer.
Ruby berpesan, untuk senantiasa memastikan bisa tahu angle terbaik dari makanan atau minuman yang jadi obyek foto. Berusaha dan akhirnya terbiasalah untuk menemukan the best angle melalui latihan berkali-kali.
"Food photography juga punya aturan angle terbaik, tapi tergantung dari apa-apa saja jenis makanan yang akan difoto. Kadang makanan yang difoto harus dijepret dari arah atas atau topshot. Alasannya, karena potongan daging yang warnanya kemerahan dan terlihat seratnya menghadap ke atas, maka fotonya harus dari arah topshot. Memotret burger misalnya, jangan difoto dari arah topshot -- jam 12 atau dari atas -, karena hanya akan kelihatan toping atas burgernya saja. Bagi saya, mengubah angle bisa mengubah cerita dan rasa. Angle itu penting banget karena dengan mengubah angle saja maka bisa mengubah hasrat orang lain juga," urainya.
- Warna harus kelihatan bagus. Usahakan warna-warna yang bikin ngiler, menggugah selera.
- Tekstur. Kalau makanan crispy harus terlihat renyah atau kriukkk. Makanan yang meleleh (melted) harus terlihat lelehannya.
- Volume atau ukuran. Kalau makanannya kelihatan besar atau kecil, ya harus kelihatan besar maupun kecil ukurannya. Untuk itu biasanya digunakan obyek foto pembanding yang lain.
Artinya begini, kalau kita sudah berhadapan dengan makanan yang bisa saja menjadi obyek foto menarik, tetapi karena pencahayaan di lokasi tempat kita berada kurang bagus, maka jangan memaksakan diri. Memotret makanan adalah untuk fotografi, sedangkan makanan itu sendiri, ya dalam kondisi lokasi yang kurang memungkinkan untuk kita foto, sebaiknya ya dinikmati saja cita rasa dan kelezatannya. "Bukankah ketika mau foto yang hasilnya bagus, maka cahayanya juga harus bagus," pesan Ruby.
Sebenarnya, pesan ini juga pernah disampaikan Kirsten Alana dalam situs finedininglovers. "When I walk into a home or restaurant and I see that the light is very low and will be horrible for food photography, if I don't have good lighting with me to supplement (there are options, which I will cover in the next post) -- then I enjoy my food and the company I consume it with. I take off my photographer's hat. Think of it in this way, breakfast and lunch are more for photographing. Dinner is for eating. Or - shoot your lunch, eat your dinner!" tulis Kirsten.
Meskipun menyarankan untuk obyek foto dijepret dari jarak dekat atau close up, tapi bukan berarti ini satu-satunya cara terbaik untuk dilakukan oleh seorang juru foto makanan. Justru ini sebaiknya menjadi opsi paling terakhir. "Kalau sudah bingung dan kehabisan ide, maka yakinkan saja memotret makanannya secara dekat atau close up," begitu nasehat Ruby.
Akhirnya, Ruby menandaskan, kadangkala food photographer menemukan fakta bahwa tidak semua menu makanan-minuman adalah menarik untuk dijepret kamera.Â
"Semua menu yang enak belum tentu cantik. Juga, semua menu yang cantik belum tentu enak. Makanya, kita harus memilih secara bijak. Inilah dilema yang sering dihadapi food photographer," jelas Ruby mengakhiri sessi khusus di acara Taste of Macao ini.
Apalagi, budaya gastronomi di Macao itu sudah berumur lebih dari 400 tahun, seperti disampaikan oleh DR Alexis Tam selaku Sekretaris Bidang Sosial dan Budaya Pemerintah Daerah Khusus Administratif Macao.
Selamat menjepret. Jangan lupa bahagia...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H