"Maksud Pemerintah dengan Kawasan Saribu (Seribu) Rumah Gadang ini adalah supaya rumah-rumah gadang yang ada di sini terawat. Kemudian mana-mana yang rusak dikembalikan seperti asalnya. Tidak diubah dan tidak diapa-apakan, hanya dibangun kembali sesuai seperti asalnya." (Susilawati, 68, pewaris/pengelola Rumah Gadang di Solok Selatan)
Penjelasan ini disampaikan Susilawati, pengelola salah satu rumah gadang yang ada di Kawasan Wisata Saribu Rumah Gadang (SRG) di Jorong Bariang Rao-Rao, Kenagarian Koto Baru, Kecamatan Sungai Pagu, Kabupaten Solok Selatan.
Lokasi Kawasan Wisata SRG di Solok Selatan berjarak sekitar 127 km (3 - 4 jam) dari Stadion Olahraga Agus Salim di Kota Padang. Rute perjalanan darat yang ditempuh adalah melintasi Jalan Raya Padang - Alahan Panjang.
Sedangkan bila melakukan perjalanan darat dari obyek wisata Jam Gadang di Bukittinggi melalui Jalan Raya Padang - Solok, berjarak tempuh sekitar 188 km, dan butuh waktu hingga 5 jam untuk sampai di SRG, destinasi wisata di Solok Selatan yang makin nge-hits.
Rumah gadang yang dimiliki Susilawati tak lain adalah milik kaum Suku Malayu Buah Anau (Datuak Lelo Panjang). Berdasarkan selebaran informasi yang ditempel dekat pintu masuk rumah, fungsi awal rumah gadang ini adalah menjadi tempat pengangkatan Khatib dan Datuk, tempat musyawarah pemangku adat, silaturahim anggota kaum, pernikahan dan kematian.
"Rumah gadang tradisional ini diperkirakan sudah ada sejak 1794," ujar istri dari Suhartono ini.
Untuk deskripsi sejarahnya, rumah gadang ini sudah diwariskan pada Datuak pemangku adata yang ke-5. Urutannya adalah:
- Rapun Datuak Lelo Panjang.
- Pel. Ambar Datuak Lelo Panjang.
- Asam Datuak Lelo Panjang.
- Nurdin Datuak Lelo Panjang.
- Azhar Datuak Lelo Panjang (13 Januari 1965 hingga kini) Â Â
Ketika  saya masuk ke dalamnya, terdapat dua anjung pada kedua sisinya. Ada  juga 5 almari yang sengaja dipasang menembus dinding kayu 8 kamar. Ada 1  kamar yang terdapat di anjung sebelah kiri, dan dimaksudkan untuk kamar  mempelai pengantin. Tiang bangunannya berjumlah 36 buah, 4 tiang ke  arah belakang, 9 tiang dari kiri ke kanan. Ada 2 pintu masuk, depan dan  belakang. Jendela kayunya ada 10, di mana terdapat 8 jendela pada sisi  depan, dan masing-masing 1 jendela pada sebelah kiri juga kanan.
"Tiang tonggak rumah gadang ini masih asli. Terbuat dari kayu berwarna hitam yang bahkan karena terlalu keras dan kuatnya bahwa tidak bisa dipaku. Ada yang menyebut ini sebagai Kayu Besi," jelas Susilawati sembari membuka sehelai kain batik yang membalut dan menutupi tiang utama tengah di dalam rumah.
"Rumah gadang ini tidak diperbolehkan untuk dijadikan tempat penginapan. Karena memang sedari awal fungsinya adalah tempat raja singgah dalam perjalanan dari Pasir Talang ke Abai Sangir," terang ibu dari 2 anak dan 6 cucu ini.
