18 April ini, tepat 63 tahun pembukaan Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 di Bandung yang diikuti 29 negara. Berlangsung hingga 24 April, konferensi menelurkan Dasasila Bandung yang menggaungkan semangat antiimperialis.
Foto di atas adalah kamera Leica seri IIIf. Ini kamera bersejarah. Bukan saja bagi pemiliknya yaitu Inen Rusnan (81), tapi juga bagi bangsa Indonesia. Lho, kok bisa sampe begitu berjasanya?
Ya, karena dengan kamera premium jadulbikinan Jerman ini Inen mengabadikan momen demi momen pelaksanaan KAA yang diselenggarakan pada 18-24 April 1955 di Bandung. Tentu, Inen tidak sendirian. Ia bergabung bersama ratusan jurnalis dalam dan luar negeri yang meliput jalannya konferensi.
Waktu itu, Inen baru akan menginjak usia 18 tahun. Ia fotografer lepas yang ditugaskan Departemen Penerangan untuk memotret kegiatan para delegasi tamu dari dua benua ini. "Saat itu ada pembentukan panitia, saya diundang. Kebetulan menguasai fotografi, (selain) juga karena hanya sedikit waktu itu orang yang menguasai fotografi. Terlebih, (ketika itu) tustel juga susah. Saat memotret paling sedikit harus menyediakan 10 roll film agar merasa tenang, tapi kalo acaranya sampai malam harus lebih dari itu," ujar Inen seperti dikutip ayobandung[dot]com.
Kini, kamera Leica seri IIIf - yang dibeli Inen di Toko Dragon, Jalan Braga pada 1952 - tersimpan apik di Museum KAA, Bandung. Selain kamera, ada juga Enlarger Set milik Inen yang disimpan dan dipamerkan di Museum KAA.Â
Enlarger adalah sebuah proyektor khusus untuk mencetak foto hitam putih secara manual. Sama seperti kameranya, Inen membeli Enlarger di toko dan tahun yang sama.
Waktu itu, karena usianya yang masih belasan tahun, Inen termasuk sosok peliput KAA yang paling muda. Meski begitu, ia tetap penuh semangat bersaing dengan pewarta foto lain untuk mendapatkan angle foto terbaik.
Selain Kamera LeicaIIIf dan Enlarger Set milik Inen, masih banyak pernak-pernik lain yang juga tersimpan dan dipamerkan di Museum KAA. Misalnya, mesin tik - ada yang merek Siemens, Remington -, camera recorder (camcorder) video, dan masih banyak lagi. Untuk piranti yang saya sebut ini, kegunaannya sudah sangat jelas yakni terkait kerja jurnalistik. Ya benar, alat-alat tadi pernah digunakan oleh para wartawan peliput KAA 1955.
Tidak sedikit juga foto-foto hitam putih yang dipamerkan dan menggambarkan para awak media sedang sibuk bekerja meliput KAA. Ada juga, arsip dan dokumentasi yang memuat berita-berita seputar konferensi di berbagai media massa cetak dari dalam dan luar negeri.
Memang, membicarakan KAA 1955 dan gaungnya yang mendunia, pasti tak lepas kaitannya dengan dukungan dan hasil kerja para jurnalis lokal, nasional maupun internasional peliput konferensi. Jumlah mereka diperkirakan hingga 700 orang.Â
Hal ini masuk akal, karena selain jurnalis tuan rumah, setiap delegasi tamu dari negara-negara se-Asia dan Afrika ini juga membawa rombongan jurnalisnya sendiri-sendiri. Oh ya, bisa jadi catatan tambahan, pada gelaran peringatan KAA tahun 2015, jumlah total jurnalis peliput malah membengkak jadi 1.200 orang.
