Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan featured

"Orang dengan Lupus" Bicara Jaminan BPJS Kesehatan

16 Mei 2018   08:59 Diperbarui: 10 Mei 2022   06:07 3885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KIRI: Devi Rahmawati, Odapus peraih juara kedua Lupie Diary Award dari Syamsi Dhuha Foundation baru-baru ini. (Foto: Dokpri. Devi Rahmawati)

Obat-obatan penyakit Lupus belum sepenuhnya dijamin Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Padahal, penyakit ini bisa menyerang multi organ tubuh. Makanya, selain berharap skema penjaminan obat-obatan secara menyeluruh, para Orang dengan Lupus (Odapus) itu sendiri dituntut untuk menjalani pola hidup sehat dan berkualitas.

"Misalkan ada obat yang memang sifatnya imunosupresan yang harganya mahal dan belum masuk skema penjaminan," ujar Dian Syarief, Chairman Syamsi Dhuha Foundation (SDF) sebuah organisasi nirlaba yang berdiri sejak 2004 dan fokus membantu para penderita Lupus juga Low Vision.

Jawaban ini disampaikan Dian ketika penulis menanyakan, contoh obat apa yang sejauh ini belum dijamin BPJS Kesehatan, pada 8 Mei kemarin.

Menyadari bahwa obat Lupus tidak murah dan belum sepenuhnya masuk dalam Indonesia Case Base Groups atau INA-CBGs, perempuan Odapus ini tergerak untuk memikirkan dan memberi bantuan finansial kepada Orang dengan Lupus (Odapus) yang kurang mampu secara ekonomi.

"Kami juga mengupayakan pendampingan finansial untuk pasien yang - meskipun sekarang sudah ada skema penjaminan - obatnya tidak ter-cover oleh skema penjaminan, dalam hal ini BPJS Kesehatan. Karena memang, kalau untuk pasien Lupus yang terpenting itu adalah, mereka masih bisa berobat. Nah untuk itu, kita juga harus bantu yang tidak ter-cover skema penjaminan yaitu dalam hal ini pasien-pasien yang kurang mampu," ujar perempuan kelahiran Bandung, 21 Desember 1965 ini.

Sebagai Odapus, Dian mengerti benar berapa besar kocek kesehatan yang harus dirogoh dalam-dalam oleh (keluarga) penderita Lupus.

Dian Syarief, Odapus dan Chairman Syamsi Dhuha Foundation atau SDF. (Foto: Dok. SDF)
Dian Syarief, Odapus dan Chairman Syamsi Dhuha Foundation atau SDF. (Foto: Dok. SDF)
Oh ya, INA-CBGs itu, menurut situs BPJS Kesehatan, adalah sebuah sistem untuk menentukan tarif standar yang digunakan oleh rumah sakit sebagai referensi biaya klaim ke Pemerintah selaku pihak BPJS atas biaya pasien BPJS. 

Tarif INA-CBG's adalah tarif dengan sistem paket yang dibayarkan per episode pelayanan kesehatan, yaitu suatu rangkaian perawatan pasien sampai selesai, besar kecilnya tarif tidak akan dipengaruhi jumlah hari perawatan. 

Adapun komponen-komponen medis yang sudah terhitung ke dalam tarif CBG's ini yaitu: Konsultasi dokter; Pemeriksaan penunjang, seperti laboratorium, radiologi (rontgen) dan lainnya; Obat Formularium Nasional (Fornas) maupun obat bukan Fornas; Bahan dan alat medis habis pakai; Akomodasi atau kamar perawatan; dan, Biaya lainnya yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan pasien.

Gambaran senada mengenai penjaminan BPJS Kesehatan terhadap obat-obatan Lupus disampaikan juga Tiara Savitri, Ketua Yayasan Lupus Indonesia (YLI). Odapus kelahiran Beograd, 5 Agustus 1968 ini mencontohkan pengalaman pribadinya ketika menjalani pengobatan Lupus yang bahkan sempat membuat organ ginjalnya mengalami kebocoran.   

"Untuk penyakit Lupus, kalau misalnya ditanya, apakah bisa mendapatkan skema penjaminan melalui BPJS Kesehatan? Jawabannya, bisa. Tetapi memang, ada beberapa obat-obatan yang tidak di-cover, atau mungkin belum di-cover, karena belum masuk ke dalam INA-CBGs. Karena, bisa jadi karena obat-obat tersebut dianggap sebagai off letter untuk Lupus. Sedangkan kita juga tahu bahwa obat-obatan yang dianggap untuk penderita Lupus sebetulnya adalah yang dibutuhkan oleh Lupus ketika dia kena ke salah satu organ (tubuh). Yang perlu kita tahu juga, penyakit Lupus itu 'kan multi organ. Ia bisa kena ke ginjal, jantung, paru-paru, darah, hati, persendian, sedangkan kalau bagian luar organ itu bisa kena ke kulit, mata dan sebagainya," urai ibu dari Kemal Syakurnanda Hardison ini.

Jadi, menurut Tiara Savitri lagi, kalau ditanya obat Lupus dasarnya sendiri, apakah dapat (dijamin) BPJS Kesehatan, (jawabannya) ya dapat. "Tapi terus seperti obat-obatan yang berkaitan ke ginjal apakah sudah mendapatkan penjaminan? Jawabannya, belum."

KANAN: Dian Syarief, Odapus dan Chairman Syamsi Dhuha Foundation atau SDF. (Foto: Dok. SDF)
KANAN: Dian Syarief, Odapus dan Chairman Syamsi Dhuha Foundation atau SDF. (Foto: Dok. SDF)
Menurut Tiara -- yang divonis menderita Lupus sejak 1987 -, selain belum sepenuhnya BPJS Kesehatan menjamin obat-obatan bagi penderita Lupus, kebijakan antar rumah sakit dalam melayani peserta BPJS Kesehatan juga belum merata.

"Ini juga yang kadang-kadang menjadi kendala atau masalah buat teman-teman Lupus. Ketika ada obat-obatan yang harus mereka gunakan, tetapi obat-obatannya tidak ter-cover. Untuk beli pun, harganya sangat mahal. Dan obat ini, tidak bisa diganti dengan obat lain, karena jenisnya berbeda. Jadi akhirnya, biasanya kalau misalnya enggak bisa (dijamin BPJS Kesehatan), ya sudah mereka tidak bisa mendapat obat tersebut. Jadi hanya bisa mengandalkan obat steroid misalnya, atau misalnya lagi dengan obat hidroxicloroquin saja. Padahal, hidroxicloroquin sulit didapat sekarang ini. Jadi ya, kalau ditanya kendala obat-obatan bagi penderita Lupus, ya itu. Sedangkan kalau masalah BPJS Kesehatan, ya itu juga. Artinya bahwa, apakah obat-obatan penyakit Lupus memperoleh penjaminan BPJS Kesehatan, ya dijamin, tapi memang belum semua bisa ter-cover, dalam arti justru untuk yang ke organ-organ tertentu dan organ vital, itu justru yang kita harapkan bisa di-cover tapi malah tidak di-cover. Kalaupun bisa di-cover itu hanya ada batasan nominal, sampai berapa bisa ter-covernya. Kalau ada yang bilang bahwa, mengapa di rumah sakit tertentu misalnya bisa melakukan penjaminan, balik lagi ini mungkin kepada masalah kebijakan dari rumah sakitnya. Jadi belum merata," tutur Tiara yang menamatkan studi di Fakultas Teknologi Pendidikan Kejuruan IKIP Jakarta (kini Universitas Negeri Jakarta) pada 1997.

Informasi tentang Lupus. (Sumber: Yayasan Lupus Indonesia)
Informasi tentang Lupus. (Sumber: Yayasan Lupus Indonesia)
Obat-obatan Lupus yang belum sepenuhnya terjamin BPJS Kesehatan dan layanan antar rumah sakit yang belum merata ini, lanjut Tiara, bukan menjadi pekerjaan rumah komunitas Odapus. Sebaliknya, ini malah jadi PR Kementerian Kesehatan.

"Kondisi demikian musti jadi PR-nya Kemenkes. Kalau bagi kami, perjuangannya hanya pada bagaimana kita bisa memperjuangkan bahwa obat-obatan yang belum dijamin tadi bisa masuk ke dalam INA-CBGs. Satu hal yang kita perjuangkan waktu itu tapi bekerjasama dengan kalangan farmasi terkait, salah satu obat yang dipakai untuk ginjal yaitu berjenis mycophenolate mofetil. Ini nama jenis obat ya, bukan nama merek dagang. Ini dipakai untuk kebocoran ginjal, atau dipakai untuk menekan dosis steroid-nya. Ini sekian tahun kita perjuangan, karena kita dari sisi komunitas Odapus -- bukan dokter dan juga bukan praktisi profetik -, maka apa yang bisa kita lakukan? Karena yang seharusnya bisa mengangkat masalah ini adalah mereka yang punya profesi itu sendiri. Buktinya, setelah kita perjuangkan pun, obat ini masih belum bisa dianggap penting, atau mungkin masih kurang data bahwa obat itu memang diperlukan dan digunakan untuk penderita Lupus. Padahal di sini sudah banyak sekali kasus Lupus dengan ginjal yang memerlukan obat-obatan itu. Sekadar info saja, obat yang dimaksud itu, kalau kita ingin membelinya pun tidak ada (obat) generiknya. Dan kalau beli pun, satu tablet saja bisa mencapai Rp 34 ribu. Jadi bisa dibayangkan. Obat itu harganya berkisar antara Rp 30 - 35 ribu, dan paling banyak atau maksimal Odapus harus memakai sampai sekitar empat tablet per hari. Paling sedikit pun, satu tablet per hari. Sehingga kalau kita hitung yang paling rendah, misalnya satu tablet per hari (dengan harga Rp 34 ribu per tablet) dikali 30 hari (satu bulan) kemudian dikalikan lagi 365 hari (satu tahun). Seperti itu. Itu baru satu macam obat, kalau Odapus terkena ke salah satu organ. Bagaimana dengan obat yang lain?" urai finalis "None Jakarta" tahun 1987 ini penuh prihatin.