Sayangnya, menurut Susilawati, dapur dari rumah gadang ini sudah tidak ada lagi. Begitupun juga untuk fasilitas toilet apabila pengunjung atau wisatawan datang ke sini. "Makanya kami berharap Pemerintah bisa memberikan bantuan untuk proses mengembalikan keberadaan dapur rumah gadang ini, lengkap dengan membangun fasilitas mandi cuci kakus (MCK). Bukankah ini merupakan salah satu ikon wisata Solok Selatan, dan merupakan cagar budaya yang harus dipelihara sama-sama," harap Susilawati.
Harapan yang sama disampaikan Upik Pandu. Pengelola rumah gadang yang berada di tepi Jalan Raya Muara Labuh ini juga berharap pemerintah memberikan bantuan pemeliharaan dan pembangunan kembali bagian-bagian rumah gadang yang mengalami kerusakan akibat termakan usia.
"Harapan saya semoga rumah gadang ini terawat secara maksimal. Kalau bisa dapatlah kami ada  bantuan banyak, sebab kalau mengandalkan pribadi-pribadi untuk membangun agak susah juga. Bantuan dalam bentuk biaya atau bahan bangunan. Memang sekarang sudah ada bantuan dari pemerintah, tapi baru dikhususkan kepada rumah gadang yang kondisinya mengalami kerusakan. Kalau rumah gadang saya ini masih bisa dipergunakan," tutur ibu dari 6 anak dan 7 cucu ini. Â
Berdasarkan tugu informasi yang ada di halaman depan dan dipampang oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Solok Selatan, rumah gadang yang dikelola Upik Pandu adalah Rumah Gadang Datuak Djopanjang.
Rumah Gadang Datuak Djopanjang juga disebut Rumah Gadang Surau karena bentuk bangunannya seperti surau. Rumah Gadang yang membawahi Suku Panai ini dipelihara oleh generasi ke-4 dan dikepalai oleh Datuak ke-5 bernama Nusatria Datuak Djopanjang (2017).Â
"Waktu zaman dulu, rumah gadang ini sering dipakai rapat orang-orang dahulu untuk membicarakan agama. Sebelum ada masjid, orang-orang shalat di rumah gadang ini. Kalau rumah gadang orang biasa, biasanya ada kamar. Di rumah gadang ini tidak ada kamar, kecuali hanya ada di anjung kiri dan kanan saja," jelas perempuan berusia 64 tahun ini.
Ketika masuk ke rumah gadang Upik Pandu, saya melihat sendiri ada dua kasur besar yang sudah siap dipasang di sisi sebelah kanan rumah. Lalu di atasnya atau pada bagian anjung sisi kanan ada kamar lagi yang hanya menggunakan tirai sebagai penutup. Sedangkan pada anjung sebelah kiri ada dua kamar siap huni yang dilengkapi pintu kayu serta bisa dikunci. Beralaskan karpet merah, saya melihat ada 1 televisi tabung dan 1 kipas angin yang melengkapi fasilitas rumah gadang sebagai home stay ini. Lampu penerangan listrik terasa cukup karena jendela kayu dan kaca yang ada di rumah gadang ini cukup membawa masuk cahaya terang dari luar.
Oh ya, untuk menuju ke pintu masuk rumah gadang ini, tangganya sudah bukan kayu lagi, tetapi sudah dibangun memakai batu juga plesteran semen. Begitu naik ke bagian depan rumah gadang, terdapat 4 kursi dan 2 meja tamu. Di salah satu meja dipajang copy lembaran piagam penghargaan untuk SRG sebagai Juara 1 Kampung Adat Terpopuler pada ajang Anugerah Pesona Indonesia 2017 yang diselenggarakan Kementerian Pariwisata RI.
Kawasan SRG semakin menjadi tujuan wisata favorit, selain karena terpilih sebagai Kampung Adat Terpopuler 2017, juga karena Presiden Jokowi sudah menugaskan Kementerian PUPR untuk melakukan revitalisasi atas Kawasan SRG yang merupakan cagar budaya di Solok Selatan.
"Saya ingat betul waktu naik Gunung Kerinci tahun 1983 lewat ke Solok Selatan. Kekaguman saya akan rumah tradisi, rumah adat yang sangat cantik dan indah," ujar Presiden ketika hadir pada Puncak Peringatan Hari Pers Nasional, pada Jumat (9/2) di Kota Padang.
