"Mengapa dua mowak yang mengapit simbol Mama bentuknya sama? Karena, itu menjadi simbol dari suami, dan juga simbol dari anak sulung laki-laki. Kedua mowak ini mengapit kiri-kanan, menjaga dan mengawal simbol Mama. Ketika bapak atau suami pergi jauh maupun meninggal dunia, maka anak sulung laki-lakilah yang akan menggantikan posisi ayah untuk menjaga Mama, sekaligus menjadi kepala rumahtangga yang menggantikan bapak," jelas Daniel lagi.
Ada juga motif tenun ikat yang bentuknya berupa titik-titik. Inilah yang dinamakan buweng atau teman, sahabat, yang sudah seperti bahagian dari keluarga sendiri.
"Ada acara apapun, apalagi upacara adat, buweng pasti diundang untuk hadir, meskipun tidak memiliki hubungan darah kekeluargaan," jelas Daniel yang pernah sempat dianggap menabrak aturan leluhur para penenun karena mengembangkan motif dan desain tenun ikat bercorak kontemporer. "Yang motif kontemporer kami maksudkan untuk memenuhi selera pasar secara umum, bukan digunakan untuk upacara adat."
Dalam satu helai kain tenun ikat terdapat sekaligus simbol Mama (hina), bapak dan anak sulung laki-laki (mowak), serta simbol teman atau sahabat (buweng). Artinya, yang demikian mengandung arti persatuan dan kesatuan yang makin menguatkan keutuhan keluarga juga suku.
Daniel menyebutkan, tenun ikat Kabupaten Sikka dari segi motif adalah menjadi yang paling kaya rupa. "Ada sekitar seratus lebih motif tenun ikat Sikka, dan baru 52 motif yang dilindungi oleh Kementerian Hukum dan HAM," terangnya.
Diantaranya adalah motif Jen Tiujen. Jen itu sendiri, menurut banyak orang diartikan sebagai pengaruh kuat kepercayaan lokal yaitu animisme dan dinamisme. Motifnya berupa lekung siku atau pertemuan antara titik, garis, garis lengkung dan siku yang kemudian memberi makna atau membentuk sebuah simbol.
Lantas berapa lama waktu untuk membuat satu kain tenun ikat?
"Untuk satu kain tenun ikat dengan motif-motif tertentu, pengerjaan desain motifnya saja bisa menghabiskan waktu sampai sepuluh hari. Sedangkan untuk proses menenunnya bisa memakan waktu sampai sepuluh hari. Jadi, kira-kira butuh waktu 20 hari, untuk menyelesaikan satu kain tenun ikat. Tapi, kalau penenunnya disiplin dalam proses pengerjaannya, yaitu mulai dari jam 09.00 pagi sampai 16.00 sore, maka proses penenunannya bisa saja selesai dalam empat hari," ungkap Daniel seraya menambahkan bahwa proses pengerjaan bisa lebih lama lagi hingga 1 - 1,5 bulan apabila harus menambah dan membuat lagi pewarna bahan alaminya.
Adapun bahan untuk pewarnaan alamnya menggunakan beraneka ragam tetumbuhan yang ada di sekitar lingkungan. Misalnya, warna biru dihasilkan dari tanaman nila, indigofera (Bahasa Sundanya adalah daun tarum; Bahasa Jawanya adalah tom), warna merah dari akar mengkudu, warna kuning dari kunyit atau beberapa kulit pohon seperti nangka juga mangga, warna coklat pun dihasilkan dari olahan daun kakao, warna hijau yang soft dibuat dari olahan daun mete, dan masih banyak lagi.
"Bagi kami, segala jenis tanaman bisa menjadi penghasil warna atau sumber warna alami. Saat ini, kami juga sedang mengembangkan tanaman nila India yang kami datangkan dari Bali, dan sepertinya lebih cocok untuk ditanam di pegunungan seperti di Sikka," ujar Daniel senang.