Saya tertegun membaca Tips Otomotif pada sebuah situs jual beli mobil bekas.
Pesannya mudah dimengerti. Selain menginformasikan kepada pemilik mobil untuk jangan sembarangan memilih dan menggunakan bahan bakar. Sesuaikan dengan kondisi mobil, begitulah intinya.
Selengkapnya, tips tersebut begini: Â
Saat ini sudah banyak yang beralih dari bahan bakar Premium ke Pertalite yang memiliki oktan sedikit lebih tinggai yaitu 90. Pertalite juga memiliki spesifikasi yang baik karena tidak mengandung timbal, mangan dan besi.
Pertalite baik digunakan pada mesin mobil dengan rasio kompresi 1:9-10. Lalu apakah mobil kamu yang selama ini menggunakan bahan bakar Pertamax bisa beralih ke bahan bakar Pertalite?
Hal yang harus kamu pastikan adalah dengan membaca buku panduan di mobilmu, apakah bisa menggunakan bahan bakar dengan oktan 90 atau harus menggunakan oktan yang lebih tinggi dari 90. Apabila rasio kompresi mobilmu lebih besar dari 10:1, disarankan untuk tetap menggunakan bahan bakar beroktan lebih dari 91 seperti Pertamax atau Pertamax Plus.
Untuk membantu menekan angka polusi yang semakin bertambah setiap harinya, Pemerintah telah meresmikan standar emisi kendaraan menjadi Euro4 yang sebelumnya adalah Euro 2. Lalu apa dampaknya untuk mobil kamu?
Kamu tak perlu bingung! Dari segi perawatan mobil sih tidak ada perubahan, lakukan seperti biasa saja. Hal yang perlu diperhatikan dan lakukan adalah penggunaan bahan bakar yang HARUS disesuaikan dengan kebutuhan mesin agar mesin bisa bekerja maksimal dan tidak menyebabkan polusi yang berlebihan.
Membaca dua tips ini, pikiran saya langsung mengambil kesimpulan. Situs jual beli mobil bekas ini saja begitu peduli dengan menginformasikan sekaligus menyarankan penggunaan bahan bakar yang standar emisi kendaraannya rendah. Sehingga dampaknya akan membuat mesin jadi lebih prima plus lebih ramah lingkungan. Dengan begitu, pastilah hal yang sama juga dilakukan oleh situs jual beli mobil-mobil baru. Karena logikanya, mobil-mobil keluaran baru pastinya sudah semakin peduli akan standar gas buang (emisi) kendaraan. Artinya, mobil-mobil anyar ini sudah tentu "mensyaratkan" penggunaan bahan bakar yang mampu menekan emisi.
Standar Euro bukan berarti standar untuk meningkatkan performa mesin semata, tapi lebih kepada apa dampak negatif emisi kendaraan terhadap lingkungan. Dengan begitu, penggunaan bahan bakar diharapkan mampu memperkecil kadar bahan pencemar emisi kendaraan.
Standar emisi yang diterapkan negara-negara Uni Eropa sejak 1988 adalah Euro0. Berlanjut kemudian, dengan mewajibkan Euro1 pada 1992. Lalu secara bertahap, Uni Eropa memperketat peraturan sekaligus menaikkannya menjadi Euro2 (1996), Euro3 (2000), Euro4 (2005), Euro5 (2009) dan Euro6 (2014).
Penerapan standar emisi tersebut diikuti dengan peningkatan kualitas BBM. Contohnya Euro1 mengharuskan mesin diproduksi dengan teknologi yang hanya menggunakan bensin tanpa timbal. Euro2 untuk mobil diesel harus menggunaan solar dengan kadar sulfur di bawah 500 ppm. Pengurangan lebih banyak kadar sulfur di mesin bensin dan solar diatur dalam Euro3, Euro4; dan untuk truk diesel diatur dalam Euro 5.
Ada juga standar lain, yaitu Environmental Protecton Agency (EPA) yang diterapkan oleh industri otomotif Amerika Serikat. Tapi pada praktiknya, produsen kendaraan bermotor banyak yang berkiblat pada standar Euro.
Karbon Dioksida (CO2)
Karbon Monoksida (CO)
Nitrogen Oksida (NOx) yang dapat menjadi sumber karsinogenik atau penyebab timbulnya kanker.
Karbon Monoksida (CO)
Hidro Karbon (HC)
Volatile Hydro Carbon (VHC)
Belerang Oksida (SO2)
Oksidan
Klorin
Timah Hitam (Pb)
Dan partikel beracun lainnya.
Kenapa penting melakukan sosialisasi standar emisi Euro - utamanya Euro4 -- ini, adalah karena Indonesia masih akrab dengan Euro2. Dasarnya adalah KepMen LHK No.141 tahun 2003 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor Yang Sedang Diproduksi (Current Production).
Kemudian disusul Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia tanggal 10 Maret 2017 Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, Kategoti N, dan Kategori O, maka mulai tahun 2018 Pemerintah Indonesia menetapkan BBM Euro4 secara bertahap hingga 2021.
Pertimbangan percepatan penerapan Euro4 didominasi pada faktor pencemaran lingkungan, yakni alasan bahwa sebanyak 70 -- 80% penyebab polusi udara di perkotaan adalah akibat emisi kendaraan. Makanya, dengan memakai Euro4 akan mengurangi secara signifikan hidrokarbon di udara, sekaligus membuat efisiensi bahan bakar.
Sementara data Greenpeace Indonesia menyebutkan, pada semester pertama 2016, tingkat polusi udara Jakarta sangat mengkhawatirkan yaitu berada pada level 4,5 kali dari ambang batas yang ditetapkan World Health Organization (WHO), dan tiga kali lebih besar dari standar yang ditetapkan Pemerintah Indonesia.
Buruknya kualitas udara di ibukota ini bisa dirlihat dari Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) yang angkanya lebih dari 100. ISPU adalah laporan kualitas udara kepada masyarakat yang menerangkan seberapa bersih atau tercemarnya kualitas udara dan bagaimana dampaknya terhadap kesehatan setelah menghirup udara tersebut selama beberapa jam/hari/bulan.
Udara perkotaan tergolong baik bila memiliki angka ISPU 0 - 50 (hijau), sedangkan pada angka 51 - 100 (biru), tidak sehat pada angka 101 - 199 (kuning), sangat tidak sehat pada 200 - 299 (merah), dan berbahaya pada angka di atas 300 (hitam).
Selain itu, percepatan penggunaan Euro4 adalah atas pertimbangan teknologi. Dalam hal ini, para produsen mobil Nasional yang terpaksa menerapkan dua standar produksi. Yaitu, pemakaian Euro4 untuk produksi mobil yang dikhususkan untuk pasar ekspor, sedangkan Euro2 demi memenuhi pangsa pasar dalam negeri.
Masih terkait dengan pertimbangan teknologi, tapi kali ini lebih kepada pertimbangan ekspor. Apabila Euro4 diberlakukan, maka produsen mobil dapat leluasa melakukan persaingan ekspor, sekaligus menjawab tantangan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Mengapa? Ya, karena negara ASEAN sudah menggunakan standar Euro4.
"Maka mari kita move on, mulailah menggunakan produk berkualitas Pertamina. Misalnya, meninggalkan Premium dan beralih ke Pertalite maupun Pertamax. Pertamax bisa membuat kendaraan bisa melakukan perjalanan lebih panjang, lebih ramah lingkungan dan mesin lebih awet. Meskipun memang secara harga agak sedikit lebih mahal. Dari sisi konsumen juga menguntungkan karena bandingkan saja penggunaannya: bila menggunakan Premium, maka perbandingannya adalah 1 liter : 10 km, sedangkan Pertamax 1 liter : 12 km, dan Pertamax Turbo 1 liter : 13 km," ujar Adiatma Sardjito, Vice President Corporate Communication Pertamina, dalam satu kesempatan, baru-baru ini di Jakarta.
"Bahkan boleh dibilang, dari sisi lingkungan dan bisnis, Pertamina seolah ditekan terus-menerus untuk memproduksi BBM dengan standar semakin tinggi. Kalau ini tidak diindahkan maka produsen kendaraan bermotor tidak akan mau tahu apakah Pertamina sudah menyiapkan BBM berstandar tinggi atau belum, mereka akan terus saja memproduksi kendaraan bermotor dengan spesifikasi yang mengharuskan penggunanya menggunakan BBM standar tinggi," ujar Adim, sapaan akrabnya.
Apa yang disampaikan Adim terbukti!
Belum lama ini, negara-negara ASEAN bekerjasama di bidang otomotif, dengan melakukan harmonisasi standar produk otomotif untuk memastikan keamanan, kualitas dan perlindungan lingkungan terhadap produk kendaraan yang diproduksi dan beredar di wilayah regional ini.
Langkah ini diwujudkan melalui pembentukan Kelompok Kerja Produk Otomotif atau Automotive Product Working Group (APWG) sejak 2005. "Guna mencapai sasaran itu, tugas APWG adalah menyusun ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Type Approval for Automotive Products atau ASEAN Automotive MRA," kata Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika yang juga Chairman APWG di Jakarta, pertengahan Oktober 2017 kemarin.
Seperti dimuat gaikindo.or.id, regulasi tersebut diharapkan mampu menciptakan pasar yang terintegrasi sekaligus mengurangi hambatan teknis untuk perdagangan di sektor otomotif melalui harmonisasi persyaratan teknis. Selain itu, untuk memfasilitasi negosiasi dalam perjanjian bersama antara anggota ASEAN dengan negara-negara lain demi mendapatkan pengakuan atas hasil penilaian kesesuaian.
Kerjasama kawasan ini jelas strategis, karena mengutip data ASEAN Automotive Federation (AAF), selama Januari - Juni 2017, total produksi mobil se-ASEAN mencapai 1,97 juta unit. Sedangkan, total penjualan mobil sepanjang semester I 2017 mencapai 1,61 juta unit. Jumlah ini meningkat sekitar 5,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebanyak 1,53 juta unit.
Dukungan dari Pelaku Industri Otomotif
Dukungan terhadap langkah Pemerintah untuk memberlakukan penerapan standar emisi Euro4 pada 2018 datang dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo). "BBM dengan kualitas di bawah Euro4 akan membuat mobil rusak dan sulit diperbaiki. Jadi jangan sampai ada orang nakal menggunakan bahan bakar tak sesuai spesifiaksi. Selain merusak mobil, BBM di bawah Euro4 juga menciptakan polusi yang merusak kesehatan manusia," kata Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara.
Akan tetapi, Gaikindo mengingatkan, bahwa regulasi tadi sekaligus mendorong beberapa pemangku kepentingan (stakeholder)untuk memastikan ketersediaan bahan bakar minyak (BBM) dengan spesifikasi yang memenuhi standar emisi Euro4 - Research Octane Number (RON) 92 ke atas untuk jenis bensin, dan kandungan belerang (sulfur) di bawah 50 par per million (ppm). Penyediaan BBM dengan kualitas standar emisi Euro4 begitu urgent mengingat dampaknya secara teknis sangat sensitif.
Menjawab harapan tentang kepastian penyediaan BBM dengan spesifikasi standar emisi Euro4, Pertamina sendiri sadar bahwa, membangun kilang membutuhkan biaya investasi besar, teknologi tinggi, dan yang pasti tidak seperti membangun candi dalam dongeng yang semalam saja pun bisa rampung. Tidak!
Dalam kaitan menunaikan dua tugasnya itulah, Pertamina kini terus mempersiapkan lima kilangnya untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan bahan bakar berkualitas tinggi. Kilang-kilang tersebut adalah:
Refinery Development Masterplan Program(RDMP) Balikpapan tahap 1 dan 2, yang akan menghasilkan kualitas bahan bakar Euro5. Target penyelesaiannya untuk tahap 1 pada 2021, dan tahap 2 pada 2025 mendatang.
RDMP Balongan yang bakal menghasilkan kualitas bahan bakar Euro5, dan diperkirakan rampung pada 2023.
Grass Root Refinery (GRR) Tuban(joint venture dengan perusahaan minyak Rosneft asal Rusia, dengan - komposisi kepemilikan saham - bagian Pertamina = 55%), yang segera menghasilkan kualitas bahan bakar Euro5, dan selesai pada 2024.
RDMP Cilacap(joint venture dengan Saudi Aramco, dengan - komposisi kepemilikan saham - bagian Pertamina = 55%) yang akan menghasilkan kualitas bahan bakar Euro5. Prediksinya selesai pada 2023.
GRR Bontang (dalam proses pemilihan mitra). Kilang ini akan memproduksi kualitas bahan bakar Euro4 dan 5, serta diperkirakan selesai pada 2025.
Rasanya, pengerjaan lima kilang ini sedikit banyak sudah mampu membawa harapan positif untuk menerapkan kebijakan penggunaan BBM dengan emisi berstandar Euro4 juga 5 di Indonesia.
Memang, untuk beralih dari Euro2 ke Euro4 butuh masa transisi. Tetapi selayaknya kita semua mulai move on. Mengganti BBM lama yang biasa kita pakai untuk beralih ke BBM dengan standar emisi lebih baik. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H