Ketika berada di rumah gadang yang dikelola Upik Pandu, saya melihat ada banner terpasang yang bertuliskan informasi kelanjutan perintah revitalisasi tersebut. Tapi, bukan dari Kementerian PUPR melainkan Dinas Pariwisata Kabupaten Solok Selatan. Isinya informasi bahwa sejak 26 September 2017 hingga 90 hari ke depan, dilakukan kegiatan pembangunan dan pengembangan serta pemeliharaan obyek wisata SRG. Proyek ini menelan biaya Rp 260.501.000,-
Saya juga melihat sejumlah pekerja sedang memperbaiki selokan yang ada di pinggir sebelah kiri jalan masuk menuju Kawasan SRG. Selain itu, papan nama dan tugu informasi juga sepertinya belum selesai seluruhnya selesai dipasang. Begitupun "Toko Mimi" yang menjajakan oleh-oleh khas Solok Selatan - di dekat rumah gadang milik Susilawati - juga terlihat masih baru.
Oh ya, di seberang tulisan besar Kawasan Saribu Rumah Gadang -- juga seberang Masjid Raya Koto Baru - yang ada di tepi Jalan Raya Muara Labuh, berdiri bangunan tak seberapa besar yang merupakan kantor informasi pariwisata. Sayangnya, ketika saya berada di sana, kantor ini terlihat tutup. Padahal, pasti banyak informasi yang ingin diperoleh dari staf kantor informasi wisata ini. Apalagi, banyak rumah gadang yang menarik untuk ditelusuri fungsi awal penggunaan, silsilah kepemilikan dan lainnya.
Kabarnya, sesuai pendataan yang dilakukan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat, di kawasan ini terdapat 125 rumah gadang dan sejumlah bangunan yang layak ditetapkan sebagai benda cagar budaya.
Satu, Rumah Gadang Istano Daulad Yang Dipertuan Bagindo Sultan Besar Tuanku Rajo Disambah. Lokasinya ada di Pasir Talang, Sungai Pagu atau 5 km (10 menit menggunakan mobil) dari Kawasan SRG ke arah Selatan.Â
Berdasarkan informasi yang terpampang di halaman depan - bersebelahan dengan 3 makam yang ada -, Istano Daulad dipimpin oleh Raja pertama yaitu Inyiak Syamsudin Sadewano Bagombak Putiah Bajangguik Merah. Istano ini membawahi Suku Kaum Malayu secara spesifik dan semua suku yang ada di Sungai Pagu secara umum. Berdirinya diperkirakan pada rentang tahun 1636 - 1642 Masehi.
Pada saat Gunung Krakatau meletus di tahun 1883, Istano Daulad ini sempat runtuh, untuk kemudian dibangun kembali. Tetapi, pada 1942 - ketika masa kepemimpinan Daulad yang ke-7 yakni Abdul Latief -, rumah gadang ini kembali runtuh akibat guncangan gempa bumi.
Selanjutnya, pada 1 Agustus 1956, Istano Daulad dipindahkan ke Pasir Talang dengan alasan keluarga Daulad di Kampung Malayu tidak berkembang alias punah. Ketika saya dipersilakan masuk ke rumah gadang ini oleh pewaris sekaligus penghuninya yaitu Puti Dewi Retna, ada banyak dijumpai peninggalan-peninggalan bersejarah mulai dari Inyiak Syamsudin Sadewano sampai Zulkarnaen. Diantaranya yang paling nampak jelas adalah alat-alat musik tradisional Minangkabau yang tersimpan apik dan rapi dalam almari kaca.
Oh ya, ketika saya sowan ke rumah gadang ini, salah satu yang membuat kagum adalah ukiran kayu yang menghias bagian luar sisi depan. Bukan saja ukiran kayunya yang detil dan berselera seni tinggi, tetapi juga warna-warninya yang padu padan dan masih sangat terpelihara. Kebanyakan warna yang dipakai adalah hitam, coklat tua, kuning keemasan, biru muda, hijau muda, juga putih.
Dalam buku "Ragam Rumah Adat Minangkabau : Falsafah, Pembangunan dan Kegunaan" karya Ir Hasmurdi Hasan, disebutkan tentang ragam ukiran. Bangunan rumah adat Minangkabau memiliki ukiran yang bamego-mego. Selain sebagai hiasan untuk menambah keindangan, ukiran juga menunjukkan status ekonomi si pemilik yang berasal dari golongan kaum berada. Akan tetapi tidak menggambarkan martabat sosial dalam strata pemerintahan adat Minangkabau.
Ukiran rumah adat Minangkabau kaya akan variasi bentuk dan merupakan seni ukir yang dinamis serta dapat mengikuti perkembangan zaman. Motif-motif ukiran banyak diadopsi dari bentuk-bentuk yang terdapat di alam berupa flora, fauna, peralatan sehari-hari dan makanan. Hal ini sesuai dengan falsafah hidup orang Minangkabau, yaitu Bintang di langik kapadoman, Alam takambang jadi guru.
Dua, Rumah Gadang Istano Rajo Daulat Yang Dipertuan Tuanku Rajo Bagindo Raja Adat Alam Surambi Sungai Pagu, Pucuk Pimpinan Kampai Nan Duo Puluah Ampek, Balun. Lokasinya ada di Jorong Balun, Kecamatan Koto Tarik Gadang. Atau, kalau dari Kawasan SRG Koto Baru sekitar 12 km (19 menit mengendarai mobil) ke arah Utara. Dahulunya, rumah gadang ini merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu dengan rajanya Tuanku Rajo Balun.
Berdasarkan informasi yang dipampang Dinas Pariwisata setempat disebutkan bahwa, Tuanku Rajo Bagindo Istano Rajo Balun telah berdiri lebih dari 1 abad dengan nama Rumah Gadang Daulad Yang Dipertuan Tuanku Rajo Bagindo Raja Adat Alam Surambi Sungai Pagu, Pucuk Pimpinan Kampai Nan Duo Puluah Ampek.
Pada 1939, Belanda melakukan penyerangan dan membumihanguskan rumah gadang karena menganggap istano ini menjadi basis tentara RI dibawah pimpinan Mr Syafrudin Prawiranegara. Konon penyerangan tersebut tidak berhasil karena pada saat itu istano ini dijaga oleh makhluk tak kasat mata yang disebut "Inyiak" yang berwujud harimau serta ular yang menghambat besarnya kobaran api sehingga tidak habis terbakar dan hanya tiga tonggak saja yang terbakar. Bukti kebakaran tersebut masih bisa dilihat sampai sekarang.
Di rumah gadang Istano Rajo Balun ini ada 2 anjungan yang pada sisi kiri merupakan tempat duduk raja, sedangkan anjungan sisi kanan adalah tempat duduk permaisuri. Ada 5 jendela di istano ini sebagai perlambang Rukun Islam, dan 6 tiang yang merupakan lambang Rukun Iman. Saat ini yang mendiami istano adalah generasi ke-16 yaitu Puti Ros Dewi Balun.
Adat Penggunaan Rumah Gadang
Ir Hasmurdi Hasan dalam bukunya "Ragam Rumah Adat Minangkabau : Falsafah, Pembangunan dan Kegunaan" menyebutkan 4 adat penggunaan Rumah Gadang, yaitu:
Pertama, penggunaan sebagai Harta Pusaka. Rumah gadang diwarisi dan dimiliki oleh kaum ibu yang disebut Limpapeh, dihuni bersama dengan suami beserta anak perempuan, dan suami anaknya. Dasar kekeluargaan dimulai di rumah tangga, ibu yang diberi nama "Limpapeh rumah nan gadang" adalah lambang keturunan. Oleh karena itu, orang sepesukuan dilarang kawin mengawini Ibu sebagai "Amban Paruak" menguasai harta pusaka dan rumah gadang, sedangkan saudara laki-laki yang disebut "Tungganai" menyandang pusaka gelar penghulu adat atau sako.