Tulisan Jurgen Dinkel yang menjadi pengantar buku Konferensi Asia Afrika 1955: Asal Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Antiimperialisme karya Wildan Sena Utama sepertinya bisa menjawab pertanyaan tersebut. Begini tulis Jurgen Dinkel:
"Maka pada April 1955, delegasi dari 29 negara Asia dan Afrika berkumpul di Bandung, Indonesia, untuk perhelatan KAA. Para peserta konferensi, yang tidak banyak memiliki kekuatan militer atau ekonomi, mencoba mencapai sasaran kebijakan luar negerinya melalui langkah-langkah performatif yang simbolik - yang memungkinkan seluruh peserta dipandang dan didengar di negerinya sendiri-sendiri dan di panggung politik internasional sebagai pemerintahan berdaulat yang sah dari negara-negara merdeka.
Oleh karena itu, para elite paskakolonial mengembangkan aneka macam kegiatan guna memastikan wartawan dan diplomat menghasilkan liputan yang luas pula atas konferensi mereka. "Merebut tajuk-tajuk utama pers sedunia" menjadi salah satu tujuan penting KAA. Mereka beriklan di koran-koran terkemuka dan mengundang pula para diplomat serta duta-duta besar.
Para jurnalis hadir entah karena keyakinan politiknya atau mewakili kantor-kantor berita. Selain penasihat politik, sebagian besar pemerintah juga membawa jurnalis mereka sendiri. Menteri-menteri informasi dan koresponden surat kabar nasional terkemuka menjadi bagian dari delegasi tiap-tiap negara. Alhasil, sekitar 700 jurnalis datang menghadiri KAA."
Oh ya, selain juru foto Inen Rusnan, ada juga nama Paul Tedjasurja. Kalau pada saat KAA 1955 Inen 'baru' berusia hampir 18 tahun, Paul Tedjasurja - akrab disapa Oom Paul - justru sudah berusia 25 tahun. Makanya tak aneh kalau kamera Leica IIIf yang menjadi 'senjata jepret' Oom Paul adalah milik calon mertuanya.
Ketika itu, Oom Paul bekerja sebagai pewarta foto freelance dari Preanger Foto. Pada masa itu, hanya ada tiga studio foto: James Press Photo, Preanger Foto, dan Antara. Paul memasok karya fotonya ke perusahaan jawatan penerangan provinsi Jawa Barat, tempat calon mertuanya bekerja.Â
Teman-temannya sesama pewarta foto pada masa itu, dr Koo Kian Giap (Antara), Lan Ke Tung (PAF/Antara), Johan Beng (Antara), dan James A.S. Adiwijaya sudah meninggal. "Momen KAA 1955 itu merupakan pertama kalinya saya memotret pada acara bertaraf internasional," kenang Oom Paul.
Di bulan April 2015, Oom Paul menerbitkan buku berjudul Bandung 1955: Moments of Asian African Conference. Isinya, sebanyak 63 foto karya Oom Paul sewaktu mengabadikan perhelatan KAA 1955 yang begitu bersejarah.
Sementara wartawan dari luar negeri, tercatat ada Arthur Conte asal Perancis, yang kemudian menulis buku Bandoung, Tournant de l'Histoire (Bandung, Titik Balik dalam Sejarah).
Juga, penulis kawakan Amerika, Richard Wright - yang berdarah Afro-Amerika dan diasingkan ke Paris. Pada 1956, Wright menerbitkan buku bertajuk The Color Curtain, A Report on The Bandung Conference.
Pengamat politik dari Amerika, George McTurnan Kahin juga hadir dan menulis karya The Asian-African Conference pada 1956.
Seluruh wartawan peliput sengaja dikonsentrasikan di Hotel Swarha. Sedangkan para tamu delegasi menempati dua hotel, Savoy Homann dan Preanger. Ini ditulis oleh Rosihan Anwar dalam bukunya Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia, volume 2:
"Dari Andir (kini Bandar Udara Husein Sastranegara -- red), saya pergi ke penginapan, sebuah hotel baru, bertingkat, terletak depan kantor pos, bernama Swarha. Menginap di Hotel Savoy Homann dan Preanger tidak mungkin karena seluruh kamarnya sudah di-book untuk delegasi Konferensi AA dan tamu-tamu lain dari luar negeri. Hotel Swarha berada on walking distance dari gedung Konreferensi AA. Ini sangat memudahkan. Tak perlu mikir soal transpor."
