Siapa lagi yang mau memajukan Kota Tangerang Selatan (Tangsel), kalau bukan warga masyarakatnya sendiri. Pikiran inilah yang salah satunya melandasi niat Panitia Festival Industri Kreatif Keranggan menyelenggarakan Lomba Fotografi.Â
Mengambil tema 'Sungai Cisadane dan Local Pride', panitia mencatat 50 peserta antusias mengikuti lomba pada Rabu, 6 Desember kemarin. Sedangkan festivalnya, berlangsung pada 5 -- 7 Desember di lokasi Ecowisata Keranggan yang kini terus dikembangkan Pemkot Tangsel.
Keranggan adalah 1 dari 6 kelurahan yang ada di Kecamatan Setu, Tangsel. Lainnya adalah Kelurahan Setu, Muncul, Babakan, Bakti Jaya dan Kademangan. Dari 6 kelurahan ini, luas Keranggan termasuk yang paling kecil, 1,70 km2. Terluas, Kelurahan Setu dengan 3,64 km2.
Biarpun wilayahnya sempit tapi Keranggan justru jadi pionir untuk geliat membangun ekonomi kerakyatan. Usaha Kecil Menengah (UKM) menjamur bak cendawan di musim hujan. Mulai dari pengolahan Kacang Sangrai, Opak Singkong, Keripik Pisang, kue kering Kembang Goyang dan masih banyak lagi.
Tulisan soal bisnis Kacang Sangrai dan Keripik Pisang produksi UKM Keranggan, sudah pernah saya tulis di Kompasiana. Posisi Keranggan sendiri, kalau dari arah Pamulang, terus saja menuju ke Muncul, dan ketika sampai di perempatan Kampus ITI Serpong, masih lurus lagi ke Jalan Muncul lalu Jalan JLS menuju ke Cisauk - Tangerang.
Nah, kaitannya dengan lomba fotografi, sentra-sentra produksi UKM ini jualah yang menjadi target bidikan lensa-lensa kamera milik para peserta. Sesudah jam makan siang, para peserta yang berkumpul di Saung Cisadane -- sisi kiri jembatan yang melintasi Sungai Cisadane dan menuju wilayah Cisauk, Tangerang -- mulai bergerak menuju lokasi hunting foto.
Panitia rupanya sudah membuat plotting secara ketat. Dengan berjalan kaki sekitar 300 meter dari Saung Cisadane, rupanya peserta diarahkan untuk memotret kegiatan warga di sisi sebelah Utara jembatan yang melintasi Sungai Cisadane.Â
Obyek foto yang dijumpai adalah warga yang sedang mengayuh perahu getek bambu, sejumlah anak yang riang gembira mandi di sungai, juga warga yang terlihat sibuk menjala ikan.
Mengapa Sungai Cisadane?
Ya, karena daya tarik Keranggan, salah satunya adalah karena wilayahnya berbatasan langsung dengan sungai yang sumber airnya berasal dari Gunung Pangrango di Jawa Barat ini. Tak ayal, Sungai Cisadane menyatu dengan kehidupan masyarakat Kelurahan Keranggan. Selain terkenal dengan hasil perikanannya yang lumayan ada, daerah aliran sungai ini jua yang sekarang sedang nge-hits untuk ditampilkan sebagai bahagian dari pengembangan Ecowisata Keranggan.
Para peserta pun berjajar di sepanjang bibir sungai yang dipenuhi bebatuan koral aneka ukuran. Mereka seru-seruan menjepret apa saja yang menjadi daya tarik bidikan lensa kameranya.
Puas menghabiskan durasi waktu yang disediakan panitia, para peserta kemudian diarahkan menuju lokasi hunting foto kedua. Enggak jauh-jauh amat sih, masih dalam satu area, yaitu pusat produksi Opak. Sudah tahu Opak 'kan? Seperti kerupuk yang sangat tipis dan kaku. Terbuat dari bahan dasar singkong.
Di sini, ada 8 ibu rumah tangga yang sehari-harinya membuat Opak. Mereka bekerja sendiri-sendiri. Artinya, tempat tinggal mereka menjadi home industry. Yup, industri rumahan yang memproduksi Opak. Tetapi, karena ada 8 rumah yang memproduksi Opak, maka jadilah kawasan ini mirip jadi semacam sentra produksi Opak.
Dari hasil wawancara dengan salah seorang ibu yang sedang menjemur Opak, rupanya home industry Opak ini belum begitu lama berdirinya. Baru sekitar 3 - 5 tahun belakangan. Ya, mungkin saja, mereka membuat Opak sudak sejak puluhan tahun lalu, tapi untuk menjadi serius seperti sentra produksi, baru beberapa tahun belakangan saja.
"Kira-kira sejak sekitar 4 tahun lalu, kita mulai rame-rame buat Opak," ujar Rasi'ah, nenek usia 75 tahun itu kepada saya.
Tangan terampil Rasi'ah nampak asyik membolak-balik Opak yang sedang dijemur beralaskan mirip pagar bambu. Warna Opak mentah ini agak keputihan. Ya, maklum aja, 'kan berbahan dasar Singkong. Diameter lingkarannya sekitar sejengkal. Ketipisannya? Wah, ukuran millimeter deh kayaknya.
"Untuk membuat Opak, enggak pake bumbu macem-macem. Cukup Singkong sama garam aja," tukas Rasi'ah membeberkan resep sederhananya.
Eh, ngomong-ngomong berapa harga Opak yang dijual Rasi'ah?
Murah bingit. Untuk 100 Opak, harga yang dipatok "cuma" Rp 20 ribu. Jadi, kalau Rasi'ah bisa bikin 500 Opak, maka ia akan mengantongi duit Rp 100 ribu. Kalau dalam sebulan Rasi'ah terus produksi Opak, tentu saja tinggal mengalikan Rp 100 ribu dengan 30 hari, sehingga totalnya Rp 3 juta.
"Komunitas" ibu-ibu pembuat Opak Singkong ini boleh jadi enggak ada matinya, karena bahan dasar Singkong termasuk yang masih gampang dicari. Meskipun, kadang-kadang ya rada seret juga menemukan "si ketela pohon" ini.
Ya, tidak salah lagi. Inilah yang sekaligus menjadi primadona Keranggan, apalagi kalau bukan sentra produksi Kacang Sangrai!
Bus mulai bergerak. Di atas bus, para peserta yang sebagian besar merupakan mahasiswa dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Summarecon, Serpong ini, mulai sibuk mempersiapkan kembali "senjata"-nya: kamera. Termasuk Shania, mahasiswi UMN Fakultas Teknik & Informatika semester I. Sungguh, melihat Shania, saya seperti melihat tampilan member AKB48, heheheheee ... Mungil, unyu-unyu dengan rambutnya yang pirang dan diikat ekor kuda.
"Seru banget deh lomba fotografi ini. Selain membangkitkan minat, bakat dan passion kita-kita, juga melatih praktik hunting foto. Apalagi, aku sendiri punya tugas kuliah untuk menyerahkan hasil hunting foto berupa story telling yang harus di-upload ke Instagram. Jadinya, ya memang harus sering-sering pergi kemana 'gitu, untuk hunting foto," ujarnya didampingi Ricky Yantho, juga mahasiswa UMN.
Kacang Sangrai Keranggan
Jarak lokasi sentra produksi Kacang Sangrai dengan Saung Cisadane tidak begitu jauh, ya sekitar 1 -- 2 km. Di lokasi ini, para peserta langsung menuju "dapur" produksi penyangraian. Secara bergiliran mereka masuk ke "dapur" dan melihat sendiri ada seorang pekerja yang sedang menyangrai. Media sangrainya seperti wajan yang mirip kuali. Bahan bakarnya pakai kayu bakar lho. Jadi, ya bisa dibayangkan, para peserta langsung terpapar hawa cukup panas selama di area "dapur".
Tapi, meski bercucuran keringat dan menahan hawa panas, kamera-kamera terus bekerja mengambil gambar. Maklum, berasa epic banget deh bisa melihat langsung proses penyangraian yang mungkin selama ini belum pernah mereka bayangkan gimana praktiknya. Wkwkwkkkk ... maklum 'kids jaman now'.
Ketika saya tanya, berapa banyak kacang kulit yang biasa diproses, Na'ih menjawab dengan jawaban yang bikin saya kaget. "Biasanya, selama 1 sampai 2 minggu, kita proses 6 ton kacang kulit. Sekarang, kacang sudah makin sulit diperoleh dari lokasi di sekitar kawasan sini. Jadi, kita pesan kacang dari Cilegon, Jonggol, Sumedang dan lain-lain. Untuk setiap 6 ton kacang kulit ini, kita biasa beli seharga Rp 90 juta," ujarnya.
Menurut Na'ih lagi, dari sebanyak 6 ton kacang kulit tadi, ia kemudian menjualnya dalam hitungan liter, bukan kilogram. "Untuk Kacang Sangrai kering, dijual Rp 8 ribu per liter. Sedangkan yang basah, Rp 9 ribu per liter. Ongkos lain yang harus dikeluarkan adalah untuk kayu bakar dan pekerja penyangraian. Harga kayu bakar untuk 1 bak mobil terbuka jenis Cary seharga Rp 300 -- Rp 500 ribu. Sedangkan untuk ukuran angkut 1 truk, harga kayu bakarnya Rp 1.250.000," jelas Na'ih sembari menyebut upah pekerja penyangrai adalah Rp 50 ribu untuk menyangrai sebanyak 1 kuintal kacang kulit dengan durasi sekitar 1 jam.
Na'ih dan Mamnu'ah kompak menjawab sekitar tahun 2005 sebagai start awal membuka usaha Kacang Sangrai ini. "Sekarang, anak saya yang mengendalikan usaha ini," ujar Na'ih.
Empat Kawasan Industri Tangsel
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Tangsel, Maya Mardiana dalam sambutannya mengiringi lomba fotografi dan aneka lomba lainnya mengatakan, ada empat kawasan industri yang kini terus dikembangkan Pemkot Tangsel.
"Empat kawasan industri di Tangsel adalah industri tempe di Kedaung -- Ciputat, industri konveksi di Jurangmangu, industri kuliner - kreatif - ecowisata di Keranggan -- Setu, dan industri kerajinan pernik di Ciputat Timur. Karena itu, perlu ada kolaborasi yang baik dari semua pihak, seperti akademisi, kalangan bisnis, community dan Pemerintah sebagai fasilitator. Sehingga kolaborasi ini akan membawa hasil dan berdampak positif bagi masyarakat. Kalau Keranggan ingin terus mengembangkan ecowisata, maka kawasan ini harus eye catching. Caranya, selalu kedepankan kreativitas dan karya produktif terbaik," tutur Maya dari atas panggung utama.
Semoga Keranggan semakin terus maju. Keranggan semakin jadi teladan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H