Tiara Savitri, Odapus yang menjadi salah seorang pendiri Yayasan Lupus Indonesia (YLI) dan kini menjabat sebagai Ketua YLI. (Foto: Yayasan Lupus Indonesia)
Tiara Savitri, Odapus yang menjadi salah seorang pendiri Yayasan Lupus Indonesia (YLI) dan kini menjabat sebagai Ketua YLI. (Foto: Yayasan Lupus Indonesia)
Kalau pun ada sanggahan atau bantahan anggapan bahwa, selain jenis obat yang mahal tadi, bukankah BPJS Kesehatan sudah memberikan jaminan sepenuhnya, Tiara justru mempersoalkan layanan administratif yang sepatutnya lebih memudahkan. Khususnya bagi Odapus yang cukup kesulitan mengakses layanan medis di daerahnya.

"Oke, kalau misalnya ada bantahan bahwa obat-obatan yang lain 'kan bisa dapat dari BPJS Kesehatan? Oke benar, bisa dapat dari BPJS Kesehatan, tapi sekarang juga ternyata bahwa BPJS Kesehatan tidak semua penjaminannya bisa menanggung, misalnya kita disuruh balik kontrol (ke dokter) dalam satu bulan, tapi obat itu hanya bisa diberikan dalam waktu tujuh hari. Terus bagaimana dengan yang sisa kekurangan obatnya yang untuk tiga minggu lagi? Ya, kita harus balik lagi mengurusnya. Berpikir enggak, betul kita dapat obat gratis, tapi bagaimana mereka harus bolak-balik (mengurusnya) dengan perhitungan transportasi, akomodasi yang mereka harus gunakan, yang mereka harus keluarkan? Ya kalau Odapusnya ini adanya di daerah kita yang akses ke rumah sakitnya mudah, bagaimana dengan Odapus yang akses ke rumah sakitnya sulit? Lalu, kalau misalnya dikatakan bahwa beberapa rumah sakit swasta juga menerima pasien BPJS Kesehatan, yaitu rumah sakit yang termasuk bertipe B, nah ini pun kadang-kadang suka dipindah, dirujuk ke rumah sakit tipe B, apalagi di situ, mereka punya kebijakan tidak bisa meng-cover sepenuhnya. Kalau misalnya dibalikin bahwa, lho kalau begitu periksa dong ke rumah sakit umum setempat, ya rumah sakit umum setempat untuk mengantrinya, untuk segala macamnya membuat Odapus lelah. Ini juga menjadi salah satu pemikiran untuk bagaimana kita mencari solusi agar supaya teman-teman Odapus mendapatkan kemudahan mereka untuk menggunakan BPJS Kesehatan. Dan, hak mereka untuk mendapatkan obat-obatan yang diperlukan," papar pencipta lagu "Aku Ada Di Sini" yang kemudian menjadi lagu Lupus Internasional.

KANAN: Tiara Savitri, Ketua Yayasan Lupus Indonesia melakukan sosialisasi tentang Lupus. (Foto: Yayasan Lupus Indonesia)
KANAN: Tiara Savitri, Ketua Yayasan Lupus Indonesia melakukan sosialisasi tentang Lupus. (Foto: Yayasan Lupus Indonesia)
Menghadapi praktik skema penjaminan BPJS Kesehatan yang seperti ini, lanjut Tiara, Odapus tidak bisa berbuat apa-apa. 

"Demo? Buat saya, demo itu enggak ada gunanya. Lebih baik apa yang bisa kita lakukan, ya kita lakukan aja. Lebih baik kita mencari solusi supaya teman-teman Odapus menjadi sehat. Jadi, kalau saya sering bilang ke teman-teman Odapus adalah begini, supaya kita tidak bolak-balik ke rumah sakit dan dosis obat juga tidak semakin bertambah banyak, maka akan lebih baik kalau kita menjalani pola hidup sehat. Karena, dengan Odapus yang hidup sehat, lalu bertambah sehat, maka otomatis dosis obat yang harus dikonsumsi juga akan semakin berkurang. Dengan Odapus ini semakin sehat, maka otomatis juga obatnya akan semakin kurang."

