Semua sudah akrab. Mencair hubungannya dengan sudah saling kenal mengenal. Sehingga tak ayal, semua kita ikut berjoget, menari bersama. Kalaupun ada diantara rombongan tamu yang ragu untuk ikutan menari pun, maka mama-mama dan bapak-bapak yang menari akan perlahan-lahan membujuk supaya ikutan bergoyang bersama.
Kaki-kaki warga Dusun Botang ini lagi-lagi banyak yang bergerincing karena suara kerincingan yang mengikat di kedua mata kaki. Tubuh mereka lemas bergoyang, kadang agak membungkuk, mengangguk, berputar setengah lingkaran kiri dan kanan. Aaaiiihhhh ... senangnya melihat semua melakukan gerak tarian sambil terkadang berteriak memekikkan suara-suara pengundang semangat. Kadang pula tertawa gembira. Tak ada yang sedih.
Sambil menari, banyak yang menggunakan kain tenun ikat sebagai peranti tari. Sedangkan warga lokal ada yang di kedua tangannya menggenggam semacam gagang kayu pendek yang menggantung ekor kuda. Gagang kayu ini dikibas-kibas, diputar-putar, sehingga otomatis ekor kuda yang kira-kira sejengkal tangan panjangnya ini pun terkibas juga memutar.
"Ini ekor kuda asli. Kuda, dipercaya oleh masyarakat lokal di sini sebagai 'kendaraan' untuk pergi atau melakukan perjalanan ke alam lain.
"Biasanya kalau ada orang tua kita yang meninggal dunia, maka anak laki-lakinya harus menyiapkan seekor kuda untuk menjadi sesembahan ritual, atau diritualkan."
"Mereka percaya bahwa roh yang meninggal dunia ini akan pergi ke dunia yang lain sambil menunggang kuda. Biasanya, peranti ekor kuda ini biasanya dipakai untuk alat tari dan mereka percaya bahwa spirit orang yang sudah meninggal dunia tadi berada dekat atau bersama dengan mereka. Sehingga mereka yang sudah meninggal dunia itu tetap selalu melihat, memperhatikan dan juga menjaga sanak keluarganya yang masih hidup di dunia," jelas Daniel yang mengenakan kemeja putih lengan panjang tapi digulung, dan bersarung warna biru tua serta bersyal hijau muda yang terbuat dari tenun ikat hasil karya menggunakan pewarna bahan alami (bukan pewarna zat kimia).
Begitulah adat istiadat warga Dusun Botang, Desa Munerana, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka, NTT dalam menerima kedatangan dan melepas kepergian tamu di lingkungan mereka.
Begitu ramah, akrab, sopan-santun, hangat dan bersahabat, serta yang pasti tidak melupakan tradisi leluhur pun kearifan lokal yang sudah tertanam sejak lama. Semoga hal yang seperti ini menginspirasi kita semua, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kaya akan ragam kebudayaan.
Toleransi atas keberagaman harus menjadi landasan persatuan dan kesatuan kita sebagai sesama anak bangsa.