Masih ingat Arya Permana? Bocah laki-laki usia 11 tahun asal Desa Cipurwasari, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Karawang, Jawa Barat yang sempat menghebohkan lantaran memiliki berat badan yang begitu ‘raksasa’, 193 kg!
Arya sempat menjalani penanganan medis di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Kota Bandung lantaran severe obesity atau kegemukan yang teramat sangat. Waktu itu, malah ada yang menyebut, Arya menjadi bocah paling gemuk sedunia untuk ukuran anak seusianya.
Berkat pola hidup sehat, pola makan yang diawasi ketat, dan memperbanyak konsumsi buah-buahan juga sayuran, serta mengikuti olahraga jalan kaki setiap hari dan berenang seminggu sekali, pada Oktober tahun lalu, bobot anak pasangan Ade Somantri dan Rokayah ini sempat susut 9 kg dalam tempo 4 bulan.
Sungguh, menjadi pekerjaan rumah yang tak mudah bagi Arya, yang masih bersekolah di SD Cipurwasari, untuk bisa melepaskan diri dari momok obesitas.
Bagaimana dengan kelamnya obesitas di dunia? Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, ada 2,3 miliar orang dewasa yang memiliki berat badan berlebih pada 2015. Sebanyak 700 juta diantaranya tergolong obesitas. Angka tahun 2005 memperlihatkan 1,6 miliar dewasa dengan berat badan berlebih dan 400 juta termasuk obesitas.
Untuk mengetahui apakah berat badan Anda termasuk berat badan yang sehat bisa dilakukan melalui metode penghitungan Indeks Massa Tubuh (IMT). Rumus yang dipakai dalam penghitungan ini adalah berat tubuh dalam kilogram dibagi dengan tinggi tubuh dalam satuan meter kuadrat (m²).
Contoh, kalau berat badan seseorang adalah 66 kg dan tingginya adalah 1,65 m, maka penghitungannya adalah 66/(1,65 x 1,65) = 24,2. Hasil ini termasuk ke dalam kategori berat badan sehat atau normal karena masih berkisar antara 18,5 sampai 24,9.
Obesitas dan Bahayanya
Obesitas, menurut Dr Handy Wing SpB dari OMNI Hospitals Alam Sutera, merupakan penyakit kronik dan progresif yang dapat mempengaruhi fungsi beberapa organ dalam tubuh. Seseorang yang sudah didiagnosis mengalami obesitas berada dalam risiko tinggi menderita komplikasi.
“Obesitas menjadi berbahaya kalau sudah mencapai lebih dari 30 kg pada perempuan, dan 40 kg pada laki-laki. Ini sudah termasuk berbahaya. Risiko komplikasi obesitas adalah penyakit paru-paru, kolesterol tinggi, stroke, diabetes tipe 2, sesak napas, vena varikos, aterosklerosis, kematian pra matang, hipertensi, mendengkur, asma, penyakit asam lambung (gastroesophageal reflux disease), apnea tidur, penyakit batu empedu, disfungsi ereksi, gangguan menstruasi, gangguan ginjal, gangguan hati, sakit sendi (arthritis), kanker usus, kanker rahim, kanker payudara hingga serangan jantung,” tutur Spesialis Bedah ini dalam wawancara khusus dengan saya di ruang praktiknya.
Menurut Dr Handy, cara paling tepat untuk menghilangkan seluruh komplikasi penyakit akibat obesitas adalah dengan menurunkan berat badan menjadi normal. “Untuk menghilangkan semua komplikasi tersebut, caranya dengan mengurangi berat badan. Otomatis, bila berat badan bisa diturunkan menjadi ideal maka segala komplikasi tadi akan hilang. Bagi yang obesitasnya sampai 10 kg diatas berat badan normal, cara menurunkannya bisa dengan diet, olahraga, menerapkan pola hidup sehat dan sebagainya,” kata Dr Handy.
“Tapi harap dicamkan bahwa operasi ini bukan operasi kosmetik yang tujuannya seperti membentuk tubuh jadi langsing, wajah cantik dan sebagainya, melainkan dimaksudkan sebagai upaya kesehatan demi mencegah dan mengatasi penyakit-penyakit komplikasi akibat obesitas. Sehingga, pasien akan menjalani hidup yang lebih sehat, ancaman terkena penyakit komplikasi tidak ada, umurnya pun insya Allah bisa lebih panjang, dan kualitas hidupnya lebih baik,” pesan Dr Handy.
Mengapa kualitas hidup menjadi lebih baik? Dr Handy mengemukakan alasannya. “Orang yang obesitas biasanya sering punya banyak keluhan, mudah dan sering lelah, menenami anak bermain saja misalnya akan mengeluh tidak kuat, sulit melakukan gerakan jongkok maupun berdiri. Kadang-kadang obesitas juga mengakibatkan efek psikologis seperti minder, kurang percaya diri, stress, depresi dan sebagainya. Disinilah kualitas hidup menjadi semakin membaik pasca operasi Bedah Bariatrik,” tuturnya.
3 Jenis Operasi Bedah Bariatrik
Ada tiga jenis operasi Bariatric Surgery yang biasa dilakukan di dunia. Pertama, Gastric Band. Pada 5 sampai 10 tahun lalu, operasi ini cukup popular. Caranya, dengan memasang cincin berbahan silikon pada saluran yang akan masuk ke lambung --- seperti fungsi ikat pinggang ---, kemudian dibuat lubang agar pasien bisa menyuntikkan cairan ke cincin tersebut. Bila disuntikkan air, maka cincin silikon tadi akan membuat sempit saluran masuk makanan ke lambung. Karena makin sempit, maka makanan dan minuman akan menyangkut di saluran yang hendak masuk ke lambung. Otomatis, lambung akan terasa sudah kenyang lalu mengirimkan ‘sinyal’ ke otak untuk berhenti makan karena kondisi sudah terasa kenyang. Jadi operasi Gastric Band ini, efeknya adalah selain cepat kenyang, tapi pasien juga akan merasa cepat lapar lagi.
Operasi jenis kedua adalah Sleeve Gastrectomy. Inilah operasi yang kini makin banyak dilakukan. Lambung yang ukuran normalnya bisa mengembang kira-kira sebesar bola basket diperkecil dengan cara operasi melalui pemotongan. Sehingga ukurannya menjadi lebih kecil yakni sebesar satu buah pisang. Sehingga, kalau biasanya si pasien makan satu sampai dua piring, maka cukup hanya dengan makan 4 sendok makan saja maka pasien akan merasa sudah terasa kenyang.
“Dengan lambung yang sudah dipotong menjadi kecil sebesar kira-kira satu buah pisang melalui operasi, maka otomatis pasien makan hanya sedikit dan merasakan dirinya sudah kenyang. Nah, karena tubuh tetap membutuhkan tenaga, maka akan diambil dari lemak-lemak yang ada didalam tubuh. Maka, praktis terjadilah pemecahan atau perubahan lemak menjadi tenaga. Perlahan lemak-lemak dalam tubuh akan berkurang dan hilang, berubah menjadi metabolisme badan,” urai Dr Handy.
Bariatric Surgery dilakukan dengan sayatan yang begitu kecil. Lantaran menggunakan Teknik Laparoskopi. “Jadi bukan membuat sayatan lebar seperti Operasi Caesar pada wanita hamil yang melahirkan. Laparoskopi, praktiknya hanya ditusuk alat seperti sumpit yang panjang. Dokter hanya akan melihat ke monitor televisi karena ada kamera video dimasukkan ke dalam perut melalui tiga sampai empat lubang kecil yang ukurannya cuma 0,5 cm sampai 1 cm. Jadi, kalau lukanya kecil, maka tidak akan terlalu sakit. Operasi jenis Sleeve Gastrectomy ini memakan waktu 1 sampai 2 jam,” terangnya.
Kalau seseorang itu mengalami kondisi sangat obesitas hingga mencapai berat badan 150 kg hingga 200 kg, dan mengidap diabetes atau kelainan yang lebih gawat lagi, maka disarankan untuk melakukan operasi jenis ketiga yaitu Mini Gastric Bypass.
“Pada prinsipnya, operasi Mini Gastric Bypass ini sama seperti Sleeve Gastrectomy, dimana dilakukan pemotongan lambung hingga menjadi kecil melalui operasi. Bedanya adalah, pada Sleeve Gastrectomy, lambung warna pink yang sudah dipotong akan dikeluarkan karena sudah tidak memiliki hubungan kemana-mana lagi, sementara pada Mini Gastric Bypass, lambungnya dipisahkan, tetapi yang warna putih dibiarkan tetap ada didalam perut, dan dibuat sambungan by pass menuju ke usus halus yang panjangnya mencapai 5 meter. Dengan begitu, makanan masuk dari mulut, kerongkongan, lambung dan langsung ke usus halus. Jadi, makanan tidak masuk atau melintas dulu di usus penyerapan sepanjang 2 meter, melainkan langsung ke usus halus,” tutur Dr Handy.
Kelebihan dari Mini Gastric Bypass ini adalah, makanan yang dikonsumsi dapat cepat turun dan masuk ke usus halus. Termasuk kalau pasien minum-minuman manis, maka akan langsung masuk ke usus halus dan tidak akan terserap oleh usus. Sebagai catatan, minuman manis itu diserap di lambung, bukan di usus halus. Tapi, kekurangannya, karena makanan tidak akan melalui usus penyerapan, maka harus pasien harus mengonsumsi vitamin, kalsium selama seumur hidup. Pelaksanaan operasi jenis ketiga ini juga lebih lama, yaitu 2 sampai 3 jam,” ungkapnya.
Sama seperti ‘ritual’ operasi lainnya, sebelum pasien menjalani operasi Bedah Bariatrik lebih dulu menjalani pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh dan puasa. “Sebelum pelaksanaan operasi, pasien tentu akan dicek terlebih dahulu vitalitas dan kondisi kesehatannya secara medis. Mulai dari paru-paru, jantung, lambung menggunakan endoskopi. Juga pemeriksaan apakah pasien memiliki kelainan psikologis atau tidak, seperti misalnya berharap sekali untuk menjadi kurus bahkan menjurus anoreksia, stress, depresi dan lainnya,” jelas Dr Handy.
Begitupun pasca operasi, pasien harus mengonsumsi asupan makanan secara bertahap, mulai dari yang cair, lembut, setengah padat dan barulah kemudian makanan padat. “Usai melakukan operasi, pasien dihimbau untuk jangan dulu mengonsumsi makanan padat. Karena lambung yang diperkecil tentu harus menormalisasi terlebih dahulu bekas sayatan operasi. Setidaknya, butuh waktu 2 minggu sampai sayatan lambung tersebut menempel kembali dan pulih sempurna. Disarankan, dalam 2 minggu pertama pasien mengonsumsi asupan cair terlebih dahulu, lalu pada minggu ke-3 dan 4 boleh makan bubur halus, kemudian selanjutnya bolehlah makan asupan normal dengan porsi yang sedikit,” jelas spesialis bedah yang sebelumnya berdinas di RS Grha Kedoya, Jakarta Barat ini.
Pasca operasi, Dr Handy meyakinkan bahwa apabila kondisinya sudah normal kembali, maka pasien boleh melakukan aktivitas rutin seperti biasa. Sama sekali tidak ada larangan untuk melakukan aktivitas tertentu seperti yang sudah dilakukan sebelum operasi Bariatric Surgery. “Pasca operasi, pasien tidak akan mengalami gangguan beraktivitas, karena hanya melakukan operasi pengecilan ukuran lambung yang fungsinya untuk membatasi makanan dan minuman masuk saja,” ujarnya.