"Artinya, yang seharusnya Odapus beli, mungkin juga tidak menjadi harus untuk dibeli. Ini termasuk salah satu solusi terbaik yang kita perjuangkan. Enggak mudah memang, tapi itu adalah 'PR' kami agar bagaimana supaya Odapus harus bisa menjalani hidup yang berkualitas dan produktif, baik untuk dirinya sendiri maupun juga orang lain. Sehingga, Odapus bukan berarti tidak bisa melakukan apa-apa, tapi dengan Odapus melakukan pola hidup sehat maka otomatis semua pengobatannya juga akan menjadi jauh lebih turun dosisnya," seru Tiara yang tahun kemarin terpilih oleh Unit Kerja Presiden sebagai sebagai satu dari 72 ikon Nasional Indonesia Berprestasi.

KIRI: Devi Rahmawati, Odapus peraih juara kedua Lupie Diary Award dari Syamsi Dhuha Foundation baru-baru ini. (Foto: Dokpri. Devi Rahmawati)
KIRI: Devi Rahmawati, Odapus peraih juara kedua Lupie Diary Award dari Syamsi Dhuha Foundation baru-baru ini. (Foto: Dokpri. Devi Rahmawati)
Sementara itu, Devi Rahmawati, gadis cilik berusia 14 tahun yang menderita Lupus sejak empat tahun lalu menceritakan juga pengalamannya tentang layanan BPJS Kesehatan.

Kepada penulis, siswi kelas III SMPN Cikancung di Cicalengka, Kabupaten Bandung ini sebelumnya mengatakan, harus menjalani kontrol berobat ke dokter, setiap dua minggu sekali. "Saya menderita Lupus sudah sejak empat tahun lalu. Sekarang, kesehatan saya alhamdulillah baik. Meskipun, tiap dua minggu sekali, saya harus kontrol ke dokter di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung," ujarnya melalui sambungan telepon.

Menurut ibunda Devi yakni Dede (38), putri sulungnya ini sudah menjalani proses kemoterapi sebanyak empat kali. "Devi sudah menjalani proses kemoterapi yang keempat kali. Mulai pertama kali kemoterapi pada Desember 2017. Kemoterapi ini dijamin BPJS Kesehatan," ujarnya.

Meski demikian, Dede mengungkapkan, ada vitamin dan suplemen yang dibutuhkan Devi, tapi tidak dijamin BPJS Kesehatan. Padahal, vitamin dan suplemen ini harganya mahal, dan penting untuk Devi lantaran Lupus yang menggerogoti tubuh Devi sudah menyerang ginjal juga mengakibatkan pengeroposan tulang. "Harganya mahal, dan enggak masuk BPJS (Kesehatan). Jadi, kita suka beli di luar. Kalau obat-obatannya yang murah mah masuk BPJS (Kesehatan)," kata Dede.

Adapun vitamin yang dimaksud, menurut Dede lagi, adalah vitamin untuk tulang yang harganya lebih dari Rp 200 ribu per 30 tablet. "Devi minum vitamin ini, satu tablet sehari."

Sedangkan suplemen yang dimaksud, kata Dede, harus dibeli juga dengan harga sekitar Rp 65 ribu per 60 tablet. "Suplemen ini diminum Devi, dua tablet sehari."

Peserta Program JKN Lebih Dari 196 Juta Jiwa

Tabel Jumlah Peserta Program JKN per 1 Mei 2018. (Sumber: bpjs-kesehatan.go.id)
Tabel Jumlah Peserta Program JKN per 1 Mei 2018. (Sumber: bpjs-kesehatan.go.id)
Tabel Jumlah Fasilitas Kesehatan JKN per 1 Mei 2018. (Sumber: bpjs-kesehatan.go.id)
Tabel Jumlah Fasilitas Kesehatan JKN per 1 Mei 2018. (Sumber: bpjs-kesehatan.go.id)
Sementara itu, dari situs bpjs-kesehatan-go.id diperoleh tabel bahwa jumlah Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) per 1 Mei 2018 mencapai 196.662.064 jiwa.

 Sedangkan jumlah Fasilitas Kesehatan JKN per 1 Mei 2018 mencapai 27.140.

o o o O o o o

Baca juga tulisan sebelumnya terkait Lupus:

Dian Syarief dan "Kupu-kupu" Penderita Lupus

Senam Lupus dan Efeknya bagi Penderita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun