Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Film "Moonrise Over Egypt" dan Keteladanan Agus Salim

26 Maret 2018   23:13 Diperbarui: 11 April 2018   03:55 3639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster film Moonrise Over Egypt. (Sumber: moonriseoveregypt.com)

Judulnya Moonrise Over Egypt. Film ini bergenre supersense sejarah. Artinya tontonan yang menitikberatkan pada inti cerita. Perkara hasil akhir film ini sudah diketahui oleh penonton, tetapi jalan ceritanya ternyata cukup banyak kejutan.

Kejutan? Ya kejutan. Karena jalan ceritanya, enggak seperti yang sudah saya baca di buku-buku yang menampilkan sosok Pahlawan Kemerdekaan, H Agus Salim. Ada pengkhianatan dengan menjadi agen spionase, intrik politik, rangkaian pembunuhan, usaha percobaan pembunuhan Menlu Mesir, juga bumbu drama asmara. 

Apakah kejutan-kejutan (yang oleh tim produksi film ini disebut sebagai "rahasia sejarah") ini terkisahkan di buku-buku yang menceritakan perjuangan diplomasi empat diplomat Indonesia - yang berjuang demi memperoleh pengakuan de jure dan de facto dari Mesir? Mungkin ada, tapi saya kok belum membacanya.

Makanya, saya kasih dua jempol deh kalau film - yang dirilis 22 Maret 2018 dan menyatakan dalam trailernya sebagai Inspired by True Event - ini berhasil mengulik rahasia sejarah pada masa diplomasi berlangsung tersebut.

Kisah "mainstream" yang menyeruak di buku-buku - utamanya biografi H Agus Salim - adalah  usaha gigih sekaligus licik Dubes Belanda di Mesir yang menikung proses diplomasi tim delegasi Indonesia, bahkan sempat membuat lembek sikap Menlu Mesir Mahmoud Fahmy El Nokrashy Pasha (yang diperankan aktor Mark Sungkar) untuk menyatakan dukungan atas kedaulatan Indonesia. 

Salah satu adegan dalam film Moonrise Over Egypt. (Sumber: moonriseoveregypt.com)
Salah satu adegan dalam film Moonrise Over Egypt. (Sumber: moonriseoveregypt.com)
Sebagai supersense sejarah, film yang disutradarai Pandu Adiputra ini tidak ingin terlalu jauh mengambil alur cerita. Ya, hanya seluk-beluk perjuangan empat diplomat Indonesia: Abdurrachman Baswedan (diperankan Vikri Rahmat), Nazir Datuk Sultan Pamuntjak (drh Ganda), Mohammad Rasjidi (Satria Mulia) dengan pimpinan H Agus Salim (Pritt Timothy) selama beberapa bulan di tahun 1947 di Kairo.

Pengakuan kedaulatan Indonesia dari Mesir adalah buah kerja gigih keempatnya. Pengakuan de jure ini dalam bentuk perjanjian persahabatan, hubungan diplomatik, konsuler serta perniagaan, tepatnya pada Juni 1947. Empat bulan sebelulnya, atau Maret 1947, Mesir sudah lebih dulu menyatakan pengakuannya atas proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, atau secara de facto.

Pengakuan de facto dan de jure dari Mesir merupakan pengakuan dunia internasional pertama kali terhadap kemerdekaan bangsa Indonesia. Menyusul kemudian dari sejumlah negara di kawasan Timur Tengah seperti Lebanon (29 Juni 1947), Suriah (2 Juli 1947), Irak (16 Juli 1947), Arab Saudi (24 November 1947) dan Yaman (3 Mei 1948).

'The Grand Old Man' Jadi Tokoh Sentral

Presiden Soekarno pernah menyebut H Agus Salim sebagai The Grand Old Man. Sebutan ini mengemuka juga di film, ketika Dubes Belanda untuk Mesir Willem Van Recteren Limpurg melakukan permufakatan jahat dengan Dubes Keliling Belanda Cornelis Adriaanse, untuk menggagalkan misi diplomatik Indonesia selama di Kairo. Harapan keduanya, tim delegasi Indonesia pulang kembali ke tanah air dengan wajah kuyu dan tangan hampa alias gagal. Dalam pembicaraan empat mata itu, satu nama yang mereka takuti adalah The Grand Old Man!

Dan memang, sepanjang 114 menit durasi tayang, sosok H Agus Salim menjadi sentral dalam film ini. Meskipun, ada saja suara sumbang yang menyebut bahwa film ini kurang memunculkan sepak terjang The Grand Old Man yang bernama asli Masjhudul Haq (Pembela Kebenaran) ini.

"Sosok diplomat ulung yang selama ini sudah melekat pada diri pahlawan nasional yang dijuluki The Grand Old Man itu tak muncul, karena selama di Mesir para delegasi bangsa itu lebih banyak ngobrol, ngopi-ngopi dan merokok di kamar hotelnya, yang seperti hotel kelas melati, sedangkan mereka menginap di Hotel Continental Kairo. Adegan ini banyak mendominasi sepanjang film berlangsung," tulis AntaraNews (25/3) kemarin.

Kritikan juga menjalar ke soal pengambilan gambar. Film yang mengambil latar cerita di Mesir pada 1947 ini dinilai tak mampu menampilkan suasana "Negeri Piramid" pada masa itu. Padahal, ada sekitar 40 persen pengambilan gambar yang dilakukan secara langsung di "Negeri Firaun" itu.

"Di sejumlah scene latar pemandangannya pun hanya menggunakan efek komputerisasi, sementara suasana Kairo sendiri tidak terlalu ditampakkan secara utuh. Tak cuma itu, untuk menghindari Moonrise Over Egypt berkesan sebagai film dokumenter dan membuat kisahnya lebih menarik kemudian dimasukkanlah unsur drama fiksi. Maka muncul kemudian kisah romantisme antara mahasiswa Indonesia dengan mahasiswi Malaysia di Mesir, serta cerita spionase ala film Hollywood," masih tulis AntaraNews.

Wuuuiiihhh ... kritikan yang makjleb!

Sebagai penonton, saya tak menampik kebenaran kritik tersebut. Sepertinya memang kurang nongol bagaimana sosok trengginas diplomat ulung H Agus Salim. Meskipun harus diakuii juga, sepanjang tayangan film, The Grand Old Man kelahiran Nagari Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 8 Oktober 1884 ini nyaris mendominasi jalannya cerita.

Salah satu adegan dalam film Moonrise Over Egypt. (Sumber: moonriseoveregypt.com)
Salah satu adegan dalam film Moonrise Over Egypt. (Sumber: moonriseoveregypt.com)
Bahkan, film ini pun dibuka dengan adegan tertembak dan gugurnya Ahmad Sjauket Salim, anak kelima H Agus Salim di medan pertempuran. Sjauket lahir pada 14 Desember 1921. Ia gugur semasa revolusi fisik tahun 1946 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tangerang, Provinsi Banten. Tak berlebihan, apabila kenangan mengharukan yang menguji ketabahan H Agus Salim atas gugurnya sang putra Sjauket, mencuat juga dalam film ini.

Pernikahan H Agus Salim dengan Zainatun Nahar - sejoli dari Tepi Ngarai Sianok, Bukittinggi - berlangsung pada 12 Agustus 1912. Mereka dikaruniai empat putra dan empat putri. Anak-anak H Agus Salim memanggil ayahnya dengan "Paatje", dan ibunya disapa dengan sayang dengan "Maatje". Panggilan "Paatje" muncul juga dalam film ini, ketika putra H Agus Salim menjahit kemeja laskar 'Merah-Putih'nya di bale-bale teras rumah. Sementara sosok "Maatje" malah muncul sekilas saja.

Keteladanan "Paatje"

Terlepas dari sejumlah kritik yang disampaikan terhadap film ini, saya pribadi justru mengapresiasi kehadiran film bergenre supersense sejarah kayak gini. Mengapa? Ya karena budaya membaca masyarakat sudah semakin memprihatinkan. Jangankan membaca buku pelajaran (termasuk Sejarah), bahkan membaca buku, majalah dan koran pun rasanya masyarakat kita kian emoh. Sebaliknya, gadget tak pernah lepas dari genggaman. Media sosial menjadi primadona bacaan juga 'rujukan' informasi.

"Saat ini, mengajarkan anak-anak untuk memahami sejarah bangsanya sendiri semakin sulit," ujar Neni Muthmainah, pengelola rumah yatim di bilangan Tangerang yang bersama 70 anak yatim piatu mendapat undangan 'Nobar' gratis dari tim produksi film Moonrise Over Egypt.

Santi selaku staf tim produksi film, tampak sibuk membagi-bagikan tiket masuk kepada para anak yatim yang berseragam sekolah putih-putih itu. "Di bioskop Bintaro Plaza sini, film Moonrise Over Egypt cuma satu kali jam tayang yaitu jam 16.00 saja. Karena memang, minat penonton sedikit," ungkapnya prihatin kepada penulis sebelum sama-sama bareng masuk ke Studio 1.

Salah satu adegan dalam film Moonrise Over Egypt. (Sumber: moonriseoveregypt.com)
Salah satu adegan dalam film Moonrise Over Egypt. (Sumber: moonriseoveregypt.com)
Disinilah saya merasa bersyukur, hadirnya film Moonrise Over Egypt sedikit banyak mampu mengenalkan empat sosok tim delegasi Indonesia yang memperjuangkan kedaulatan bangsanya di dunia internasional, khususnya Mesir. Selain itu, banyak juga kok pelajaran kehidupan yang diajarkan oleh tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam film, sehingga harapannya dapat menginspirasi para siswa yang menonton.

Sebutlah sosok H Agus Salim, yang dalam film ini saya catat beberapa pelajaran berharga dan patut diteladani generasi penerus bangsa. Pelajaran dari Paatje itu antara lain:

Satu, semangat nasionalisme yang membara. Pada adegan film ini, perjuangan H Agus Salim (bersama tiga diplomat lainnya) yang kental sekali rasa nasionalismenya ditampilkan secara cukup baik. Terlebih melalui dialog-dialog pilihan yang sangat brilian untuk dikemukakan. Misalnya, apa yang disampaikan H Agus Salim yang mengutip pernyataan almarhum putranya Sjauket yang gugur di medan laga. Begini, tutur The Grand Old Man:

"Sjauket pernah bilang, Paatje berjuang itu bukan pilihan, tapi kemestian. Dan kata-kata itu mengingatkanku dan menyadarkanku bahwa setiap putra bangsa itu harus berjuang. Perjuangan tidak akan pernah selesai. Walaupun nyawa taruhannya aku akan tetap berjuang."

Dua, rasa humorisnya yang tinggi sehingga membuat banyak orang suka pada Paatje dari berbagai kalangan. Tak aneh juga kalau Seri Buku Saku TEMPO Bapak Bangsa yang mengulas Agus Salim, diberi judul "Diplomat Jenaka Penopang Republik". Judul ini kayaknya pas banget, apalagi kalau kita sudah menonton film Moonrise Over Egypt, semakin pas!

Satu adegan yang menampilkan kejenakaan H Agus Salim adalah ketika tim delegasi Indonesia beramah-tamah dengan Menlu Mesir Nokrashy beserta stafnya. Pada saat dipersilakan untuk mencicipi roti khas Mesir yaitu Isy, baik Rasjidi, Baswedan dan Nazir sama-sama memuji kelezatan makanan pokok masyarakat Mesir yang rasanya seperti roti tawar tetapi dengan tekstur yang lebih padat dan serat yang lebih terasa.

Ketiga diplomat ini juga menyampaikan harapan agar kelak Nokrashy datang ke Indonesia dan mencicipi panganan tradisional khas daerahnya masing-masing. Nazir menyebut Galamai, panganan khas Sumatera Barat. Sementara Baswedan menyampaikan Rujak Cingur dari Jawa Timur, dan Rasjidi menukas Lumpia dari Semarang. Nokrashy pun nampak senang.

Lantas bagaimana dengan H Agus Salim? Mantan wartawan dan pemimpin redaksi di beberapa media cetak ini justru melontarkan humor satire yang sudah menjadi trademark-nya. Paatje bilang:

"Our food is so delicious. It makes the Westerns to forget to return their home for hundred years".

Mendengar apa yang dilontarkan Paatje, seluruh yang hadir menjadi tergelak tawa, termasuk Nokrashy. Malah, Menlu Mesir ini bilang, "Mr Salim has a diplomatic sense of humor".

Tiga, cerdas. Dalam hidupnya yang senantiasa memperjuangkan kemerdekaan bangsanya, hidup Paatje memang tak bisa lepas dari pantauan intel-intel kolonialis. Tapi apa Paatje gentar? No way! Ia justru memberi teladan kepada mahasiswa Indonesia di Mesir untuk pandai menerapkan strategi dan siasat dalam berjuang.