[Catatan: Oh ya, sekadar tambahan saja, mendengar kata"Limpapeh", teringat Jembatan Limpapeh yang ada di Bukittinggi. Jembatan ini menjadi salah satu destinasi wisata karena berada satu area denganBenteng Fort De Kock sertaKebun Binatang Kinantan. Berdiri di atas Jembatan Limpapeh ini, pengunjung bisa melihat bagian Kota Bukittinggi beserta alam pegunungannya dari ketinggian]
Tonggak tuo di rumah gadang adalah sandaran duduk Limpapeh pada setiap dilangsungkan upacara adat baik pesta maupun dalam keadaan berkabung dan berduka cita, letak tonggak tuo di sisi luar kamar yang terletak pada bagian pangkal rumah gadang, disinilah kamar tidurnya Limpapeh.
Semua kamar rumah gadang diperuntukkan untuk kaum perempuan, anak perempuan yang pertama menikah menempati kamar paling ujung yang dinamai Biliak Bagaluang, dan akan pindah ke kamar sebelahnya ke arah pangkal jika adik perempuannya menikah, dan adiknya yang pengantin baru tersebut gantian menempati Biliak Bagaluang, begitu seterusnya.
Tiap ruang rumah gadang terdiri dari 3 -- 4 lanjar yang masing-masing punya fungsi sesuai dengan penggunaannya sehari-hari, yaitu:
- Lanjar belakang berfungsi sebagai kamar tidur atau biliak.
- Lanjar tengah berfungsi sebagai ruang makan atau ruang keluarga.
- Lanjar tepi berfungsi sebagai ruang tamu.
Ketiga, penggunaan pada Upacara Adat. Rumah gadang yang ruangannya berujung dan pangkal, bentuk ruangan luas terbuka, dari kiri ke kanan dibatasi tonggak yang disebut ruang dan dari depan ke belakang dibatasi tonggak disebut lanjar. Pada dasarnya ruangan dibagi 2 bagian, yaitu bagian ujung diperuntukkan bagi tamu (alek) lain suku dan bagian pangkal untuk kaum keluarga dan saudara sepesukuan pemilik rumah (pangka). Letak tangga sangat menentukan posisi duduk di sebuah rumah gadang pada acara-acara adat.
Keesokan harinya, pagi sebelum matahari terbit, Limpapeh berjalan dari rumahnya menuju padi yang telah diikat tersebut, berjalan meniti pematang menyibak padi di sawah yang masih basah berembun, dengan memegang suluh yang terbuat dari Nyamu Kelapa yang dibakar dan mengeluarkan asap.
Sepanjang perjalanan ke tempat padi yang akan dituai dari rumah, Limpapeh dilarang bertegur sapa dengan siapapun bila berpapasan dengan orang. Berbekalkan sebuah ruai atau ani-ani setibanya di lokasi padi yang terikat tersebut dituai sebanyak satu gamar atau segenggaman tangan dan diletakkan di dalam gendongan kain panjang seperti layaknya menggendong bayi, padi tersebut dibawa pulang ke rumah.
Sesampainya di batu tapaan di depan tangga disambut oleh anak perempuan yang tertua sambil mengucapkan "naiaklah puti ditangkok rajo". Setelah itu padi tersebut dibawa ke dalam rangkiang dan diletakkan di lantai bagian sudut kanan dekat jendela rangkiang dan ditutupi dengan tempurung kelapa bermata tiga. Selanjutnya rangkiang dapat diisi dengan hasil panen sepenuhnya.
o o o O o o o
Baca juga tulisan lainnya:
Berkunjung ke Pabrik Kopi Robusta di Tabek Patah, Sumatera Barat
"Ampiang Dadiah" nan Menggoyang Lidah
Takjub Saat Masuk ke Masjid Kurang Aso 50
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H