Baksos Operasi Katarak ke berbagai pelosok daerah biasanya dilakukan bersama tim Perdami Pusat dalam rangka pengabdian masyarakat, tentu dengan dukungan berbagai instansi "pelat merah" maupun swasta yang tergerak untuk membantu. Sedangkan apabila Baksos Operasi Katarak berlangsung di cakupan wilayah DKI Jakarta dan Depok, Rita bersama tim biasanya membawa 'bendera' Perdami Jaya.
"Saya melakukan operasi katarak rata-rata per tahun sekitar 1.200 kali. Ini tidak termasuk yang saya lakukan ketika Baksos operasi katarak. Kalau pada saat Baksos pasti lebih banyak lagi mata katarak yang saya operasi. Sekali pergi Baksos saja, mata katarak yang saya operasi bisa sampai 30 sampai 40 mata,"Â tutur Rita dalam wawancara per telepon dengan saya pada Kamis, 17 Mei 2018 (1 Ramadhan 1439 H).
Baksos Operasi Katarak dan Rita ibarat seperti 'Dilan dan Milea' yang tak ingin terpisahkan. Sebegitu sering Rita melakukan Baksos, sebegitu banyak pula bagi perempuan kelahiran Jakarta, 53 tahun silam ini mengentaskan ancamaan kebutaan pada para pasien Baksosnya. Sebagai dokter spesialis mata yang masuk jajaran 'Top Ten di ibukota', kenapa Rita mau melakoni Baksos yang notabene 'enggak ada duitnya' ini? Apa sih yang Rita cari?
Kalau motivasi seseorang adalah mencari uang, memang masuk akal bila enggan turut serta dalam Baksos Operasi Katarak hingga ke pelosok-pelosok Indonesia. Untuk menjadi seorang dokter spesialis mata, perlu sekolah lama dan sulit. Menghabiskan dana hingga ratusan juta rupiah untuk mendapatkan ilmu tersebut. Logis saja jika honor kecil sebagai imbalan tindakan operasi mata, tak akan dilirik.
Bayangkan saja. Di kota-kota besar seperti Jakarta, imbalan untuk jasa melakukan operasi katarak umumnya sebesar 1,5 - 2,5 juta rupiah. Sedangkan saat Baksos, untuk setiap mata "upah jasa' bagi dokter mata yang melakukan tindakan medis besarannya hanya 50 ribu. Alias "gocap". Angka itu pun baru beberapa tahun ini saja. Sebelumnya malah cuma 30 ribu rupiah.
Bayangkan saja, kalau dalam satu kali Baksos Katarak ada 200 pasien yang ditangani oleh empat orang dokter mata. Tinggal kita kalikan angka 50 ribu rupiah dengan 200, kemudian dibagi empat. Jadi 10 juta dibagi empat sama dengan 2,5 juta rupiah. Angka ini masih belum termasuk tips, atau uang lelah dan honor, untuk asisten, perawat, dan dokter lainnya. Ujung-ujungnya si dokter mata paling-paling hanya memperoleh satu juta rupiah, atau malah kurang lagi. Untuk beli souvenir, impas. Alias tidak bawa uang pulang ke rumah.
Rita mengakui, angka honor impas sebenarnya sudah "bagus". Karena pada kondisi tertentu, bisa saja dokter spesialis mata yang ikut Baksos Operasi Katarak, malah terancam untuk nombok, merugi. Tapi begitulah Rita. Ia tidak "mengejar" apalagi sampai "menghamba" uang. Begini ungkapan perasaan Rita di bukunya:
Saya juga percaya, kalau uang dikejar, tidak akan pernah ada kata cukup. Sebaliknya, pengalaman Baksos selama bertahun-tahun justru mengajarkan, bahwa banyak hal tidak bisa diukur dan dibeli dengan uang. Pengalaman-pengalaman luar biasa yang saya alami telah menumbuhkan rasa syukur yang semakin mendalam kepada Sang Pencipta.