Menuurt Dwita, dana yang dikeluarkan dari sejak proses pengeboran untuk menggali air tanah, membuat pondasi dan memancangkan tiang bak penampungan air, perakitan panel surya, ongkos tenaga pengerjaan dan lain-lain mencapai sekitar Rp 20-an juta. "Memang kami akui, kalau untuk pemanfaatan tenaga surya, investasi yang dikeluarkan terbukti akan terasa mahal pada saat proses awalnya. Tapi untuk selanjutnya, gratis," ungkapnya.
Lebih lanjut Dwita mengatakan, agar SWP yang sudah dipasang sekitar enam bulan lalu ini terpelihara baik, perlu tindakan pemeliharaan yang tepat dan kontinyu. "Saya sudah pesankan kepada koordinator warga di sana untuk jangan memacu kerja baterai sampai terlalu maksimal. Maksudnya, jangan sampai baterainya baru terisi 50% tapi sudah harus dipaksakan untuk bekerja. Minimal, harus terisi dulu 70%. Mengapa soal baterai ini penting? Karena, baterai pada panel surya itu mahal. Kami menggunakan baterai dengan kapasitas 100 AmpereHour (Ah) sebanyak dua unit. Harga per unitnya Rp 4 juta. Tanpa baterai tidak akan bisa, karena sedotan perdana harus menggunakan baterai," tutur Dwita mengingatkan.
Selain itu, imbuh Dwita, mesin pompa air juga jangan dipakai lebih dari 20 menit, karena dengan durasi waktu yang tidak terlalu lama pun sebenarnya bak penampungan atau tanki air akan sudah terisi penuh. "Hal ini disebabkan sumber daya alam terutama air di wilayah ini yang memang cukup berlimpah. Terbukti, ketika proses pengeboran dilakukan, pipa sedotan sedalam 6 meter saja sudah dapat menyedot air, tetapi kami menjaga-jaga datangnya musim kemarau dimana sedotan air tanah akan mengalami kendala, maka pipa sedotannya kami buat sampai kedalaman 12 meter," terang Dwita yang tinggal di Pamulang, Tangsel ini.
Untuk masalah panel surya, kata Dwita, pihaknya memasang sebanyak 2 unit dengan kapasitas 150 Wp. Ini pun sebaiknya tidak dipaksakan penggunaannya dalam kondisi yang kurang tepat, misalnya ketika cuaca sedang mendung, maka proses pengisian baterai bisa jadi tidak maksimal. Harus tepat pada saat matahari memancarkan sinarnya yang terik tanpa terhalang mendung dan sebagainya. Posisi panel suryanya itu sendiri saat ini dalam posisi yang dipasang secara agak miring.
"Nantinya, kami berusaha untuk membuat teknologi panel surya yang dapat secara otomatis bergerak tepat mengarah atau mengikuti kemana saja posisi datangnya sinar matahari secara langsung," ujarnya seraya menyebut bahwa pilihan membangun SWP karena tenaga surya merupakan energi terbarukan, bersih dan bebas polusi sehingga menjadi alternatif energi masa depan.
Sementara itu, Joni Arif, salah seorang warga RT 004 RW 08 Desa Margasari mengaku, bahwa keberadaan SWP membuat warga antusias bercocok-tanam karena air mudah diperoleh, meskipun di kala musim kemarau. Bahkan, tak perlu bayar listrik pula. "Kini, warga memanfaatkan air yang sudah ditampung di tanki air, juga untuk mencuci pakaian, mandi dan cuci steam kendaraan," ujarnya.
"Selama ini, kalau air sedang susah, kami mencari air ke daerah lain dengan memakai dirigen. Kami terpaksa beli air seharga Rp 2.500 per dirigen," keluhnya.
Seberapa terjadi peningkatan hasil panen sawahnya?