Pokoknya, sampai saya menghembuskan nafas terakhir, tekad saya akan terus melakukan pendampingan kepada masyarakat petani sorgum bukan hanya di Likotuden, tapi juga di Pulau Adonara, Pulau Solor, Pulau Lembata, Ende, sampai Manggarai Barat. Ada banyak sudah kelompok-kelompok tani kita di sana.
Secara ekonomi, pada tiga tahun pertama pengembangannya, sebanyak 40% hasil panen sorgum masyarakat dijual ke pasar demi memenuhi kebutuhan ekonomi, sedangkan 60%-nya untuk dikonsumsi sendiri. Tetapi sekarang prosentase ini kita balik, karena masyarakat mengatakan bahwa banyak kebutuhan keluarga yang harus dicukupi -- mulai dari ekses bencana alam, perbaikan rumah, biaya sekolah dan lainnya -, sehingga sekarang ini 60% hasil panen masyarakat untuk dijual ke pasar, dan 40% lagi untuk mereka konsumsi.
Di Likotuden ini, masyarakat punya "Usaha Bersama" atau UB, yang boleh dikatakan mirip seperti koperasi, dan dalam dua tahun UB berjalan kemarin, perputaran uangnya sudah mencapai Rp 200 juta. Dari sinilah semua anggota UB bisa simpan pinjam, dan termasuk untuk pembiayaan membetulkan rumah, membiayai sekolah anak-anaknya, membayar cicilan utang, dan masih banyak lagi. Ini 'kan juga perwujudan dari perilaku teladan saling menolong, setia teman dan saling berbagi.
Selain sorgum, apalagi di sini yang belum atau sedang terus dikembangkan pemanfaatannya?
Buah asam sudah kami manfaatkan. Ada pembelinya datang langsung. Harga asam lagi 'naik daun' mencapai Rp 15.000 per kg. Di sini, selain komoditi perkebunan, ya tentu saja komoditi perikanan yang sangat kaya sekali.
o o o O o o o
Perempuan NTT yang silsilah keluarganya berasal dari Suku Dayak Kanyatn, Kalimantan Barat ini menerima KEHATI Award 2012.
Penghargaan yang memang pantas untuk disematkan. Di katup kedua tangan Maria Loretha, Tuhan seakan menitipkan mukjizat-Nya agar supaya sorgum kembali mampu berdaulat di bumi pertiwi nan sejatinya teramat sangat subur ini.
Enggak usah gengsi, sekarang saatnya kembali ke sorgum.