"... Bahan masukan dan informasi dari pihak secretariat konferensi terasa sangat sedikit. Tidak ada data ikhtiar mengenai jalannya persidangan baik yang umum terbuka maupun yang tertutup. Sedikit sekali diperoleh keterangan tentang tingkat dan tahapan pembicaraan pada sesuatu saat. Karena jumlah tenaga wartawan terbatas yang bekerja sama dengan saya, beban pekerjaan dirasakan berat.
News reporting saja telah meminta banyak waktu dan perhatian. Untuk penulisan features dan human interest story sudah tidak tersisa lagi waktu dan energi."
Salah seorang yang terlibat sekaligus saksi sejarah KAA 1955, Popong Otje Djundjunan (80) juga menceritakan hal serupa. Ketika saya wawancara melalui telepon pada Jumat, 20 April 2018 kemarin, politisi Partai Golkar yang menjadi anggota Komisi X DPR ini mengaku, tidak banyak melihat ada banyak keramaian atau kesibukan wartawan di Hotel Savoy Homann. 'Gini jawaban perempuan kelahiran Bandung, 30 Desember 1938 ini:
"Wartawan tidak terlalu ramai di sana (Hotel Savoy Homann - red) mah. Enggak tahu kenapa. Apakah memang tidak diperbolehkan, atau hanya terbatas. Kurang tahu. Tapi Ceu Popong tidak ngobrol sama wartawan waktu itu. Tidak. Tidak ada yang nanya dari pihak wartawan. Tidak ramai. Tidak ngagunduk (berkumpul, berkerumun - red). Enggak ada kok, sepertinya biasa-biasa aja gitu. Apa mungkin karena Ceu Popong tidak memperhatikan. Tapi kalo ngagunduk kan pasti kelihatan kan. Tidak ada yang ngagunduk."
"Tugas Ceu Popong waktu itu adalah untuk menemani si delegasi-delegasi itu sambil menjelaskan makanan ini dibuat dari apa. Waktu itu kegiatannya di Hotel Homann. Malam (hari). Jadi peserta-peserta konferensi, semua kepala-kepala negara kumpul di sana. Untuk itu ada semacam silaturahmi dan diantaranya ada makanan-makanan tradisional, nah itu harus dijelaskan oleh kita. Bajigur misalnya, dibuatnya dari apa."
Memaknai semangat perhelatan KAA 1955, menurut Ceu Popong, adalah hikmah dan berkah yang teramat besar bagi dunia karena membawa spirit bagi bangsa-bangsa untuk merdeka dan melepaskan diri dari kolonialisme, penjajahan. Ini jawaban Eceu yang sudah empat masa periode menjadi anggota DPR:
"Kita harus bangga, tapi tidak boleh sombong, dengan adanya peristiwa KAA (1955), berapa puluh negara yang merdeka. Itu aja yang penting mah. Setelah peristiwa KAA, kan termotivasi itu orang-orang untuk merdeka. Kemudian yang menjajahnya juga kan jadi malu sendiri atuh. Akhirnya berapa negara yang jadi merdeka, apalagi di Afrika. Mangga."
"Kita harus bisa bangga, bahwa dengan adanya KAA yang notabene adalah - nah Ceu Popong rek sombong ieu - di kota kelahiran Ceu Popong. Ya pan, Ceu Popong mah kelahiran Bandung. Dari mulai dilahirkan sampai melahirkan atuh di Bandung. Jadi ada kebanggaan tersendiri.
Ceu Popong sebagai anggota DPR tugas keliling kemana-mana, kalau dalam memperkenalkan diri, kan harus memperkenalkan diri sebagai anggota delegasi, namanya siapa, partai apa, fraksi apa dan Dapilnya mana. Nah, Ceu Popong kan selalu mengatakan Dapil Bandung. Mereka bilang: "Waahhh .., Bandung." Kan itu satu kebanggaan. Jadi karena, Bandung sudah merupakan kota yang sangat dikenal di seluruh dunia terutama setelah KAA, gitu. Nah ini harus jadi kebanggaan atuh untuk orang Indonesia teh. Tapi dengan catatan, buktikan bahwa Indonesia itu ada dan baik."
"Problem pertama yang dihadapi adalah gedung. Sebab gedung-gedung besar di Bandung pada waktu itu "sangat terbatas" dan jika ada, telah digunakan sebagai kantor pemerintahan." Pemerintah memutuskan menggunakan dua gedung, yaitu Gedung Merdeka (bekas gedung perkumpulan sosial Eropa dari era colonial, Concordia) dan bangunan kantor besar pemerintahan, Gedung Dwi Warna (Gedung Dana Pensiun).
Pleno dan pertemuan terbuka berlangsung di Gedung Dwi Warna. Gedung Merdeka pada waktu itu begitu buruk kondisinya karena pernah dibakar pada masa revolusi. Sebaliknya Gedung Dwi Warna hanya memerlukan sedikit perbaikan kecil, seperti renovasi dan pengecatan. Untuk memperbaiki bangunan-bangunan tersebut, Sekretariat Bersama menunjuk Seksi Bangunan dan Ruangan dari Bandung, yaitu Ir Santoso, Hadinegoro, dan Frederich Silaban."
Panitia juga menyiapkan Hotel Islam Swarha di alun-alun Bandung untuk para jurnalis. Totalnya, pemerintah Indonesia mempersiapkan 18 hotel, 29 resor dan bungalow (22 dimiliki swasta dan 7 dimiliki pemerintah), 8 rumah Palang Merah Indonesia (PMI), dan 4 hotel yang bisa menampung sekitar 1.780 orang.
Makanan khusus diimpor, seperti kari dari Madras dan kacang-kacangan dari Arab Saudi. Hotel-hotel diberi instruksi khusus dalam menyiapkan menu mereka dan menawarkan hidangan baik yang berasal dari Eropa maupun Indonesia. Selama konferensi, Sukarno meminta Roeslan Abdulgani menyediakan makanan Indonesia seperti soto, gado-gado, dan sate, serta jajanan ringan seperti klepon, pukis, bika ambon, dan lemper, mirip dengan yang disajikan selama Konferensi Bogor.
Untuk transportasi sehari-hari, pemerintah Indonesia telah menyiapkan 143 sedan salon (Plymouths, Fiat, Austin, Mercedes-Benz, dan Chevrolet), 30 taksi, dan 20 bis. Sebanyak 87 mobil (tiga per negara) disiapkan untuk memenuhi kebutuhan delegasi, 10 mobil untuk Sekretariat Bersama, dan sisanya ditempatkan dekat dengan lokasi konferensi dan hotel untuk transportasi sehari-hari anggota delegasi, staf, dan pengamat.
Selain itu, kapasitas pengiriman telegram ditingkatkan dari 100,000 menjadi 200,000 kata per hari. Akses dan jaringan telepon masih terbatas pada waktu itu, tetapi Indonesia memperoleh 100 telepon dari India dan sambungan telepon radio juga dikembangkan untuk menjangkau hampir 30 negara."
Sudah banyak tulisan tentang KAA 1955 tersebar di berbagai sumber, termasuk di arsip Mbah Google. Umumnya tulisan tersebut menjelaskan tentang sejarah sebelum, ketika, dan rentetan berbagai konferensi sesudah KAA 1955. Termasuk, perdebatan dan silang pendapat yang berlangsung selama konferensi, sampai akhirnya lahir komunike final bersama yaitu Dasasila Bandung, atau banyak juga yang menyebut sebagai Bandung Spirit.
o o o O o o o
Baca juga tulisan berikutnya:
Cerita Ceu Popong: Dari KAA 1955, Bohongi Presiden Mesir sampai Kekurangan Jokowi
Warisan "Semangat Bandung" dan Isu Tabu pada KAA 1955
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H