Mana yang paling enak?
Ini 'kan untuk pangan, bijinya. Dari semua yang disukai karena rasanya enak bagi petani adalah Kwali. Warnanya agak putih menjurus krem. Lalu varietas Okin yang pulen, dan Super-1 itu juga enak. Warnanya mirip-mirip, cuma tetap ada beda tekstur warnanya, ada yang putih krem, putih gading, dan putih susu.
Awal pejuangan mengembangkan sorgum khususnya di Likotuden ini kapan dan bagaimana?
Perjuangan awal kita ketika membuka program pilot project pada 2014 bersama Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (Yaspensel) bersama Romo Benyamin Daud. Waktu itu, Bapak Uskup Larantuka Mgr Fransiskus Kopong Kung, Â juga meminta kami untuk mencoba mengembangkan sorgum di Likotuden ini.Â
Pada 2014 itu banyak tantangan, artinya masyarakat ini lupa dengan makanannya sendiri yang pernah menjadi bagian dalam hidup mereka sebelum tahun '70-an. Waktu itu, walaupun mereka melakukan penolakan dan perlawanan tapi mereka tetap menanamnya. Terus berkembang hingga sekarang ini sudah masuk pada tahun keempat.
Ya, karena mereka lupa. Mereka juga ragu apakah sorgum bisa tumbuh karena kondisi tanah lahan pertaniannya kering dan bebatuan. Mereka sendiri awalnya juga enggak yakin dengan itu semua. Tapi ternyata, setelah mereka tanam, tumbuh, kemudian semakin besar, sampai panen, mereka semua terkejut bahwa ternyata hasilnya lebih banyak daripada padi dan jagung. Dari segi rasanya pun sama seperti padi dan jagung. Semua karena ketidakpahaman mereka.
Pada 2014 dulu itu, sebenarnya sudah bertumbuhankah sorgum di sini?
Ada, ya, ada. Masih ada sisa-sisa sorgum lokal yang tingginya kurang lebih 3-5 meter, tapi varietas ini berkulit. Kalaupun yang tidak berkulit, warnanya coklat, dengan nama asli daerah yaitu wata blolong.Â
Kalau nama sorgum itu 'kan nama latin. Jadi ketika saya menyebutkan wata blolong, barulah mereka mengerti bahwa itulah yang juga dimaksud sebagai sorgum.
Di Likotuden ini berapa hektar lahan yang sudah ditanami sorgum?