Setelah mengetahui hasil biopsi, ujar Dinda, dokter menyampaikan saran kepada dirinya untuk melakukan saja operasi pengangkatan payudara plus rekonstruksi. "Dokternya bilang, daripada kelak 20 tahun mendatang saya menderita kanker lagi, lebih baik diangkat saja kedua payudara saya sehingga bersih, aman, tenang. Saya kaget, karena terancam kehilangan satu payudara, makanya dokter mengatakan bahwa saya juga harus siap secara mental. Maklum, perempuan yang kehilangan payudara ibarat kehilangan mahkota," katanya lagi.
Tak bisa dibayangkan, hancur leburnya hati Dinda ketika disodori alternatif kemoterapi yang memakan biaya mahal. "Saya dihadapkan pada pilihan mau menjalani kemoterapi dengan segala efek sampingnya. Atau alternatif lain adalah operasi pengangkatan payudara. Bila bersedia kemoterapi, maka dilakukannya harus sebanyak delapan kali yang terberat plus 21 kali kemoterapi lanjutan. Totalnya, saya disarankan harus menjalani 29 kali kemoterapi. Mau tahu berapa biayanya? Mahal sekali, Rp 30 juta untuk satu kali kemoterapi. Jarak waktu dari satu kemoterapi ke kemoterapi berikutnya adalah setiap dua minggu. Bisa dibayangkan, begitu banyak biaya harus siap dikeluarkan keluarga saya untuk bayar kemoterapi. Ingat ya, waktu itu belum ada BPJS yang bisa menjamin biaya kemoterapi seperti saat ini," urai istri dari Xavier Novian ini.
Singkat cerita, operasi pengangkatan payudara Dinda pun dilakukan. "Nah, baru lima hari pasca operasi, saya yang sedang menjalani masa recovery ternyata sudah harus menghadapi kenyataan buruk lainnya. Dokter bilang, ketika operasi payudara dilakukan, tim medis menemukan adanya Kanker Kelenjar Getah Bening yang ada di sekitar bawah ketiak saya. Implikasinya adalah saya harus diagendakan untuk menjalani operasi kedua untuk mengangkat Kanker Kelenjar Getah Bening tersebut," tuturnya.
Pasca dua bulan operasi pengangkatan payudara, Dinda terpaksa balik lagi ke Singapura untuk operasi keduanya. "Pada saat menjalani operasi Kanker Kelenjar Getah Bening ini, rupanya ada 4 titik kanker di sekitar bawah ketiak. Dan harap diketahui, pada 1 titik kanker terdapat ratusan bakteri didalamnya. Saking banyaknya bakteri tersebut, apabila kita mengalami kehidupan yang stress maka akan memicu perkembangan sel-sel kanker dalam tubuh. Makanya, hidup itu harus dibawa senang, santai, bahagia dan bersyukur. Karena stress itulah yang justru membangkitkan sel-sel kanker tersebut," terang Dinda yang mengenakan kaos putih lengan panjang ini.
Apa setelah operasi kedua, lalu segalanya menjadi selesai bagi Dinda? Ternyata tidak! "Tidak berhenti pada operasi kedua. Pasca operasi kedua ini, ternyata dokter menyarankan bahwa saya harus menjalani kemoterapi. Inilah sebenarnya yang saya takutkan. Kenapa? Karena, kalau dikemoterapi maka otomatis saya harus berhenti bekerja. Saya pasti enggak akan kuat karena harus banyak beristirahat. Hal ini mendapat support dokter bahwa saya harus berhenti bekerja dan bedrest agar setiap dua minggu sekali melakukan kemoterapi, kondisi saya tidak drop. Apalagi, rutinitas kemoterapi mewajibkan agar kondisi fisik saya stabil secara medis, mulai dari tekanan darah, suhu tubuh dan sebagainya," urai pemilik wajah oval ini.
Dinda pun menjalani kemoterapi di Singapura, untuk kemudian berlanjut di RS Kanker Dharmais, Jakarta. Sesudah menjalani rutinitas kemoterapi, dirinya mengaku harus rutin minum obat selama 5 tahun.
"Pada perjalanan pengobatan kanker yang saya jalani, tidak selamanya saya kuat. Ada up and down. Down kalau harus memikirkan nasib sebagai penderita kanker dan harus menjalani kemoterapi yang tidak enak dan melelahkan. Tapi, kondisi down seperti ini harus dibuang jauh-jauh. Caranya, dengan percaya bahwa penyakit saya bisa sembuh. Juga harus selalu bahagia, utamanya selama menjalani treatment," jelas lulusan LPK Saint Marry dan Puspita Martha Tilaar ini.
Turut hadir dan berbicara pada Edukasi Kanker Payudara ini adalah Dr Alfiah Amiruddin MD MS, Dokter Ahli Bedah dan Konsultan Payudara RS Mitra Kemayoran, Jakarta.