Praktik membatik ternyata juga bisa dikaitkan dengan curahan kasih sayang seorang ibu. Enggak percaya? Nah, mumpung masih momentum peringatan Hari Ibu mari kulik filosofi membatik yang menggambarkan cinta ibu kepada buah hatinya.
Seperti kita tahu, proses membatik diawali dengan menyiapkan kain putih bersih, membuat motif atau pola, menyanting, mewarna dan melorot. Sama halnya dengan karya batik, setiap bayi yang terlahir dari rahim seorang ibu, tentu dengan keadaan polos.
Awalnya, bayi tersebut akan diberi pola oleh ibunda tercinta. Kemudian semakin bertumbuh, akan dididik oleh sang ibu, misalnya tentang bagaimana cara berjalan, berbicara, cara makan-minum dan sebagainya.
Selanjutnya, sama seperti proses membatik yakni menyanting, yakni memberi perintangan supaya kain putih bersih tadi tidak tercemar dengan noda dan hal yang tak patut lainnya. Proses menyanting ini mirip seperti yang dilakukan seorang ibu dalam menjaga buah hatinya, agar tidak terkena kotoran, noda dan ekses negatif dari lingkungannya.
Sebagai proses membatik paling buncit adalah merebus kain yang sudah dicanting dan diberi warna tadi, agar supaya malam yang tadinya melekat jadi tidak berbekas. Sehingga yang tersisa adalah selembar bekas kain putih bersih nan polos yang sudah bermotif dan berwarna sebagai bekas jiwa kita yang sejak semula adalah polos.
Kain polos bersih tadi pun sudah berubah menjadi kain batik indah yang berwarna-warni dengan motif maupun pola yang luar biasa bagusnya. Kondisi demikian mirip dengan kondisi seorang bayi terlahir polos, yang kemudian mendapat bimbingan dan kasih sayang dari ibu (dan bapak), sehingga berubah menjadi kain indah yang penuh warna-warni.
Penuturan filosofi proses membatik dan curahan kasih sayang ibu ini sengaja diingatkan oleh Budi Darmawan, dalam acara peringatan Hari Ibu bersama komunitas perempuan pegiat membatik di sanggar batik ini. Memilih tema "Ibu ... ini batik untukmu", Budi Darmawan yang juga Ketua RT 002 RW 011 di Kompleks Kembang Larangan ini juga menjelaskan, bahwa peringatan Hari Ibu kali ini terbilang spesial karena sekaligus menjadi hari peresmian berdirinya Sanggar Batik Kembang Mayang.
Peresmian dilaksanakan secara sederhana, dimana Damiyati selaku Camat Larangan membubuhkan tandatangan menggunakan canting di atas kain batik bertuliskan Sanggar Batik Kembang Mayang, dengan disaksikan Lurah Larangan Selatan beserta semua jajarannya.
Ya benar, "Kembang Mayang" lahir sejak 2017. Ketika itu, sejumlah ibu di Kompleks Kembang Larangan ini memenuhi hasrat menimba ilmu membatik di Rumah Batik Palbatu. Kebetulan, Budi Darmawan merupakan salah seorang pendiri rumah batik yang beralamat di bilangan Tebet, Jakarta Selatan itu.
Hasilnya? Perlahan tapi pasti. Sekarang ini, sudah banyak siswa dan ibu-ibu dari berbagai wilayah sekitar datang untuk belajar membatik di "Kembang Mayang".
"Jujur, ini sangat membanggakan kami semua. Anak-anak sekolah dan kaum ibu semakin banyak yang datang belajar membatik di sini. Malah ada yang dari kawasan BSD City. Jumlahnya sudah lebih dari 100 peserta yang datang belajar membatik di sini," bangga Farah, salah seorang pegiat membatik yang juga termasuk pionir "Kembang Mayang".
Sementara itu, Zulifni Adnan, Ketua Sanggar Batik "Kembang Mayang" mengatakan dalam sambutannya, sudah ada empat ibu pembatik di sanggar ini yang sudah memperoleh Sertifikat Kompetensi Pembuatan Batik Tulis. Keempat ibu itu adalah Farah, Aminarti, Dewi dan Yeti. Empat sertifikat kompetensi yang ditandatangani Ir Subagyo Sudjono Putro MM selaku Direktur Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) ini pun, langsung diserahterimakan kepada yang bersangkutan. Ada juga penyerahan sertifikat penghargaan untuk sejumlah ibu lainnya, yang dianggap berjasa melakukan gerakan perintisan membangun lingkungan sosial.
Makna Motif "Kembang Mayang"
Dalam tulisan sebelumnya di Kompasiana tentang Sanggar Batik "Kembang Mayang", masih belum jelas ditemukan jawaban terkait apa dan bagaimana ikon motif yang disebut Kembang Mayang itu. Tetapi kini, Budi Darmawan tanpa ragu menjelaskan makna motif Kembang Mayang yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan seluruh pegiat komunitas sanggar batik.
Motifnya bergambarkan bunga dengan 9 sulur. Bunganya seperti setengah lingkaran dengan bulatan besar sebagai pusat tengahnya. Apa saja maknanya? Begini ...
Dilanjutkannya, masyarakat yang bahagia juga tercermin dari sulur utama yang menggambarkan kegiatan membatik yang mengedepankan kejujuran dalam berkarya, kesederhanaan dan berkarya bagi kemaslahatan bersama (Honesty, Simplicity, Integrity). "Sedangkan bulatan besar yang merupakan pusat bunga adalah cerminan masyarakat yang patuh terhadap aturan, saling menghormati, sesuai dengan ajaran agama yang dijalankan dengan saling menghargai dan bertoleransi (Respect and Tolerance)," ujarnya.
Menurut Budi Darmawan, dalam penerapannya motif diterapkan secara berulang yang membentuk keteraturannya, indah secara estetika dan bisa menggambarkan optimisme dan selalu berpikir positif yang akan menghasilkan karya yang bermanfaat, selalu berusaha untuk menjadi individu dan masyarakat yang bahagia (Happy and Optimistic)," urainya mantap.
Oh ya, Camat Larangan Damiyati dalam sambutannya menyatakan dukungan dan kebanggaannya atas lahir dan semakin besarnya Sanggar Batik "Kembang Mayang". Ia berharap, produk batik dari Larangan Selatan ini bisa merambah ke pasar yang lebih luas, sekaligus sanggar ini menjadi lokasi Kampoeng Batik Kota Tangerang.
Terus gimana dengan rencana pembangunan sanggar batik?
"Sebagai pengumpan dan dukungan, saya sumbang 25 zak semen untuk pembangunannya," ujar Camat Damiyati yang langsung disambut tepuk tangan meriah para hadirin.
Semoga terus maju dan sukses Sanggar Batik "Kembang Mayang" ...
o o O o o
Baca juga:
Lahirlah, Kampung Batik Kembang Mayang
Selamatkan Batik Indonesia dari Batik Tiruan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H