H Agus Salim. (Gambar: Rumah Peduli)
H Agus Salim. (Gambar: Rumah Peduli)
Ketika dirinya sempat ditanya oleh salah seorang mahasiswa Indonesia di Mesir, apakah dirinya pernah ditahan Pemerintah Kolonial lantaran perjuangannya yang berani selama ini, dengan santai Paatje menjawab, sejauh ini sih belum. Selengkapnya, kutipan dalam film tersebut, begini:

"Selama ini memang belum. Tapi ya tidak tahu selanjutnya nanti bagaimana. Dan kamu perlu tahu, selama masa pendudukan, Polisi Rahasia Belanda maupun Jepang selalu memata-mataiku. Seakan-akan menungguku salah langkah." Lalu bagaimana selama ini Pak Haji (Agus Salim - red) bisa lolos? (tanya mahasiswa lagi)"Dengan siasat. Aku mengkritik Pemerintah Kolonial itu dengan ceramah dan tulisan-tulisan. Semua yang ku lakukan sebisa mungkin jangan sampai melanggar Undang-Undang Kolonial. Ya, harus diperhitungkan. Seperti Pencak Silat, tidak hanya kekuatan saja yang ditonjolkan tapi juga dengan keindahannya. Menyerang dengan elegan. Merobohkan lawan tanpa harus menghancurkan martabatnya."   

Paatje mengajarkan untuk cerdas dan bersiasat. Tetapi kecerdasan Paatje juga menonjol dalam film ini ketika staf Menlu Mesir menyodorkan media cetak berbahasa Belanda. Paatje dipersilakan membaca agar dapat mengetahui bagaimana kondisi di tanah air, Indonesia. Kontan Paatje membaca, sambil tertegun karena berita yang tertulis adalah tentang kedatangan tentara NICA yang semakin banyak ke Indonesia. Para siswa yang menonton film ini musti tahu, Paatje adalah seorang polyglot atau orang yang mampu berbicara hingga lebih dari lima bahasa asing secara baik. Anak-anak beliau pun sejak balita sudah diajarkan dan pandai berbahasa Belanda.

Sepanjang hidupnya, Paatje - yang juga dikenal sebagai wartawan yang tak mau kompromi dengan Pemerintah Kolonial - menghasilkan setidaknya 22 buku dan menerjemahkan 12 buku asing (termasuk dua buku karya William Shakespeare).

H Agus Salim bersama istri dan anak-anaknya. (Gambar: intisarionline.com)
H Agus Salim bersama istri dan anak-anaknya. (Gambar: intisarionline.com)
Empat, sederhana. Lewat film ini, kesederhanaan Paatje nampak sekali. Ketika tiga rekannya bingung dan galau menghadapi kesulitan keuangan di negeri orang, Paatje justru mengingatkan untuk tetap semangat dan terus ikhtiar. Sedangkan ketika ditanya bagaimana cara hidup dengan keterbatasan dana di Kairo, Paatje menjawab sepatah kata saja yaitu puasa. Ya, ajakan rajin menjalankan ibadah puasa sunat untuk menyiasati persediaan bekal materi yang semakin hari terus berkurang.

Dalam hidupnya yang serba pas-pasan cenderung kekurangan uang, Paatje pun pantang dicap sebagai "orang melarat". Ia menampik pernyataan Hisyam, mahasiswa Indonesia di Kairo yang menjadi pendamping selama di Mesir, bahwa dirinya hidup dalam kemelaratan. Dalam film ini, Paatje menyanggah, begini:

"Aku tidak melarat. Aku dan keluargaku sering kekurangan uang, pindah dari kontrakan yang sempit ke kontrakan yang tidak kalah kumuh. Makan seadanya. Tapi itu bukan berarti aku melarat. Kami bahagia. Kami kaya. Aku, istriku, anak-anakku saling membahagiakan. Kemelaratan itu hanya persoalan mental, bukan kepemilikan harta."

Lima, teguh pendirian dan selalu optimis. Paatje itu sosok yang selalu yakin akan keberhasilan segala sesuatu apabila ikhtiar diiringi dengan pasrah dan berdoa kepada Allah SWT. Ini ditampakkannya ketika Abdurrachman Baswedan sudah benar-benar putus asa, dan ngotot mengusulkan rencana agar tim delegasi pulang dulu ke tanah air meski harus tertunduk malu dan tangan hampa.

Salah satu adegan dalam film Moonrise Over Egypt. (Sumber: moonriseoveregypt.com)
Salah satu adegan dalam film Moonrise Over Egypt. (Sumber: moonriseoveregypt.com)
Justru Paatje tampil dengan percaya diri dan menegaskan sikapnya untuk tidak akan kembali ke tanah air, sebelum apa yang diperjuangkan selama ini menemui keberhasilannya. Paatje bilang:

"Kalian memang benar, mempunyai hak yang sama untuk mengutarakan pendapat atau memilih tindakan. Aku tidak menghalangi kalau kalian semua mau pulang ke tanah air. Tapi aku akan tetap di sini. Aku tidak akan menghentikan apa yang sudah aku buat. Cuma takdir yang dapat menghentikanku."

Begitu juga dalam penghujung film ini. Optimisme Paatje muncul dengan kalimatnya yang selalu membangkitkan semangat:

"Bulan sabit sebagai penanda waktu dalam Islam. Seperti Indonesia yang sedang membuka lembaran baru. Kita harus berjuang tanpa lengah. Rakyat Indonesia harus berdikari. Tidak menjadi tamu di rumahnya sendiri."

Enam, humanis. Setegar apapun H Agus Salim, beliau tetaplah manusia biasa. Perasaannya begitu peka dengan keadaan. Berlama-lama tinggal di Kairo, membuatnya beberapa kali teringat akan istri dan anak-anaknya. 

Terutama kepada almarhum Sjauket yang syahid di medan pertempuran. H Agus Salim menangis sambil memegang kemeja yang pernah dikenakan Sjauket ketika tertembak dan gugur. Ini adegan yang humanis sekali. Keharuan seorang ayah yang terkenang akan putranya yang sudah pergi untuk selama-lamanya. Tidak cuma itu, ketika H Agus Salim membaca surat pengakuan dan permintaan maaf dari Hisyam, mahasiswa Indonesia di Kairo yang menjadi spionase Belanda, tangannya bergetar. Tubuhnya dibalut keharuan.

Salah satu adegan dalam film Moonrise Over Egypt. (Sumber: moonriseoveregypt.com)
Salah satu adegan dalam film Moonrise Over Egypt. (Sumber: moonriseoveregypt.com)
Tujuh, memuliakan wanita. Aaahhh ... ini pelajaran berharga juga dari Paatje. Ketika Zahra dan Maryam, dua mahasiswi asal Malaya (Malaysia - red) di Kairo menanyakan soal pendapatnya terhadap kemuliaan wanita, Paatje memberikan jawaban yang lugas dan memuaskan. Kata Paatje - yang juga memberi contoh menteri wanita pertama di Indonesia yaitu Maria Ulfah Santoso yang menjabat Menteri Sosial pada 1946 - 1947:

"Wanita itu kedudukannya sangat mulia. Ia memiliki hak yang sama didalam menimba ilmu dan bergaul. Karena dengan menambah wawasan dan berinteraksi secara sosial ini akan penting buat pendidikan bagi anak-anak mereka. Selain itu, ilmu yang mereka miliki bisa dikembangkan kepada negara dan bangsa".     

Dalam beberapa buku biografi Agus Salim juga sering diceritakan, betapa ketika menikah di Pisang, Koto Gadang, ia pernah menerabas adat istiadat yang biasa berlaku. Misalnya, ketika pernikahan dilangsungkan, 12 Agustus 1912. Suasana meriah. Ada arak-arakan dan tabuhan rebana. Di tengah upacara, tiba-tiba H Agus Salim menyerahkan uang kepada istrinya, Zainatun Nahar sebagai bukti tanggung-jawab suami kepada istri. Hal ini, tidak ada di adat Minang.

Sekali lagi, Film Moonrise Over Egypt patut menjadi tontonan wajib bersama keluarga terutama putra-putri tercinta. Tentu, sebelumnya kepada mereka diingatkan kembali tentang bagaimana bangsa ini memperjuangkan kemerdekaannya sendiri. Bukan pemberian bangsa lain. 

Dan, diantara yang berjuang untuk menegakkan kedaulatan bangsa ini adalah H Agus Salim bersama tiga diplomat lain yang akhirnya sukses memperjuangkan pengakuan de jure juga de facto pertama kali, yakni dari Mesir, negerinya pesepak bola Mohamed Salah yang kini merumput bersama klub Liverpool.

o o o O o o o

Baca juga tulisan berikutnya:

Mampir ke Rumah Kelahiran H Agus Salim di Koto Gadang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun