Jemarinya langsung memeragakan isyarat huruf demi huruf. Untuk huruf 'S', ia gunakan dua telunjuk yang disambungkan dan bengkok. Huruf 'O' ia bulatkan telunjuk dan jempolnya. Lalu, huruf 'L', ia bentuk dengan telunjuk yang tegak dan jempol yang berbaring. Huruf 'I' mudah saja, ia cuma pakai telunjuk.Â
Sementara huruf H, jemari kirinya membentuk simbol Victory, kemudian telunjuk kanan ia taruh di tengah Victory tadi. Lalu, ia membuat isyarat huruf 'I' lagi. Dan, diakhiri dengan huruf 'N' yang ditunjukkan lewat jemari kanannya membentuk simbol Victory, dan ditaruh di telapak tangan kiri.
Jadilah secara lengkap huruf-huruf tadi berbunyi: S.O.L.I.H.I.N.
Ya, Solihin. Sebelumnya, saya sempat diberitahu bahwa nama pria lelaki setengah baya yang menjadi narasumber saya ini adalah Agus. Dan melalui penerjemah bahasa isyarat, saya minta Agus untuk menyebutkan nama lengkapnya, yang ternyata: Agus Solihin.
Saya menjumpai pria kelahiran Majalengka, 13 Agustus 1969 ini di Deaf Caf and Car Wash, Cinere, Depok. Ini adalah tempat khusus para tunarungu -- lebih suka disebut tuli -- berkarya dan bekerja. Sesuai namanya, ada kafe dan tempat cuci mobil/motor yang para pekerjanya tuli. Pemiliknya adalah Dissa Syakina Ahdanisa, anak muda yang begitu concern untuk memberdayakan para tuli.
"Saya bergabung untuk bekerja di sini sesudah diberi informasi oleh salah seorang pengurus Gerkatin atau Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia, bahwa ada lowongan kerja di tempat cuci mobil/motor ini," ujar Agus dengan menggunakan sign language yang diterjemahkan oleh Ali Wafa Al-aziz selaku, Manager Deaf Caf and Car Wash, pada Rabu siang (30/5) kemarin.
Menjalani takdir sebagai difabel tuli, memang tidak membuat Agus patah semangat untuk bekerja. Meski secara fisik ia mengalami keterbatasan, tapi dalam kamus hidupnya, tidak ada sama sekali kalimat untuk minta dibelas-kasihani.Â
"Saya sudah lama bekerja. Pindah sana, pindah sini. Bekerja apa saja," kata Agus dengan isyarat tangannya yang kadang buat saya terlalu cepat untuk bisa diartikan.
Sambil tersenyum dan memperlihatkan sebagian gigi-giginya di sebelah kanan yang sudah tanggal, Agus menyatakan pernah melakukan banyak pekerjaan. "Saya pernah bekerja sebagai instruktur menjahit di sebuah lembaga. Pernah juga jadi tukang amplas kayu. Sempat juga kerja membuat kerajinan kayu berbentuk replika mobil-mobilan. Selain itu, saya juga pernah merasakan kerja sebagai OB atau Office Boy di sebuah hotel yang ada di Jakarta. Tapi waktu kerja jadi OB di hotel itu, saya kurang nyaman karena sering kedinginan karena ruangannya ber-AC," tutur Agus yang beberapa kali harus mengulang kembali gerak jemarinya dalam berbahasa isyarat.