Judul buku:
Saya Jatuh Cinta Pada Flores - Wisata Budaya & Petualang
Penulis:
Asita Djojo Koesoemo
Editor:
Eddy Suryanto
Tebal:
xxi + 177 halaman
Penerbit:
Percetakan Pohon Cahaya, Yogyakarta
Cetakan ke-1:
April 2017
* * *
Sesuai namanya, dalam Bahasa Portugis Flores bermakna “Bunga”. Maka tak heran kalau Mbak Asita benar-benar menikmati betul wanginya bunga. Sampai-sampai ia menulis judul buku ini dengan: “Saya Jatuh Hati Pada Flores”. Ya, Mbak Asita benar-benar mabuk kepayang gegara “Bunga”.
Kecintaan pada Flores ini yang membuat Mbak Asita tak puas kalau cuma satu kali saja berkunjung yaitu pada Agustus 2015. Maka, lima bulan kemudian, Mbak Asita mengemas ransel punggungnya lagi. Tepat di penghujung tahun 2015, ibu tiga anak ini kembali bermesraan dengan Flores. Hasilnya? Sungguh luar biasa. Dua kali dalam setahun menyambangi Flores, membuat ulasan buku ini begitu mendalam dan komprehensif terkait kekayaan alam Flores. Maklum, namanya juga orang jatuh cinta, maka apa yang dituliskan Mbak Asita pun meluncur dari hati. Bukankah memang begitu yang namanya cinta? Cinta bukan tentang apa yang dipikirkan oleh akal, tetapi cinta adalah apa yang dirasakan oleh hati.
Sementara wartawati Kompas, Joice Tauris Santi menandaskan, membaca buku ini, membuat kita mendapatkan informasi tentang Flores. Lebih lagi tentang bagaimana caranya agar dapat mencapai Flores dengan biaya efektif. “Keindahan Flores membuat banyak orang yang belum pernah ke sana menjadikan Flores sebagai tujuan berikutnya,” ujar Joice.
* * *
Sederhananya, buku ini merupakan hasil reportase Mbak Asita selama ‘berkeliaran’ di Pulau Flores. Eeeiittssss, tapi jangan salah. Buku ini tidak sesederhana itu isinya. Malah, buku yang ditulis alumni Fakultas Ekonomi Universitas Jember ini begitu sarat manfaat, utamanya bagi mereka yang hendak menikmati wisata budaya dan petualang di Flores. Manfaat yang dimaksud, antara lain:
Pertama, buku ini membedah sampai sedetil-detilnya enam tujuan wisata di Flores. Mulai dari Labuan Bajo, Ruteng, Bajawa, Ende, Maumere dan Larantuka. Pada setiap destinasi wisata ini, ada banyak yang bisa disaksikan. Sebut saja misalnya di Labuan Bajo, pembaca bisa menyimak bagaimana petualangan Mbak Asita yang berkunjung ke Gua Batu Cermin, dengan cara harus menyusuri ruang sempit, hening lagi gelap gulita, dengan berjalan sambil merundukkan kepala kepala dan sesekali berjongkok sambil terus bergerak maju menuju ujung gua. Selain Gua Batu Cermin, masih di Labuan Bajo, Mbak Asita mengajak pembaca berkunjung ke Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Kenawa, Pulau Alor, Pulau Padar, Pulau Gili Lawa, Bukit Cinta, Air terjun Cunca Rami, dan Air terjun Cunca Wulang.
Sedangkan ketika di Ende, Mbak Asita menuangkan seluruh keindahan Kabupaten Ende yang beribukota Ende ini pada halaman 79 sampai 104. Di sini, Mbak Asita mengawali pembaca untuk menyaksikan sendiri lokasi sebuah taman yang menjadi saksi mata, bahwa Proklamator RI yaitu Bung Karno pernah merenungkan falsafah Pancasila. Seperti kita tahu, Bung Karno pernah diasingkan oleh kolonial Belanda ke Ende (1934 – 1938). Mbak Asita dengan apik menuliskan suasana Taman Perenungan Bung Karno, lengkap dengan foto Pohon Sukun juga foto Patung Bung Karno yang berpose duduk.
Pohon Sukun asli yang menjadi naungan Bung Karno saat itu telah tumbang di tahun 60-an karena termakan usia. Dan yang ada sekarang, adalah pohon kedua yang ditanam kembali tahun 1981 sebagai duplikat untuk mengenang tempat Bung Karno merenungkan Dasar Negara, dan pohon ini tumbuh subur dengan lima cabang yang diyakini oleh masyarakat Ende sebagai perwujudan kelima sila dari Pancasila. (halaman 82).
Masih di Ende, Mbak Asita mengajak pembaca mengenal Kampung Moni, sebuah kampung di kaki Gunung Kelimutu yang banyak sekali terdapat homestay bagi pelancong. Tak ketinggalan, Mbak Asita menuturkan pula kisah menyaksikan keindahan matahari terbit di Danau Kelimutu, juga kemeriahan Festival Danau Kelimutu sebagai puncak acara adat ritual Patika yakni Du’a Bapu Ata Mata yang biasa digelar Suku Lio.
Kedalaman penuturan Mbak Asita bercerita tentang seluruh destinasi wisata yang ada di enam tujuan wisata di Flores, menjadikan buku ini laik menjadi referensi panutan bagi para turis yang hendak melakukan perjalanan wisata ke obyek-obyek wisata yang sama di Flores.
Kedua, tidak cuma menuturkan keunggulan dan pariwisata andalan Flores, Mbak Asita juga menyisipkan fakta dan data sejarah terkait sejumlah obyek wisata yang dikunjunginya. Contohnya, ya cerita tentang pengasingan Bung Karno itu. Artinya, buku ini juga mengandung kisah historis yang sakral plus faktual.
Ketiga, dua kali perjalanan wisata ke Flores dan menetap dalam watu yang tidak sebentar, membuat buku ini punya nalar budaya yang tak bisa dipandang remeh. Mbak Asita sukses mengulik bagaimana budaya dan kebudayaan masyarakat setempat yang ramah dan begitu menghormati setiap tamu yang datang berkunjung. Siapapun, tak peduli kepada wisatawan domestik maupun mancanegara, masyarakat Flores yang penuh santun, ramah dan hangat bersahabat ini pasti juga akan selalu menawarkan para tamunya untuk bersantap makan dan minum di rumah-rumah mereka.
Sekadar perhatian saja bagi buku travel kedua yang ditulis Mbak Asita ini adalah kualitas perwajahan isi buku yang mungkin harus ditingkatkan lagi. Selain karena rata kiri dan kanan kolom lembar halaman demi halaman yang kurang artistik, juga pencantuman halaman yang sedikit menyulitkan pembaca. Selain foto-foto yang banyak disisipkan Mbak Asita untuk mendukung tulisan atau naskah, buku ini pun menyediakan tujuh halaman Galeri Foto. Tapi, andai boleh memberi saran, sebaiknya foto-foto ini diperbesar ukurannya dan diusahakan tampil dengan berwarna atau full color. Bukankah ada yang berpendapat bahwa satu gambar bisa saja lebih bermakna ketimbang 1000 kata-kata.
Oh ya, kelebihan lain buku ini adalah karena dimuat juga semacam testimony dari sejumlah pihak yang kebetulan juga sudah pernah berkunjung dan berwisata ke Flores. Semua tertuang di halaman 146 - 150. Misalnya, ada nama Ria Aziz Basoeki (traveler dan pekerja sosial), Ruth Marinthan Panjaitan (traveler dan karyawati swasta), Andrej Zorko (traveler asal Slovenia yang tinggal di Bali), Mardiana Sukardi (traveler dan dosen di Jakarta), juga Herbertus Ajo (pengamat pariwisata Flores) yang diantaranya menyampaikan betapa Flores terkenal dengan kain tenun lengkap dengan upaya pelestariannya.
Nah lho, selamat jatuh cinta pada Flores melalui buku ini. Ingat ya, cinta tak pernah salah memilih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H