Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agus dan Tuli yang Bukan Berarti Berhenti Peduli

23 Juni 2018   06:53 Diperbarui: 23 Juni 2018   08:14 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Agus Solihin, difabel tuli yang tetap bekerja dengan penuh semangat dan jujur meski di bulan suci Ramadhan demi menafkahi anak istri. (Foto: Gapey Sandy)

Jemarinya langsung memeragakan isyarat huruf demi huruf. Untuk huruf 'S', ia gunakan dua telunjuk yang disambungkan dan bengkok. Huruf 'O' ia bulatkan telunjuk dan jempolnya. Lalu, huruf 'L', ia bentuk dengan telunjuk yang tegak dan jempol yang berbaring. Huruf 'I' mudah saja, ia cuma pakai telunjuk. 

Sementara huruf H, jemari kirinya membentuk simbol Victory, kemudian telunjuk kanan ia taruh di tengah Victory tadi. Lalu, ia membuat isyarat huruf 'I' lagi. Dan, diakhiri dengan huruf 'N' yang ditunjukkan lewat jemari kanannya membentuk simbol Victory, dan ditaruh di telapak tangan kiri.

Jadilah secara lengkap huruf-huruf tadi berbunyi: S.O.L.I.H.I.N.

Ya, Solihin. Sebelumnya, saya sempat diberitahu bahwa nama pria lelaki setengah baya yang menjadi narasumber saya ini adalah Agus. Dan melalui penerjemah bahasa isyarat, saya minta Agus untuk menyebutkan nama lengkapnya, yang ternyata: Agus Solihin.

Saya menjumpai pria kelahiran Majalengka, 13 Agustus 1969 ini di Deaf Caf and Car Wash, Cinere, Depok. Ini adalah tempat khusus para tunarungu -- lebih suka disebut tuli -- berkarya dan bekerja. Sesuai namanya, ada kafe dan tempat cuci mobil/motor yang para pekerjanya tuli. Pemiliknya adalah Dissa Syakina Ahdanisa, anak muda yang begitu concern untuk memberdayakan para tuli.

Agus Solihin, difabel tuli yang tetap bekerja dengan penuh semangat dan jujur meski di bulan suci Ramadhan demi menafkahi anak istri. (Foto: Gapey Sandy)
Agus Solihin, difabel tuli yang tetap bekerja dengan penuh semangat dan jujur meski di bulan suci Ramadhan demi menafkahi anak istri. (Foto: Gapey Sandy)
Agus Solihin sudah bergabung di Deaf Caf and Car Wash ini sejak tahun pertama beroperasi yaitu 2016. Agus punya tanggung-jawab mencuci mobil/motor hingga kinclong sehingga pelanggan terpuaskan.

"Saya bergabung untuk bekerja di sini sesudah diberi informasi oleh salah seorang pengurus Gerkatin atau Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia, bahwa ada lowongan kerja di tempat cuci mobil/motor ini," ujar Agus dengan menggunakan sign language yang diterjemahkan oleh Ali Wafa Al-aziz selaku, Manager Deaf Caf and Car Wash, pada Rabu siang (30/5) kemarin.

Menjalani takdir sebagai difabel tuli, memang tidak membuat Agus patah semangat untuk bekerja. Meski secara fisik ia mengalami keterbatasan, tapi dalam kamus hidupnya, tidak ada sama sekali kalimat untuk minta dibelas-kasihani. 

"Saya sudah lama bekerja. Pindah sana, pindah sini. Bekerja apa saja," kata Agus dengan isyarat tangannya yang kadang buat saya terlalu cepat untuk bisa diartikan.

Agus Solihin berkomunikasi dengan bahasa isyarat. (Foto: Gapey Sandy)
Agus Solihin berkomunikasi dengan bahasa isyarat. (Foto: Gapey Sandy)
"Agus pernah bekerja apa saja?" tanya saya yang diterjemahkan Ali ke bahasa isyarat.

Sambil tersenyum dan memperlihatkan sebagian gigi-giginya di sebelah kanan yang sudah tanggal, Agus menyatakan pernah melakukan banyak pekerjaan. "Saya pernah bekerja sebagai instruktur menjahit di sebuah lembaga. Pernah juga jadi tukang amplas kayu. Sempat juga kerja membuat kerajinan kayu berbentuk replika mobil-mobilan. Selain itu, saya juga pernah merasakan kerja sebagai OB atau Office Boy di sebuah hotel yang ada di Jakarta. Tapi waktu kerja jadi OB di hotel itu, saya kurang nyaman karena sering kedinginan karena ruangannya ber-AC," tutur Agus yang beberapa kali harus mengulang kembali gerak jemarinya dalam berbahasa isyarat.

Bekerja dan terus bekerja, inilah yang menjadi kebanggaan bagi seorang Agus. Kebanggaan, karena dengan ia bekerja, maka dapat memenuhi tanggung-jawabnya sebagai kepala keluarga.

Agus menikah dengan gadis pujaannya, Wardah (38). Keduanya bertemu ketika sama-sama bekerja di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Wardah, juga seorang difabel, tuli. Wardah pandai memasak. 

"Saya malu kalau ditanya bagaimana pertama kali bertemu dengan Wardah. Yang jelas, saya dan Wardah sempat pacaran selama enam tahun, sampai kemudian memutuskan untuk menikah pada tahun 2000. Kini, keluarga saya tinggal di kawasan Ulujami, Jakarta Selatan," jelas Agus sembari tersipu malu.

Dari kiri ke kanan: Fikri, Wardah, Fajri (digendong), Agus Solihin, dan Rahmah. (Foto: Dokpri. Agus Solihin)
Dari kiri ke kanan: Fikri, Wardah, Fajri (digendong), Agus Solihin, dan Rahmah. (Foto: Dokpri. Agus Solihin)
Dari pernikahannya ini, Agus dan Wardah dikaruniai tiga anak: Syaahizd Fikri yang lahir pada 15 November 2002, Rahmah Hadiyati terlahir pada 24 Februari 2008, dan si bungsu Fajri Khoirul yang lahir pada 21 November 2014.

"Si sulung Fikri juga seorang difabel, tuli. Fikri bersekolah di bangku SMA, sedangkan adiknya Rahmah masih SMP. Sementara Fajri, belum bersekolah. Alhamdulillah, anak-anak saya menurut nasihat orangtuanya. Mereka juga suka membaca. Malah akan semakin asyik membaca dan belajar, apalagi kalau suka saya kasih iming-iming hadiah uang Rp 20.000, misalnya. Meskipun, tanpa iming-iming uang sekalipun, mereka tetap rajin belajar kok," cerita Agus sembari terkekeh.

Agus menceritakan, untuk membantu perekonomian keluarganya, sang istri yang juga seorang tuli, tidak mau hanya sekadar menyesali nasib. Wardah, kata Agus, juga bekerja dari satu petak kontrakan ke petak kontrakan lain, dengan menjadi buruh cuci dan setrika pakaian, serta melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya.

Menyadari bahwa perjuangan dirinya dan sang istri begitu berat dalam mencari nafkah keluarga termasuk membiayai pendidikan anak-anaknya, Agus berdoa agar ketiga anaknya menjadi anak yang berguna bagi banyak orang. "Saya berharap mereka rajin belajar, meraih prestasi, dan menjadi orang baik," ujar Agus melalui bahasa isyarat.

Agus Solihin berkomunikasi dengan bahasa isyarat. (Foto: Gapey Sandy)
Agus Solihin berkomunikasi dengan bahasa isyarat. (Foto: Gapey Sandy)
Bagi Agus, pendidikan anak-anak adalah nomor satu. Makanya, ia bersama sang istri jatuh-bangun, banting-tulang mencari penghasilan keluarga. "Jangan sampai anak-anak saya putus sekolah karena tidak punya biaya. Pokoknya, uang bayaran sekolah, ada atau tidak ada pemberian potongan dari pihak sekolah, tetap saya harus usaha untuk lunasi. Supaya anak-anak bisa sekolah dengan tenang," kata Agus.

Di bulan suci Ramadhan kemarin, kata Agus, bekerja harus terus dan tetap dilakukan. "Rasanya tidak ada perbedaan antara bekerja di bulan puasa dengan bulan-bulan lainnya. Karena yang namanya bekerja, sudah menjadi hal biasa bagi saya. Bedanya, di bulan puasa ini, saya dan keluarga bangun lebih pagi untuk makan sahur, lalu saya ajak keluarga shalat Subuh berjamaah. Dan, barulah siap-siap berangkat kerja ke sini. Untuk shalat taraweh saya lakukan di rumah," ujarnya.

Disinggung soal ibadah haji dan umroh, Agus mengaku sangat ingin beribadah ke tanah suci. Oh ya, isyarat kata "haji" ditunjukkan Agus dengan menggerakkan tangannya seperti meletakkan peci atau kopiah di atas kepala.

"Insya Allah, kalau saya bisa pergi haji atau umroh, maunya bareng-bareng dengan istri. Saya bersama Wardah sekarang sudah mulai berusaha untuk menabung untuk biaya pergi haji atau ibadah umroh," ungkap Agus.

Menyimak penuturan Agus yang bertekad kuat ingin pergi haji atau umroh ke tanah suci, rasa-rasanya tak berlebihan kalau saya termasuk yang mendoakan agar Agus bisa menerima kado umroh allianz dari Allianz. Andai menjadi kenyataan, dan Agus bisa beribadah umroh, tentu sangat menjadi kebahagiaan bagi dirinya dan juga keluarga serta orang-orang baik di sekelilingnya. Insya Allah, aamiin.

Agus Solihin bekerja membuat boneka cinderamata. (Foto: Dokpri. Ali Wafa Al-aziz)
Agus Solihin bekerja membuat boneka cinderamata. (Foto: Dokpri. Ali Wafa Al-aziz)
"Sekarang ini, apa cita-cita hidup Agus?" tanya saya kepada Agus yang diterjemahkan lagi oleh Ali lewat bahasa isyarat.

Agus pun menguraikan jawabannya melalui gerakan-gerakan jemari berbicara. "Umur saya ini sudah tua. Saya cuma punya harapan untuk bisa bekerja secara lebih baik saja demi membahagiakan keluarga. Tapi, saya juga punya keinginan untuk lebih memperdalam ilmu agama. Saya mau jadi pendakwah," kata Agus.

Untuk mewujudkan harapannya itu, Agus mengaku cukup aktif belajar ilmu agama. Tentu, bersama dengan komunitas tuli. Tempatnya, di salah satu masjid yang ada di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Waktunya, setiap Kamis malam.

"Dari pengajian tersebut, saya mengambil banyak pelajaran bahwa sesama anak manusia tidak boleh suka marah-marah. Harus ramah. Tidak boleh juga mencuri, karena hal itu haram hukumnya. Dosa," ujar Agus.

Begitulah Agus Solihin. Anak keempat dari delapan bersaudara dari pasangan ayah almarhum Sukama dan ibu Sadah ini memang tidak main-main dalam urusan bekerja. Agus percaya bahwa bekerja itu ibadah. Jadi, tidak ada istilah mengeluh dan keberatan dalam melakukan setiap pekerjaan yang menjadi tanggung-jawabnya.

Agus Solihin dan boneka cinderamata buatannya. (Foto: Dokpri. Ali Wafa Al-aziz)
Agus Solihin dan boneka cinderamata buatannya. (Foto: Dokpri. Ali Wafa Al-aziz)
Malah, pada saat tanggal merah sekalipun, Agus yang harusnya libur bekerja, justru memilih untuk tetap masuk kerja dan melakukan pekerjaan bermanfaat lainnya. "Saya membantu pemilik tempat cuci mobil/motor ini dengan membuat boneka cinderamata. Saya cukup bisa melakukannya karena diajari dengan baik. Saya senang juga melakukannya. Sekalipun libur kerja, tapi saya masih tetap produktif mengisi waktu ini," ujarnya penuh syukur dalam bahasa isyarat.

Alhamdulillah, dari sosok Agus kita bisa menemukan inspirasi penuh budi pekerti. Meski memiliki keterbatasan fisik, Agus tetap mengajarkan bersikap bajik. Menunaikan tanggung-jawab diri secara sungguh-sungguh, demi merengkuh masa depan keluarga -- anak dan istri - yang lebih baik.

Melalui Agus, kita jadi banyak belajar memaknai kerasnya perjalanan hidup ini. Tuli, bagi Agus, bukan berarti alasan untuk berhenti peduli.

Subhanallah ...

Catatan ini juga ditayangkan di microsite Allianz https://kadoumroh.allianz.co.id/. Anda bisa ikut membagikan kisah inspiratif pada link ini dengan menggunakan hashtag #KadoUmrohAllianzKompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun