"Sosok diplomat ulung yang selama ini sudah melekat pada diri pahlawan nasional yang dijuluki The Grand Old Man itu tak muncul, karena selama di Mesir para delegasi bangsa itu lebih banyak ngobrol, ngopi-ngopi dan merokok di kamar hotelnya, yang seperti hotel kelas melati, sedangkan mereka menginap di Hotel Continental Kairo. Adegan ini banyak mendominasi sepanjang film berlangsung," tulis AntaraNews (25/3) kemarin.
Kritikan juga menjalar ke soal pengambilan gambar. Film yang mengambil latar cerita di Mesir pada 1947 ini dinilai tak mampu menampilkan suasana "Negeri Piramid" pada masa itu. Padahal, ada sekitar 40 persen pengambilan gambar yang dilakukan secara langsung di "Negeri Firaun" itu.
"Di sejumlah scene latar pemandangannya pun hanya menggunakan efek komputerisasi, sementara suasana Kairo sendiri tidak terlalu ditampakkan secara utuh. Tak cuma itu, untuk menghindari Moonrise Over Egypt berkesan sebagai film dokumenter dan membuat kisahnya lebih menarik kemudian dimasukkanlah unsur drama fiksi. Maka muncul kemudian kisah romantisme antara mahasiswa Indonesia dengan mahasiswi Malaysia di Mesir, serta cerita spionase ala film Hollywood," masih tulis AntaraNews.
Wuuuiiihhh ... kritikan yang makjleb!
Sebagai penonton, saya tak menampik kebenaran kritik tersebut. Sepertinya memang kurang nongol bagaimana sosok trengginas diplomat ulung H Agus Salim. Meskipun harus diakuii juga, sepanjang tayangan film, The Grand Old Man kelahiran Nagari Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 8 Oktober 1884 ini nyaris mendominasi jalannya cerita.
Pernikahan H Agus Salim dengan Zainatun Nahar - sejoli dari Tepi Ngarai Sianok, Bukittinggi - berlangsung pada 12 Agustus 1912. Mereka dikaruniai empat putra dan empat putri. Anak-anak H Agus Salim memanggil ayahnya dengan "Paatje", dan ibunya disapa dengan sayang dengan "Maatje". Panggilan "Paatje" muncul juga dalam film ini, ketika putra H Agus Salim menjahit kemeja laskar 'Merah-Putih'nya di bale-bale teras rumah. Sementara sosok "Maatje" malah muncul sekilas saja.
Keteladanan "Paatje"
Terlepas dari sejumlah kritik yang disampaikan terhadap film ini, saya pribadi justru mengapresiasi kehadiran film bergenre supersense sejarah kayak gini. Mengapa? Ya karena budaya membaca masyarakat sudah semakin memprihatinkan. Jangankan membaca buku pelajaran (termasuk Sejarah), bahkan membaca buku, majalah dan koran pun rasanya masyarakat kita kian emoh. Sebaliknya, gadget tak pernah lepas dari genggaman. Media sosial menjadi primadona bacaan juga 'rujukan' informasi.
"Saat ini, mengajarkan anak-anak untuk memahami sejarah bangsanya sendiri semakin sulit," ujar Neni Muthmainah, pengelola rumah yatim di bilangan Tangerang yang bersama 70 anak yatim piatu mendapat undangan 'Nobar' gratis dari tim produksi film Moonrise Over Egypt.
Santi selaku staf tim produksi film, tampak sibuk membagi-bagikan tiket masuk kepada para anak yatim yang berseragam sekolah putih-putih itu. "Di bioskop Bintaro Plaza sini, film Moonrise Over Egypt cuma satu kali jam tayang yaitu jam 16.00 saja. Karena memang, minat penonton sedikit," ungkapnya prihatin kepada penulis sebelum sama-sama bareng masuk ke Studio 1.