Joni Arif dan keluarganya sering kebingungan. Sebagai keluarga petani yang nafkah hidupnya bergantung pada sawah garapan, mereka bersama warga sekitar lainnya di Desa Margasari, Kelurahan Curug Kulon, Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang, Banten, kesulitan mengelola sawah apalagi kala musim kemarau. Bukan masalah paceklik air. Tidak! Tapi, karena air tanah yang berlimpah justru sulit dieksploitasi untuk dialirkan ke area persawahan.
Jangankan berpikir pakai mesin pompa air elektronis, bahkan untuk membayar biaya listrik per bulannya saja, keluarga Joni dan warga sekitar lainnya merasa terbebani. Kondisi memprihatinkan ini semakin menjadi-jadi saat kemarau tiba. Maklum, sawah seluas kira-kira 4 hektar yang mereka garap ini berkonsep tadah hujan. Tiada hujan maka sama saja tiada panen.
Padahal boleh dibilang, Sumber Daya Alam (SDA) Desa Margasari -- yang hanya berjarak sekitar 50 km dari Tugu Monas, Jakarta ini -- begitu berlimpah. Mulai dari tanahnya yang subur, air tanah yang berlimpah bahkan pada saat kemarau, dan panas terik sinar matahari yang selalu memancar.
"SWP ini adalah pompa air yang digerakkan oleh tenaga listrik yang dibangkitkan tenaga surya yang berasal dari panas matahari. Kami menggunakan pompa air listrik sumur dangkal dengan spesifikasi 220V/50Hz yang berdaya keluaran 125 Watt dan arus masukan 1,55 A," jelas Saharudin ST, M.Eng.Sc selaku Dosen Prodi Teknik Elektro.
Adapun daya yang diperlukan untuk penyediaan panel surya, lanjut Saharudin, adalah kurang lebih 1,44 A x 220 Volt = 341 Wattpeak (Wp). "Daya sebesar 341 Wp ini disuplai dari dua unit panel surya yang masing-masing berkapasitas 120 Wp. Sedangkan untuk mengubah arus DC menjadi AC digunakanlah inverter dan baterai untuk tarikan listrik pertama kali," tuturnya.
Belum genap satu tahun SWP dipasang, hasilnya cukup menggembirakan, karena pemanfaatannya bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan air untuk lahan persawahan, tapi juga digunakan berbagai aktivitas keseharian lainnya. Hal ini dibenarkan Dr Ir Dwita Suastiyanti MSi selaku Kepala Prodi Teknik Mesin ITI.
"Dengan SWP, sawah yang tadinya hanya bisa dikelola pada musim penghujan saja, maka pada musim kemarau pun mereka kini masih tetap bisa mengelolanya. Selain itu, warga memperoleh juga pemenuhan kebutuhan air bersih. Selama ini, warga di sana kurang cukup memiliki air bersih. Pemenuhan air bersih terbatas sekali karena terkendala pulsa listrrik yang lantaran tingkat ekonomi warga di sana yang rata-rata menengah ke bawah," ujar Dwita.
- Terjadi peningkatan produksi beras sebesar 86,67% dan peningkatan pemenuhan kebutuhan air bersih sebesar 143,33%.
- Reservoir akan terisi penuh dalam waktu hanya 15 menit.
- Â Teknologi SWP dipenuhi dengan penggunaan 2 panel surya masing-masing berkapasitas 150 Wp, dan 2 unit baterai berkekuatan 100 Ah.
Alat untuk menyedot air tanah dengan tenaga surya ini pun berhasil guna. Air hasil sedotan ditampung di tanki air (toren), untuk kemudian sebagian dialirkan ke persawahan, dan sebagian lagi untuk pemenuhan kebutuhan air bersih. "Karena sekarang ini sedang musim penghujan, maka mereka memanfaatkan air tersebut untuk minum, mencuci dan pemenuhan lainnya yang bukan untuk persawahan. Ketika musim kemarau datang, dari bak penampungan air akan dipasangkan pipa bersambung-sambung untuk mengalirkan airnya ke lahan-lahan persawahan. Jadi, manfaatnya adalah untuk pengairan sawah yang luasnya sekitar 4 hektar," jelas Dwita lagi.
Menuurt Dwita, dana yang dikeluarkan dari sejak proses pengeboran untuk menggali air tanah, membuat pondasi dan memancangkan tiang bak penampungan air, perakitan panel surya, ongkos tenaga pengerjaan dan lain-lain mencapai sekitar Rp 20-an juta. "Memang kami akui, kalau untuk pemanfaatan tenaga surya, investasi yang dikeluarkan terbukti akan terasa mahal pada saat proses awalnya. Tapi untuk selanjutnya, gratis," ungkapnya.
Lebih lanjut Dwita mengatakan, agar SWP yang sudah dipasang sekitar enam bulan lalu ini terpelihara baik, perlu tindakan pemeliharaan yang tepat dan kontinyu. "Saya sudah pesankan kepada koordinator warga di sana untuk jangan memacu kerja baterai sampai terlalu maksimal. Maksudnya, jangan sampai baterainya baru terisi 50% tapi sudah harus dipaksakan untuk bekerja. Minimal, harus terisi dulu 70%. Mengapa soal baterai ini penting? Karena, baterai pada panel surya itu mahal. Kami menggunakan baterai dengan kapasitas 100 AmpereHour (Ah) sebanyak dua unit. Harga per unitnya Rp 4 juta. Tanpa baterai tidak akan bisa, karena sedotan perdana harus menggunakan baterai," tutur Dwita mengingatkan.
Selain itu, imbuh Dwita, mesin pompa air juga jangan dipakai lebih dari 20 menit, karena dengan durasi waktu yang tidak terlalu lama pun sebenarnya bak penampungan atau tanki air akan sudah terisi penuh. "Hal ini disebabkan sumber daya alam terutama air di wilayah ini yang memang cukup berlimpah. Terbukti, ketika proses pengeboran dilakukan, pipa sedotan sedalam 6 meter saja sudah dapat menyedot air, tetapi kami menjaga-jaga datangnya musim kemarau dimana sedotan air tanah akan mengalami kendala, maka pipa sedotannya kami buat sampai kedalaman 12 meter," terang Dwita yang tinggal di Pamulang, Tangsel ini.
Untuk masalah panel surya, kata Dwita, pihaknya memasang sebanyak 2 unit dengan kapasitas 150 Wp. Ini pun sebaiknya tidak dipaksakan penggunaannya dalam kondisi yang kurang tepat, misalnya ketika cuaca sedang mendung, maka proses pengisian baterai bisa jadi tidak maksimal. Harus tepat pada saat matahari memancarkan sinarnya yang terik tanpa terhalang mendung dan sebagainya. Posisi panel suryanya itu sendiri saat ini dalam posisi yang dipasang secara agak miring.
"Nantinya, kami berusaha untuk membuat teknologi panel surya yang dapat secara otomatis bergerak tepat mengarah atau mengikuti kemana saja posisi datangnya sinar matahari secara langsung," ujarnya seraya menyebut bahwa pilihan membangun SWP karena tenaga surya merupakan energi terbarukan, bersih dan bebas polusi sehingga menjadi alternatif energi masa depan.
Sementara itu, Joni Arif, salah seorang warga RT 004 RW 08 Desa Margasari mengaku, bahwa keberadaan SWP membuat warga antusias bercocok-tanam karena air mudah diperoleh, meskipun di kala musim kemarau. Bahkan, tak perlu bayar listrik pula. "Kini, warga memanfaatkan air yang sudah ditampung di tanki air, juga untuk mencuci pakaian, mandi dan cuci steam kendaraan," ujarnya.
"Selama ini, kalau air sedang susah, kami mencari air ke daerah lain dengan memakai dirigen. Kami terpaksa beli air seharga Rp 2.500 per dirigen," keluhnya.
Seberapa terjadi peningkatan hasil panen sawahnya?
Nah, disinilah urgensi pompa air bertenaga surya. Ternyata, sebelum ada SWP, warga Desa Margasari hanya pasrah mengelola lahan persawahannya bila ada air saja. Artinya, hasil panen sangat minim karena harus terpaksa menanti-nanti datangnya musim penghujan.
Hitung punya hitung, berapa kenaikan hasil panen produksi beras yang diperoleh petani di Desa Margasari dengan adanya pompa air bertenaga surya ini? Jawabannya cukup memukau. Menurut Dwita Suastiyanti, terjadi peningkatan produksi beras sebesar 86,67%. Belum lagi peningkatan pemenuhan kebutuhan air bersih sebesar 143,33%.
Sungguh sebuah fakta, betapa energi baru dan terbarukan yang dimanfaatkan benar-benar membawa faedah bagi warga masyarakat. Ini baru cerita di Desa Margasari, Curug, Kabupaten Tangerang, Banten. Andaikan lebih banyak lagi desa-desa di Indonesia menerapkan pompa air bertenaga surya seperti ini. Rasanya, kesejahteraan warga masyarakat dapat meningkat, seiring produksi persawahan maupun perkebunan yang tiada mengenal musim. Selain, kesehatan masyarakat yang juga dapat terpenuhi karena ditunjang pemenuhan air bersih yang memadai. Satu contoh energi untuk inovasi berkelanjutan yang sudah menampakkan hasil menggembirakan.
Mau dicontoh?  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H