Daunnya rimbun banget. Bahkan akar-akarnya pun begitu besar dan kekar. Entah berapa usia pohon beringin yang kesannya kok angker banget ini. Heheheee ... tapi biar pun angker, tetap ada spot untuk berfoto yaitu persis di tengah-tengah akar pohon yang besar-besar dan membentuk seperti semacam mulut goa. Haddeeeuuhhhh ... bikin merinding bulu romaku.
Tiba-tiba, langkah kami berhenti. Belum juga masuk ke tengah perkampungan, seorang ibu tampak setengah berlari dan seperti memberi instruksi kepada kami. Rupanya, ibu ini mengingatkan agar kami lebih dulu mencari dan menemui Bapak Tua. Tak hanya memerintahkan kami agar menemui Bapak Tua, ibu ini pun menunjukkan arah untuk bisa menuju ke rumah si Bapak Tua.
Sambil terus berjalan menuju ke arah rumah Bapak Tua, perjalanan jalan kami sudah mulai memasuki setengah lingkaran pertengahan kampung. Persisnya di sisi kiri kampung. Rumah-rumah adat sudah mulai semakin jelas. Rumah kayu dan bertingkat seperti rumah panggung tapi pendek, alias tidak menyatu dengan tanah. Ada tiang-tiang yang menyangga lantai kayu rumah. Tiang-tiangnya berdiri di atas bebatuan yang disusun rapi, tingginya sekitar satu meter.Â
Untuk naik ke rumah panggung ini pasti ada tangga kayu yang langsung terhubung dengan ruang terbuka sebagai "teras kayu". Tentu ada pintu kayu dan jendela kayu. Di sisi kiri dan kanan tangga kayu ada ukiran dan pahatan bergambarkan aneka binatang, tetumbuhan dan manusia. Ada juga ukiran senjata laras panjang. Waaaahhhh ... sungguh ukiran sekaligus hiasan rumah yang menyimpan banyak cerita bersejarah penuh daya pikat kalokayak ginisih.
Setiap rumah-rumah adat yang berbentuk limas dengan bagian penampang atas mendatar ini seolah menghadap ke arah tengah-tengah kampung. Di pertengahan kampung inilah menjadi semacam altar bebatuan untuk melakukan upacara adat. Saya lihat altarnya seperti semacam pondasi candi. Batu-batu disusun rapi bertumpuk-tumpuk.Â
Tingginya sekitar dua meter. Jadi saya dan rombongan tidak bisa melihat ada apa sebenarnya di atas atau di altar bebatuan tersebut. Selain juga, pemandu wisata sudah mengingatkan untuk jangan menaiki altar, karena dipercaya sebagai tempat keramat atau yang disucika. Walaaahhhhh ... makin bikin kepo surepo.
Sekali lagi, suasana nampak sepi menyelimuti kami. Di rumah-rumah adat ini tidak nampak seorang pun. Saya malah cuma melihat ada biji kopi yang dijemur di atas lapak plastik warna biru juga di bebatuan.
Ada biji kopi yang sudah mengelupas kulitnya sehingga memunculkan biji kopi berwarna keputihan, tapi ada juga yang masih terbungkus dengan daging buah kopinya. Saya melihat juga ada yang menjemur biji kemiri, mirip batu koral seukuran lebih dari ibu jari. Tak ada yang menjemur baju apalagi peralatan dapur, semua di sini rapi dan resik lho.
Tanpa Mama Semua Sunyi