Nama masjid ini: "Kurang Satu Enam Puluh". Lucu ya. Agak-agak asing terdengar di telinga. Kalau dilafalkan dengan Bahasa Minangkabau menjadi Masjid Kurang Aso Anam Puluah.
Ya benar, masjid tua ini memang berada di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. Tepatnya di Nagari Pasir Talang, Kecamatan Sungai Pagu.
Disebut masjid tua, emang berapa umurnya? Masjid Raya (jami') ini diyakini sudah berdiri sebelum tahun 1733. Anggaplah masjid ini didirikan tahun 1733, maka umurnya sudah 285 tahun.
Saya berkunjung ke Masjid Kurang Aso 60 pada Minggu, 4 Maret kemarin. Hanya kunjungan singkat, karena harus segera ke Bandara Internasional Minangkabau di Kota Padang - setelah bermalam di rumah keluarga yang ada di Kampung Pala, yang tak jauh dari Taman Kota Muaro Labuah (Muara Labuh). [Tonton: Videonya]
Sedangkan kalau dari Masjid Raya Koto Baru yang bersebelahan dengan Kawasan Saribu Rumah Gadang ke Masjid Kurang Aso 60, jaraknya juga dekat. Hanya sekitar 4,5 km atau 9 menit perjalanan naik mobil.
Begitu sampai di Masjid Kurang Aso 60, suasana perkampungan begitu kentara. Ada beberapa rumah gadang yang tak jauh dari lokasi masjid berdiri. Sedangkan sekeliling masjid adalah rumah-rumah penduduk. Jalan beraspal yang ada di depan masjid membatasi dengan rumah penduduk yang ada di seberangnya. Jalan umum ini lebar, sehingga pengunjung tidak susah memarkirkan kendaraan.
Pagar besi berwarna hijau muda membatasi halaman depan Masjid Kurang Aso 60. Saya melihat ada plang papan nama bertuliskan "Situs Cagar Budaya Masjid Kurang Aso 60". Di sebelah plang sederhana ini ada plang informasi yang lebih "megah" bikinan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemkab Solok Selatan.
Konstruksi bangunan masjid ini terbuat dari kayu, atapnya terbuat dari ijuk dan sudah beberapa kali diganti seng. Masjid ini adalah masjid tertua di Alam Surambi Sungai Pagu. Di dalam masjid ini terdapat tiang macu (mercu) yang berada di tengah masjid. Tiang macu ini melambangkan daulad atau raja yang dipimpin oleh rajo yang dinamakan seandeko atau se ande yang merupakan tuanku-tuanku suku serta pendamping-pendampingnya.
Ke-59 tonggak mempunyai filosofi yang melambangkan jumlah induak atau datuak pada setiap suku yang ada di Alam Surambi Sungai Pagu, yaitu:
- Jumlah induak datuak Melayu Ampek Nyinyiak 17 orang.
- Jumlah induak datuak di Suku Panai sebanyak 3 orang.
- Jumlah suku Tigo Lareh Bakapanjangan ada 15 orang.
- Suku Kampai Nan 24.
Dengan kata lain, keunikan mengapa namanya "Kurang Aso 60" atau lebih mudah disebut "Anam Puluah Kurang Aso" (Enam Puluh Kurang Satu) yang artinya sama dengan 59 pun serta-merta terjawab. Konon, semula jumlah mereka itu 60 orang, tetapi kemudian ada seorang yang meninggal dunia.
Saya beruntung, seorang dari bapak-bapak yang sedang bekerja melakukan penyelesaian gerbang masjid menghampiri dan dengan ramah "mengizinkan" saya masuk ke Masjid Kurang Aso 60. Namanya Marjohan. Ia kemudian mulai membukakan 2 pintu utama -- yang posisinya tidak persis di tengah melainkan agak geser ke kiri -, dan jendela-jendela kayu pada sisi depan juga samping kanan. Sehingga begitu saya masuk ke Masjid Kurang Aso 60 kondisi pencahayaan yang temaram menjadi terang karena pancaran sinar matahari pagi.
"Sesuai namanya, Masjid Kurang Aso 60 ini punya 59 tiang. Tapi uniknya, tidak semua orang bisa menghitung jumlah tiang-tiang kayu yang ada di sini secara pas," ujarnya.
Nah, hal ini juga yang menjadi satu dari sekian banyak keunikan Masjid Kurang Aso 60. Tidak semua orang bisa menghitung secara pas jumlah tiang yang ada. Ada pengunjung yang pernah menghitung secara persis jumlahnya memang ada 59 tiang, dengan cara menghitung dari sisi depan ke arah belakang. Tapi begitu ia mengulangi lagi hitungannya dari arah belakang ke tiang-tiang kayu di sisi depan, jumlahnya malah cuma jadi 54. Hahahahaaa ... daripada mumet, saya sengaja tidak ingin menghitungnya. Pada salah satu tiang di sisi agak ke kanan saya melihat tiang kayu sempat ditandai dengan nomor dari kertas. Tulisannya, angka 37.
Oh ya, begitu mulai melangkahkan kaki kanan ke dalam masjid, masuk serta merasakan sensasi berada di lantai satu, suasananya terkesan amat klasik dengan suguhan keheningan. Lantai kayu. Dinding kayu. Beratapkan lantai 2 masjid yang juga serba kayu. Nah yang paling membuat terpana ya sudah pasti tiang-tiang kayu atau macu yang berbaris rapi seperti barisan atau shaf jamaah shalat.
Tiang atau tonggak-tonggak kayu ini masih sangat asli. Warnanya coklat tua. Bentuknya tidak bundar utuh, melainkan dibentuk segi delapan. Banyak dari bagian tonggak-tonggak kayu ini sudah terkelupas permukaannya. Tapi boleh dibilang masih sangat, sangat, sangat kokoh! Tuh, sampai 3 kali deh saya nyebutnya.
Masih soal macu. Beredar omongan, bahwa barang siapa yang bisa memeluk macu paling tengah atau yang menjadi pusat Masjid Kurang Aso 60, lalu masing-masing jari dari kedua tangan saling bertemu, maka segala harapan yang diinginkan bakal terkabul. Omongan ini sudah viral. Bahkan pada plang informasi yang dipasang Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemkab Solok Selatan pun dituliskan. [Heheheheee ... maaf, saya pribadi enggak percaya yang kayak beginian, jadi enggak kepingin juga mempraktikkannya, apalagi ini di masjid, Bro']
Berada di lantai 1 masjid, seperti sudah saya bilang tadi, kita seperti berada di "bujur sangkar kayu". Lebih maju lagi ke arah posisi imam kalau shalat, ada sepetak ruang kayu yang lebih kecil dibanding ukuran utama masjid, tapi tetap cukup luas sebagai "ruang" mihrab dari seorang imam. Biasanya, di mihrab itu juga ada semacam panggung atau mimbar untuk sang khatib menyampaikan khutbah Shalat Jumat.
"Ya, dulu mimbar khatib ini ada di posisi mihrab imam. Â Tapi sekarang kami geser ke shaf terdepan. Kalau ingin dikembalikan lagi ke "ruang" mihrab imam masih bisa kok, meskipun sudah lapuk termakan usia, tapi mimbar khatib ini masih asli. Bahagian-bahagian mimbar ini bisa dicopot-pasang, jadi tidak sulit seandainya akan dipindahkan ke posisi semula," ujar Marjohan.
Lamat-lamat saya perhatikan mimbar khatib Masjid Kurang Aso 60 ini. Warnanya coklat tua. Bentuknya sederhana. Paling tengah ada tiga anak tangga atau katakanlah undakan kayu. Pada sisi kiri dan kanan ada pegangan tangan yang agak sedikit melengkung. Di pangkalnya ada ukiran kayu sederhana, mirip seperti bunga.
Ukiran yang mirip bunga ini, kalau saya coba cocokkan dengan contoh-contoh ukiran yang terdapat di buku Ragam Rumah Adat Minangkabau: Falsafah, Pembangunan dan Kegunaan karya Ir Hasmurdi Hasan, sepertinya kok mirip-mirip dengan ukiran Aka Cino Sagagang, Lumuik Anyuik, Siku Kalalawa Bagayuik juga Salompek. Ada kemiripanlah dengan semua itu, tapi ini analisa saya saja lho. Oh ya, pada pegangan tangan sisi sebelah kanan, ukiran mirip bunga di bagian tengah terlihat hilang atau patah, sedangkan pada sisi kiri masih nampak lengkap.
Ukiran kayu dengan lubang-lubang kecil yang jumlahnya cukup banyak. Melihat motif ukiran dan lubang-lubang kecil yang sengaja dibuat, serta detil lekuk pada setiap bagian ukiran, saya jadi membayangkan betapa pada "tempo doeloe" itu pengerjaan seni perkayuannya sudah begitu detil dan artisitik nyeni banget.
Dari dekat mimbar khatib saya mendongak ke atas, ke lantai 2 masjid. Meski atap Masjid Kurang Aso 60 'kuncup' ke atas, tetapi lantai 1, 2 dan 3 berbentuk bujur sangkar. Kepingin banget saya bisa naik ke lantai 2 dan 3. Lewat mana?
Tidak ada tangga kayu seperti yang ada di rumah kita. Kalau ada tangga kayak gitu, bisa enak naik-turun di dalam masjid ini. Terus, yang ada apaan? Untuk bisa naik ke lantai 2, ada tangga kayu sederhana yang menghubungkan lantai 1 dengan 2. Artinya, pagar pembatas di lantai 2 diberi spasi sebagai pintu masuk, tepatnya di shaf paling belakang.
Di lantai 2, suasananya sama mirip dengan di lantai 1. Berlantai kayu, tiang-tiang kayu yang menyembul dari lantai 1 ke lantai 2 dan terus ke lantai 3. Pagar pembatas sisi "luar" jamaah yang juga kayu dengan ukiran bubut kayu setinggi kira-kira 0,5 meter. Lagi-lagi, saya merasakan suasana hening, khusyu yang menggetarkan kalbu. Apalagi, pemandangan kayu demi kayu ini begitu klasik dan antik.
Caranya sama. Ada tangga kayu yang terdiri dari batangan kayu. Tidak lebar, dan jarak per anak tangga juga cukup lebar. Bedanya, anak tangganya cuma ada 5 saja. Ini seperti menandakan bahwa antara lantai 2 ke lantai 3, jarak ketinggiannya lebih rendah dibandingkan dengan lantai 1 ke lantai 2 (yang perlu 6 anak tangga). Sesudah menaiki 5 anak tangga (batang) kayu, kita bisa menyembul di lubang kotak yang ada di sisi belakang (shaf belakang) lantai 3.
Selain lantai kayu dan semua anak tangga membedakan antara posisi saya di lantai 2 dengan ketika ada di lantai 3 adalah tidak ada bagian atas kepala, sehingga saya bisa melihat jelas betapa tiang-tiang kayu (polos tanpa hiasan ukiran) memancang dan menjulang sampai ke atas. Belum lagi atap seng dengan rangka-rangka kayu penopangnya yang menambah kekaguman.Â
Juga, pembatas antar atap limas yang sengaja dibuat seperti jendela-jendela, sehingga udara dan cahaya menjadi tak terhalang. Macu, tiang utama yang paling menjadi pusat pertengahan masjid nampak menjulang ke puncak atap masjid. Macu inilah yang melambangkan pemimpin Alam Surambi Sungai Pagu pada waktu itu.
Masya Allah. Pemandangan di lantai 3 ini begitu menakjubkan!
Puas menjelajah dan menyaksikan suasana di seluruh lantai, saya tak lupa mengisi buku tamu dan mengisi kotak sumbangan sukarela yang tersedia di lantai 1.
Terdapat Makam Syekh Maulana Sofi bin Soleh
Di dekat Masjid Kurang Aso 60 ada makam Syekh Maulana Sofibin Soleh. Beliau ini seorang ulama penyebar agama Islam yang sangat dihormati di wilayah ini, karena selain menjadi imam, beliau juga yang memprakarsai berdirinya masjid.
Berdasarkan penelusuran Tim Labor Sejarah FIBA IAIN Padang, Masjid Kurang Aso 60 memang merupakan masjid tradisional Minangkabau tetapi bercorak arsitektur Hindu-Jawa abad ke-15 M. Belum ditemukan kapan pastinya tahun pembuatan masjid ini. Tetapi, berdasarkan informasi yang disampaikan Nuraini, suku Jambak-Koto Anyir yang mengutip cerita dari sang nenek, masjid ini sudah ada sebelum tahun 1733 M. Alasannya, karena rumah gadang miliknya (kaum Inyiak Talanai) dibuat pada tahun 1733 M, sedangkan pada waktu itu, Masjid Kurang Aso 60 pun sudah ada.
Selain itu, dengan menganalisa keberadaan makam Syekh Maulana Sofi yang terletak di area dekat mihrab masjid, maka bisa diyakini bahwa masjid sudah berdiri sejak sebelum keberadaan beliau. Syekh Maulana Sofi sendiri diperkirakan hidup antara tahun 1730-1818 M.
Menurut Ir Hasmurdi Hasan dalam tulisannya berjudul Falsafah Yang Terkandung Pada Arsitektur Masjid Kurang Aso 60 di Alam Surambi Sungai Pagu disebutkan,bangunan masjid memiliki konstruksi kayu dengan ukuran panjang 17 m, lebar 17 m dan tinggi 17 m. Angka 17 ini melambangkan jumlah rakaat shalat yang wajib dikerjakan setiap muslim dalam sehari semalam.
Atapnya berbentuk limas susun tiga, mirip dengan atap bangunan Klenteng Cina. Bahan atapnya, semula terbuat dari ijuk dan telah beberapa kali diganti seng. Atap limas bersusun tiga ini menjadi perlambang susunan masyarakat adat di Alam Surambi Sungai Pagu yang terdiri dari Suku, Paruik dan Anak Paruik. Sementara atap pada mihrab berbentuk puncak rumah gadang yang melambangkan adat Minangkabau.
Tonggak atau tiang kayu berjumlah 59 buah, pada bagian tengah terdapat tonggak paling besar ukurannya disebut tonggak macu (mercu). Seperti sudah disinggung sejak awal tulisan ini, angka 59 merupakan jumlah induak dan datuak setiap suku yang ada di Alam Surambi Sungai Pagu.
Mengenai jumlah tiga lantai di masjid ini, rupanya juga punya makna tersendiri, yaitu melambangkan tingkatan ajaran Islam: syari'at, hakikat dan ma'rifat. Kalau ada anak tangga sebanyak 6 batang kayu yang harus dilalui untuk naik dari lantai 1 ke lantai 2, maka angka 6 tersebut menyimbolkan jumlah Rukun Iman.
Sedangkan untuk naik ke lantai paling atas, sepertinya dulu tidak disediakan anak tangga. Tetapi dibuatkan 5 tekukan kayu pada tiang macu yang artinya, melambangkan jumlah Rukun Islam. Tekukan kayu di tonggak macu ini memang tidak mudah dipanjat sebagai simbol bahwa siapa saja yang ingin naik ke tingkatan ma'rifat harus tekun dan serius untuk mencapainya. [Wah, repot juga ya kalau enggak ada tangganya 'gitu]
Jumlah pintu masjid, menurut Ir Hasmurdi Hasan, ada 3 buah. Pintu utama ada di depan menghadap ke halaman, sedangkan 2 pintu lagi terdapat di sisi Utara dan Selatan. Pintu utama adalah tempat masuk tamu dan rajo. Pintu sebelah Utara tempat masuk suku Melayu dan Panai. Adapun pintu sebelah Selatan tempat masuk suku Kampai dan Tigo Lareh Bakapanjangan.
Bagaimana dengan tingkok atau jendela? Pada lantai 1, di dinding bagian depan terdapat 5 tingkok (2 tingkok disisi Utara pintu utama melambangkan rakaat Shalat Subuh, sedangkan 3 tingkok di sisi Selatan pintu utama melambangkan rakaat Shalat Maghrib). Subuh pada waktu pagi hari, Maghrib di sore hari digambarkan pada arah dari Utara ke Selatan, selain melambangkan sejarah keberadaan suku Melayu sebagai pendahulu suku yang ada.
Begitu juga tingkok yang ada di kedua sisi dinding Utara dan Selatan, masing-masing berjumlah 5 buah, juga melambangkan rotasi kehidupan manusia, waktu Subuh dan Maghrib berakhir ke arah mihrob.
Pada lantai 2 di dinding bagian depan terdapat 4 tingkok, begitu juga di dinding sisi Utara dan sisi Selatan, ini melambangkan jumlah 4 rakaat shalat wajib Dzuhur, Ashar dan Isya. Pada lantai 3 terdapat 2 tingkok melambangkan rakaat shalat sunnah. Sedangkan 1 tingkok yang terdapat di tingkat kubah yang dipergunakan tempat mengumandangkan adzan, melambangkan ketauhidan akan ke-Esa-an Allah SWT.
Eh iya, di halaman depan masjid agak sebelah kiri ada bangunan berukuran tak seberapa besar dengan gaya rumah adat Minangkabau. Di bangunan ini ada bedug yang tergantung di bagian tengah atasnya.
Begitulah pengalaman masuk ke Masjid Kurang Aso 60 yang kemudian memunculkan rasa takjub. Bukan saja soal bagaimana masjid ini dibangun dengan banyak makna filosofinya, tapi juga tentang semangat beribadah masyarakat muslim Minangkabau kala itu.
Dan memang, sudah semestinya masjid bersejarah ini terus terpelihara!
o o oOo o o
Baca juga tulisan sebelumnya:
"Saribu Rumah Gadang", Pesona Peradaban Nenek Moyang
"Ampiang Dadiah" nan Menggoyang Lidah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H