Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Rumah Adat Wologai yang Memuliakan Mama

14 Juli 2018   12:28 Diperbarui: 24 Juli 2018   15:35 2410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto bareng dulu dengan Aloysius Keta sebelum meninggalkan Kampung Tradisional Wologai Tengah, Ende, Flores, NTT. (Foto: Gapey Sandy)

Status mama atau ibu di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), begitu istimewa. Kain tenun ikat (Kabupaten) Sikka misalnya, punya motif yang menjunjung tinggi peran seorang mama. Dalam satu kain tenun ikat ada motif yang punya ukuran lebih besar dibanding motif lain. Motif ini ada di posisi tengah atau dalam bahasa lokal disebut 'hina' yang menyimbolkan mama. Mengapa posisi motif untuk simbol mama ini ada di tengah? Tak lain karena semua mengagungkan mama dan dianggap sebagai sumber atau pusat kehidupan.

Jadi, kalau kebetulan punya kain tenun ikat di rumah, perhatikan bagian tengahnya, selalu saja ada motif yang dibuat lebih besar ruang ukurannya. Itulah simbol 'hina' alias mama. Tapi ingat, motifnya yang tradisional ya, dan biasa digunakan kain tenun ikat itu untuk upacara adat. Bukan yang sudah masuk ke ranah motif kontemporer yang diproduksi guna memenuhi selera pasar.

Bukan cuma di kain tenun ikat saja status mama begitu penuh penghargaan. Di Kampung Tradisional atau Desa Wologai Tengah di Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, Flores -- sekitar 23 km dari lokasi wisata Danau Kelimutu -, rumah-rumah adat di kampung ini juga dianggap sebagai simbol representasi dari seorang mama. Rumah adalah mama.

Peta perjalanan dari Danau Kelimutu menuju Kampung Tradisional Wologai Tengah, Ende, Flores. (Foto: Gapey Sandy)
Peta perjalanan dari Danau Kelimutu menuju Kampung Tradisional Wologai Tengah, Ende, Flores. (Foto: Gapey Sandy)
Gapura selamat datang di Kampung Tradisional Wologai Tengah. (Foto: Gapey Sandy)
Gapura selamat datang di Kampung Tradisional Wologai Tengah. (Foto: Gapey Sandy)
***

Saya dan rombongan tiba di Kampung Tradisional Wologai Tengah ini dengan menempuh perjalanan selama sekitar 50 menit bermobil dari Desa Koanara, Moni, Flores. Moni ini semacam wilayah khusus yang menjadi tempat penginapan para wisatawan domestik maupun mancanegara sebelum melanjutkan perjalanan ke Taman Nasional Kelimutu (Kelimutu National Park). 

Biasanya, wisatawan berangkat dari tempat penginapan di Moni ini sekitar jam 04.00 pagi, sebelum waktu Subuh. Kenapa musti pagi-pagi buta? Ya, sudah tentu untuk mengejar momentum matahari terbit (sunrise) dan menikmatinya di puncak Kelimutu. [Untuk tulisan mengenai Kelimutu, insya Allah nanti akan saya sajikan secara khusus ya].

Kondisi fisik jalan raya yang kami tempuh dari Danau Kelimutu ke Kampung Tradisional Wologai Tengah sangat bagus. Pemandangan alam sekitar juga berkesan sekali. Keseringan yang kita jumpai adalah pemandagan di sisi kiri berupa tebing batu cadas yang seolah seperti hendak longsor.

Pada beberapa kawasan tampak memang ada bekas-bekas longsoran tanah bebatuan itu. Pemerintah Daerah setempat pun sigap melakukan perbaikan, selain mengantisipasi musibah longsor dengan membangun tanggul-tanggul berbatu kali sebagai penahan pergerakan tebing. Ngeri melihatnya, membayangkan kalau benar-benar kejadian longsor. Na'udzubillah.

Suasana pemandangan di sepanjang Jalan Raya Ende -- Dotukeli yang indah. (Foto: Gapey Sandy)
Suasana pemandangan di sepanjang Jalan Raya Ende -- Dotukeli yang indah. (Foto: Gapey Sandy)
Hati-hati tebing longsor di beberapa titik Jalan Raya Ende -- Dotukeli. (Foto: Gapey Sandy)
Hati-hati tebing longsor di beberapa titik Jalan Raya Ende -- Dotukeli. (Foto: Gapey Sandy)
Sedangkan di sisi kanan, pemandangan menjanjikan alam pebukitan dan pegunungan yang menghijau. Tak jarang, di curamnya jurang terlihat sawah-sawah dan kebun milik warga yang melenakan mata memandang. Sesekali mobil kami melewati sisi pucuk pohon kemiri yang tumbuh menjulang dari curamnya dataran bawah ke pinggir jalan raya di atasnya. Kemiri memang menjadi salah satu hasil panen andalan masyarakat sekitar. Selebihnya, jalan raya beraspal mulus yang berkelak-kelok kami lalui dengan nyaman.

Sekitar jam 11 siang kami di Kampung Tradisional Wologai Tengah tepatnya di Jalan Raya Ende -- Detukeli KM 43. Suasana sepi langsung menyambut kami. Hampir tak ada tanda-tanda kehidupan. Hanya terlihat beberapa wanita penduduk sekitar yang terlihat sedang berjalan kaki di dekat Kantor Kepala Desa. Tak terlihat ada pos penjagaan di jalan masuk yang dipasang gapura sederhana. Di atas gapura yang beratapkan seng ini tertulis ucapan "Welcome to Wologai Traditional Village". Melewati gapura ada lahan cukup luas untuk parkir kendaraan wisata.

Sebelum masuk lebih jauh ke Kampung Tradisional ini, biasanya pemandu wisata harus melapor lebih dulu ke Kantor Kepala Desa. Saya kurang tahu persis ya, mungkin mengisi buku tamu semacam administrasi dan kulonuwun lainnya. Hal yang wajar dan biasa sajalah, namanya juga blusukan ke kampung orang, betul enggak.

Sebelum masuk ke area Kampung Tradisional Wologai Tengah, silakan lapor kedatangan dulu di Kantor Kepala Desa. (Foto: Gapey Sandy)
Sebelum masuk ke area Kampung Tradisional Wologai Tengah, silakan lapor kedatangan dulu di Kantor Kepala Desa. (Foto: Gapey Sandy)
Penataan infrastruktur jalan di Desa Adat Wologai Tengah yang baik. (Foto: Gapey Sandy)
Penataan infrastruktur jalan di Desa Adat Wologai Tengah yang baik. (Foto: Gapey Sandy)
Selesai pemandu wisata melaporkan diri di Kantor Kepala Desa yang tempatnya ada di sisi bawah jalanan, kami pun berjalan sekitar 300 meter menuju akses masuk kampung. Dari tempat mini bus kami parkir, sudah kelihatan sebenarnya sebagian rumah-rumah adat warga Wologai Tengah yang bentuknya sangat unik [lihat aja tuh di fotonya ya]. Kelihatan paling jelas adalah atap-atap rumah yang menghitam dan disusun dari ijuk.

Langkah kaki kami makin cepat seiring rasa penasaran ingin segera memasuki area kampung adat ini. Oh ya, sebelum menaiki beberapa anak tangga yang sengaja dibentuk menjadi semacam tanggul dan pelataran cukup lapang dari batu kali, di sisi kanan jalan masuk kami melihat ada satu pohon beringin yang berukuran raksasa. Begitu besar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun