Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Sandiaga Uno dan Air Bersih dari Lumpur Tinja

27 Mei 2018   23:21 Diperbarui: 28 Mei 2018   09:40 4960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aturan Baku Mutu Air Limbah Domestik Tersendiri. (Sumber: PermenLH No 68 Tahun 2016)

Sandiaga Uno bikin heboh. Wakil Gubernur DKI Jakarta ini baru saja meresmikan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) PAL-Andrich Tech System, sebuah teknologi pengolahan air lumpur tinja. Sistem ini buatan dua ilmuwan PT MJH Lestari Internasional yaitu Andri Oba dan Chairunnas.

Kagum dengan teknologi ini, Sandi mengatakan, teknologi pendahulunya yang dimiliki Perusahaan Daerah Pengelolaan Air Limbah (PAL) Jaya masih butuh waktu 7 hari guna mengolah air tinja menjadi air bersih.

"Ini dalam waktu setengah jam bisa menjadi air yang bisa digunakan untuk utilitas," kata Sandiaga Uno di Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) Duri Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat (23 Mei 2018) seperti dikutip tempo.co.

Sistem ini mampu mengolah 80 meter kubik lumpur tinja per hari dari total 150 kubik yang setiap harinya masuk ke IPLT Duri Kosambi. Tidak hanya menghasilkan air bersih, ampas sisa lumpur tinja olahan juga bisa dimanfaatkan sebagai pupuk atau sumber bahan bakar. Air bersihnya itu sendiri, menurut Sandi, bisa digunakan untuk mengairi pertanian juga perkebunan di kawasan sekitar.

Sementara itu, Direktur Utama PD PAL Jaya Subekti menuturkan limbah tinja bisa diolah menjadi air bersih dengan baku mutu tinggi, yaitu 68. Tapi, biarpun begitu, pihaknya tidak memberi saran air bersih itu dikonsumsi. "Secara kualitas sebenarnya sudah air minum, tapi kan tidak semata-mata itu," katanya kepada tempo.co.

Sandiaga Uno menciumi air bersih hasil IPLT. (Foto: tempo.co)
Sandiaga Uno menciumi air bersih hasil IPLT. (Foto: tempo.co)
o o o O o o o

Apa yang dilakukan Sandiaga Uno sebenarnya bukan ide baru yang brilian-brilian amat. Biasa saja. Cuma, karena sistem ini termasuk yang cukup disruptive untuk teknologi pengolahan limbah tinja, maka kesannya menjadi "super wah".

Dianggap biasa, karena memang IPLT sudah sejak lama ada. Malah sudah dioperasikan dimana-mana. Di Medan, Sumatera Utara misalnya. Januari kemarin, Kementerian PUPR melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya membangun IPLT on site yang dioperasikan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi. Kemampuannya lumayan hebat lantaran sanggup melayani 50.000 kepala keluarga (KK). Angka ini bahkan jauh melampaui sambungan perpipaan air yang cuma 20.000 KK saja.

Unit-unit IPLT yang mayoritas ada tadi masih konvensional pengolahannya. Artinya, menggunakan model beberapa bak penampungan yang kemudian saling terhubung sehingga akhirnya menghasilkan air bersih. Kondisi demikian sedikit berbeda dengan sistem yang dikagumi Sandiaga Uno. Dalam bahasa Wagub DKI Jakarta ini, Sistem Andrich - yang 94 persen teknologinya diklaim merupakan kandungan lokal - sederhana, mudah dioperasikan, energi yang dihabiskan tidak banyak, dan memakai gelombang fisika.

Secara kasat mata, melalui foto-foto pemberitaannya pun bisa kita lihat. Model Sistem Andrich ini tidak menggunakan bak-bak penampungan yang digali dan dipermanenkan di permukaan tanah. Melainkan pakai tangki pengolahan yang tentu saja lengkap dengan pipa-pipa penyaluran, termasuk pipa untuk menyalurkan lumpur tinja dari truk pengangkut.

Lumpur tinja dari truk pengangkut dipompa dengan tenaga dorong menuju ke dalam tangki reaksi kimia, lalu dialirkan ke unit pengapungan, dan kemudian mengalami proses dengan teknologi Andrich. Nah, air hasil pengolahan ini kemudian dialirkan ke sebuah kolam tangki buatan yang dihuni beberapa ekor ikan.

Air bersih hasil pengolahan inilah yang sempat dilihat, dicium, dibuat cuci muka, juga membasahi rambut stylish Sandiaga. Cuma Sandi yang melakukan aktivitas kayak gitu, sementara hadirin lainnya tersenyum, tertawa dan bertepuk tangan melihat lelakunya.

Jadi gitu aja sih perbedaannya, antara IPLT on site yang anggaplah (masih) konvensional, dengan Sistem Andrich yang bisa dibilang agak kekinian.

IPLT on site di Kota Banda Aceh. (Foto: acehnews.net)
IPLT on site di Kota Banda Aceh. (Foto: acehnews.net)
Tapi sebenarnya, kalau yang masih konvensional itu detilnya seperti apa? Mengutip buku Audit Teknologi : Sistem Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) karya keroyokan Fitrijani Anggraini - Reni Nuraeni - Ida Yudiarti S - Yulinda Rosa - Tibin R Prayudi - Rudy R Efendi - R Pamekas (Kiblat Buku Utama bekerjasama dengan Puslitbangkim Balitbang Kementerian PUPR, 2015), setidaknya ada 3 model sistem IPLT. Khususnya, kalau ditinjau dari aspek penerapan teknologi pengolahan air limbah sistem IPLT seperti yang ada di Tegal, Palu, Klungkung, Buleleng, Mojokerto, Banda Aceh, Tangerang, dan Kulonprogo. Ketiga model ini adalah:

Pertama, model sistem IPLT dengan 5 unit proses pengolahan yaitu tangki imhoft, kolam anaerobik, kolam fakultatif, kolam maturasi, dan unit pengering lumpur.

Kedua, model sistem IPLT dengan 6 unit proses pengolahan, mulai dari bak penerima, bak pengendap, anaerobic baffle reactor (ABR) atau reaktor anaerobik bersekat, horizontal gravel filter (HGF) atau saringan kerikil dengan aliran horizontal, kolam maturasi dan bak pengering lumpur (sludge drying bed/SDB).

Ketiga, model sistem IPLT dengan 7 unit proses pengolahan, yakni bak ekualisasi, bak pemisah padatan (solid separation chamber/SSC), kolam anaerobik, kolam fakultatif, kolam maturasi, konstruksi lahan basah buatan (constructed wetland/CW), dan bak pengering lumpur.

IPLT on site di Medan. (Foto: kompas.com)
IPLT on site di Medan. (Foto: kompas.com)
o o o O o o o

Hal lain yang bisa menjadi perbandingan antara IPLT on site dengan Sistem Andrich adalah perbandingan nilai biaya yang dibutuhkan untuk menghadirkan keduanya. Untuk yang sedang dikagumi Sandiaga Uno, biaya investasi teknologinya mencapai Rp 1,5 miliar, dengan kapasitas 80 meter kubik limbah per hari. Catatan lain, seperti sudah disampaikan Wagub DKI Jakarta ini, teknologinya simple, pengoperasian mudah dan hemat energi.

Sayangnya, Sandiaga belum menjelaskan berapa kira-kira biaya untuk pengoperasiannya, juga cost untuk maintenance-nya.

Dan, yang terpenting lagi, Sandi juga belum membeberkan bagaimana nantinya teknis pengumpulan lumpur tinja dari masing-masing septictank di rumah warga. Apakah pakai mobil truk sedot lumpur tinja? Berapa mobil yang harus Sandi siapkan lagi? Berapa personil yang harus ditambahnya? 

Ini 'kan artinya ada budget lagi yang harus dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta. KARENA, ENGGAK MUNGKIN JUGA 'KAN, LUMPUR TINJA DARI RUMAH-RUMAH WARGA DISURUH MENGALIR SENDIRI KE LOKASI PROSES PENGOLAHAN. Heheheheee ...

Itulah yang nanti bakal disebut biaya retribusi sedot lumpur tinja. Warga DKI Jakarta sepertinya bakal dibebankan bea ini. Berapa besarnya? Berapa kali dilakukan penyedotan dalam setahun? Apa imbal balik yang bakal diperoleh warga dengan membayar retribusi sedot lumpur tinja ini? Apakah hanya air untuk utilitas belaka? Bisakah buat diminum?

Waduh, masih ada banyak pertanyaan nih buat Bang Sandi.

Wagub DKI Jakarta Sandiaga Uno dalam satu kesempatan. (Foto: okezone.com)
Wagub DKI Jakarta Sandiaga Uno dalam satu kesempatan. (Foto: okezone.com)
Tapi untuk ancer-ancer aja, retribusi sedot lumpur tinja yang dibebankan kepada warga dengan adanya IPLT yang dikelola PDAM Tirtanadi di Medan sana, murah sangat, yaitu cuma Rp 15.000 sekali sedot. Adapun penyedotan dilakukan dua tahun sekali.

Kelak kebijakan retribusi sedot lumpur tinja yang diusulkan Pemprov DKI akan memperlihatkan, apakah teknologi IPLT yang membuat Sandiaga terkagum ini justru menambah berat ekonomi warga Betawi, atau malah sebaliknya. 

Semua pasti berharap, sedot lumpur tinja di rumah-rumah warga bisa dilakukan secara GRATIS oleh aparat Pemda DKI, atau oleh pihak swasta yang dilibatkan untuk menyedotnya.

Oh ya, sebagai gambaran perbandingan terhadap IPLT yang konvensional, buku Audit Teknologi IPLT juga membeberkan lho, biaya konstruksi IPLT Mojosari di Kabupaten Mojokerto dan dikelola Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (DCK-TR). Biaya konstruksinya adalah Rp 1,35 miliar. Kebutuhan biaya operasi dan pemeliharaan Rp 5 juta - Rp 6 juta per bulan, atau Rp 60 juta - Rp 72 juta per tahun. 

Retribusi biaya pengolahan lumpur tinja ditetapkan Rp 20 ribu- Rp 25 ribu per truk yang masuk. Sedangkan biaya penyedotan memakai truk Pemda adalah Rp 200 ribu - Rp 300 ribu per truk, sedangkan kalau menggunakan truk swasta Rp 350 ribu - Rp 400 ribu per truk. Info tambahan, kapasitas terpasang IPLT Mojosari memang masih kecil, 30 meter kubik per hari.

Contoh lain, rincian biaya operasional. Misalnya, seperti yang berlangsung di IPLT Kota Tangerang. Disebutkan, biaya operasional IPLT Bawang Kota Tangerang sudah dianggarkan dalam APBD Kota Tangerang. Selain dari APBD, biaya operasional juga berasal dari retribusi dengan tarif sebagaimana diatur dalam Perwal No.16 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum. Adapun anggarannya, meliputi:

  1. Gaji pekerja pemeliharaan, supir dan kenek truk tinja.
  2. Pemeliharaan sarana, prasarana bangunan/peralatan rumah pompa, kolam oksidasi, IPLT, dan IPAL.
  3. Pengerukan lumpur pada IPAL dan IPLT.
  4. Pemeliharaan dan perbaikan pompa summersible kolam osidasi, IPLT, dan IPAL.
  5. Pengadaan alat bengkel (aerator).
  6. Pembangunan pagar kolam oksidasi dan rumah pompa.

Jumlah anggaran pengelolaan air limbah meningkat sebesar 10% per tahun dari tahun 2009 sebesar Rp 219.760.000 menjadi Rp 2,3 miliar pada 2013. Proporsi biaya pengelolaan air limbah terhadap APBD tahun 2013 (Rp 3,19 triliun) adalah 0,07%. Anggaran ini merupakan keseluruhan untuk pembiayaan dan pemeliharaan bidang air limbah, sementara untuk operasionalisasi dan pemeliharaan IPLT Bawang tidak tergambarkan secara jelas.

Contoh lain, di IPLT Kabupaten Buleleng, Bali. Disebutkan oleh buku ini, Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) menjadi pengelola IPLT. Sumber dana pengoperasian dan pemeliharaan masih berasal dari APBD. Retribusi penyedotan lumpur tinja menjadi sumber penerimaan daerah. Tarif yang dikenakan untuk rumah tangga yang memerlukan jasa penyedotan tinja dari DKP adalah Rp 300.000 per tangki atau sekitar Rp 100.000 per meter kubik.

Retribusi truk swasta yang membuang lumpur tinja ke IPLT Buleleng adalah Rp 50.000 per truk atau sekitar Rp 15.000 -- Rp 20.000 per meter kubik. Oleh karena itu, tarif penyedotan tinja oleh truk milik swasta lebih besar daripada truk milik DKP.

Dari contoh biaya dan pembiayaan IPLT ini, warga DKI musti intens untuk ikut bersuara terkait bagaimana kelak kebijakan Pemprov DKI, dalam menetapkan retribusi sedot lumpur tinja.

Kalau dianggap memberatkan? Ya, boleh ditolak untuk kemudian dicari lagi rumusan paling ekonomisnya. Lagipula, warga DKI juga berhak kok minta ke Pemprov DKI supaya memprioritaskan lebih dulu untuk mengolah air sungai-sungai yang ada saja untuk disulap jadi air bersih. Sehingga ini berarti, tidak akan membebankan warga terhadap bea retribusi penyedotan. Ini kalau mau itung-itungan sih, terserah warga aja maunya gimana.

Instalasi pengolahan air limbah di New Media Tower UMN Serpong. (Foto: Gapey Sandy)
Instalasi pengolahan air limbah di New Media Tower UMN Serpong. (Foto: Gapey Sandy)
o o o O o o o   

Salah satu kendala yang dihadapi IPLT, seperti diungkapkan Buku Audit Teknologi IPLT ini adalah kurangnya pasokan lumpur tinja yang masuk ke IPLT. Hal lainnya, yaitu:

  • Manajemen IPLT yang belum profesional.
  • Rendahnya pengetahuan masyarakat untuk membayar retribusi air kotor.
  • Perkembangan sektor swasta dalam bisnis penyedotan lumpur tinja.
  • Konsep IPLT masih dipersoalkan Pemerintah Daerah (Pemda) yang berperan mengelolanya.

Akibat 5 kendala ini, secara umum kondisi IPLT di Indonesia mengalami gagal fungsi dan tidak beroperasi maksimal. Nah, pengelola Sistem Andrich bersama Pemprov DKI harus bisa menjawab kendala-kendala ini, utamanya soal pasokan lumpur tinja yang masuk ke IPLT Sistem Andrich. Sandi harus bisa jelaskan, kalau kurang pasokan musti bagaimana, dan kalau kelebihan pasokan pun harus digimanain?

Harapannya, teknologi olah lumpur tinja yang udah sanggup bikin Sandiaga kagum ini jangan sampai "mati suri", seperti nasib IPLT yang sudah ada sebelumnya. Kenapa? Ya, berdasarkan hasil studi terhadap 146 unit IPLT yang ada di 23 provinsi dapat disimpulkan bahwa, tingkat operasional IPLT baru mencapai 65%. (Direktorat Program Penyehatan Lingkungan Permukiman/PPLP, 2013)

"PR" Sandiaga Uno yang mulai sibuk urus lumpur tinja ini masih banyak lagi. Sandi harus bisa yakinkan bahwa air bersih hasil olahan IPLT layak minum. Mungkin, sekaligus Sandiaga kapan-kapan kampanye dengan meminumnya. Selain itu, Sandi juga musti berhasil meyakinkan bahwa, air bersih hasil olahan IPLT yang baru diresmikannya itu sudah sesuai parameter baku mutu limbah domestik sesuai PermenLH No.68 Tahun 2016.

Aturan Baku Mutu Air Limbah Domestik Tersendiri. (Sumber: PermenLH No 68 Tahun 2016)
Aturan Baku Mutu Air Limbah Domestik Tersendiri. (Sumber: PermenLH No 68 Tahun 2016)
Atau, bisa jadi Sandi juga diharapkan dapat menjawab pertanyaan sebagian umat muslim, tentang sah-tidaknya berwudhu dengan air bersih hasil olahan lumpur tinja. Ahay, "PR" Sandi masih banyak ternyata ya.

 Ayo Bang Sandi, semangat! Kerja, kerja, kerja!

o o o O o o o

Baca juga:

Gedung New Media Tower Kampus UMN, Juara Tropical Building se-ASEAN

Rame-rame Minum Air Sungai Cisadane

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun