"Sudah sejak lama kami enggak punya kamar mandi dan jamban sendiri di dalam rumah. Jadi, kalau mau buang air besar (BAB) musti ke sungai kecil di arah belakang rumah. Jalan menuju ke sana harus melewati belukar, terkadang bertemu ular. Kalau hujan pun licin karena jalanannya menurun dan terjal. Soal terpeleset dan jatuh, itu sudah biasa. Susahnya lagi, kalau malam hari, saya harus bawa obor untuk bisa BAB ke sana."
Begitu yang disampaikan Siti Nur Laelah Sari, warga RT 2 RW 7 No. 14 Kampung Kantalarang 2, Desa Leuwibatu, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor di rumahnya, ketika menerima kehadiran sejumlah jurnalis Jawa Barat bersama water.org, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli terhadap isu air bersih dan sanitasi. Turut bersama rombongan pada Senin (23 Oktober 2017) adalah sejumlah staf Koperasi Karya Usaha Mandiri (KKUM) Syariah, Bogor. [Sebagai gambaran lokasi, kalau merujukGoogle Maps, waktu tempuh bermobil dari Monas (Gambir, Jakarta Pusat) ke Kantor Desa Leuwibatu ini cukup 2 jam 20 menit sajaloh. Jauh jaraknya pun 'hanya' 69,4 km].
Boleh percaya juga tidak, tapi sudah sejak kecil, Ela --- sapaan akrabnya ---, hidup bersama keluarganya tanpa pernah merasakan punya kamar mandi dan jamban (WC) sendiri. Sungai kecil dengan air yang agak kecoklatan dan mengalir diantara bebatuan menjadi tujuan Ela atau anggota keluarganya yang lain bila hendak BAB.
Ketika penulis bersama rombongan melakukan napak tilas perjalanan ulang-alik menuju sungai kecil tempat BAB keluarga Ela, kepala ini tak henti bergeleng-geleng. Betapa tidak, perjalanan Ela menyusuri jalan setapak dengan kiri kanan pepohonan dan belukar menjadi perjuangan tersendiri hanya untuk sekadar membuang hajat. Belum lagi, pada beberapa bagian jalan, ada medan yang cukup terjal. Terbayang bila musim penghujan tiba, jalanan pasti licin dan membahayakan.
"Terpeleset lalu jatuh, itu sudah biasa. Apalagi kalau malam hari, karena harus bawa obor. Pernah juga ketemu ular sewaktu mau BAB. Karena takut, saya buru-buru lari pulang lagi. Anehnya, rasa kebelet ingin BAB malah jadi hilang," ujar Ela yang biasa menjualkan telur ayam milik agen telur ini sembari berderai tawa.
"Makanya, kami kalau kebelet ingin BAB, terpaksa pergi ke rumah kakak saya yang jaraknya tidak begitu jauh, numpang BAB. Sedangkan untuk mandi, biasanya kami melakukannya di sungai kecil yang ada pancuran airnya. Adapun untuk memenuhi kebutuhan air di rumah, saya dan suami biasa bolak-balik mengambil air menggunakan jerigen, dari lokasi di bawah sana ke rumah saya yang posisinya ada di atas. Sehari biasa lima sampai enam kali ambil airnya. Sangat capek tentu saja, apalagi kalau harus mengambil air sambil menggendong anak saya yang paling kecil," tutur Yuliana, ibu beranak tiga ini di teras rumahnya.
Cerita Ela dan Yuliana tentang masa-masa mereka belum punya kamar mandi dan jamban sendiri di dalam rumah, bukan hal aneh di Kabupaten Bogor ini. Masih banyak lho ternyata, keluarga-keluarga yang memiliki rumah tetapi tidak punya kamar mandi dan jamban sendiri. Ya itu tadi, sungai (dan empang) menjadi satu-satunya tempat untuk buang hajat.