Ketika diajukan pertanyaan sudah berapa banyak pasien yang pernah dilakukan operasi Bedah Bariatrik, Dr Handy Wing mengatakan, jumlahnya hampir 100 pasien. “Sudah hampir 100 pasien yang saya tangani operasi Bariatric Surgery-nya, termasuk yang di OMNI Hospitals Alam Sutera ini. Kebanyakan dari pasien, atau 80 persen dari mereka yang menjalani operasi adalah perempuan karena memang mereka paling sensitif dalam hal berat badannya,” ungkapnya.
Padahal, operasi Bariatric Surgery ini bukan semata untuk menguruskan badan saja. Lebih dari itu, operasi ini adalah untuk menyelamatkan pasien dari ancaman komplikasi penyakit yang begitu banyak akibat obesitas.
“Pasien itu rata-rata punya berat badan awal sebelum operasi adalah lebih dari 100 kg. Ini sudah masuk kategori obesitas yang berbahaya, sebenarnya. Tapi, kalau obesitasnya cuma kelebihan berat badan 5 sampai 10 kg saja, maka akan saya tolak melakukan operasi Bedah Bariatrik. Sebagai gantinya, saya sarankan mereka melakukan alternatif lain yang bukan operasi, seperti diet, olahraga teratur, pola hidup sehat dan lainnya. Buat apa kita memotong lambung dengan operasi Bariatric Surgery ini, kalau masih bisa melakukan penurunan berat badan dengan alternatif lain tanpa operasi,” tutur Dr Handy.
Diantara sebegitu banyak pasien obesitas yang pernah ditangani operasi Bedah Bariatrik, Dr Handy menunjukkan fakta dan data tentang penurunan berat badan dua orang diantara mereka. Misalnya, pasien perempuan berinisial ‘Fr’ yang melakukan operasi pada 10 September 2015. Berat badan awal sebelum operasi adalah 110 kg. Dan, catatannya kemudian menunjukkan perkembangan positif, karena seminggu sesudah operasi, berat badan susut menjadi 102 kg. Sedangkan 3 bulan kemudian, berat badannya kembali berkurang jadi 80 kg. Dan, sesudah satu tahun pasca operasi Sleeve Gastrectomy, ‘Fr’ memiliki berat badan normal yakni 68 kg.
“I feel good. Healthier than I was,” kata Mitch yang rajin membuat Video Blogging melalui akun YoutubeVSG Mitch. Vlog yang diunggah Mitch menjadi saksi betapa sukses operasi Bariatric Surgery yang dilaksanakan, karena dari waktu ke waktu menampakkan berat badannya yang semakin proporsional.
Dalam salah satu Vlog-nya Mitch memaparkan opininya bahwa banyak warga Jakarta yang berjuang menurunkan berat badan atau mengatasi obesitas. Faktor penyebabnya karena tidak melakukan diet, gaya hidup yang tidak sehat, dan jarangnya melakukan olahraga.
“Jakarta termasuk kota besar di Asia yang kurang bersahabat dengan pejalan kaki. Jakarta is not pedestrian friendly. Karena itu, banyak orang yang tidak suka berolahraga jalan kaki. Tidak seperti di Taiwan misalnya, yang cukup nyaman untuk berjalan kaki dari apartemen tempat saya tinggal menuju ke kantor. Belum lagi, makanan-makanan di Jakarta itu begitu bahaya untuk dikonsumsi oleh mereka yang hendak menurunkan berat badan. Sebut saja misalnya, fried noodle yang begitu fantastic and great tetapi sebenarnya not very healthy. Atau, menu fried rice yang biasanya masih ditambahkan fried chicken dengan disajikan menggunakan big plate,” tutur Mitch sambil bangga memperlihatkan sudah tidak ada lagi Turkey Neck atau Leher Kalkun --- kulit wajah yang kendur atau menggelambir --- di bawah dagu.
Lantas, berapa biaya untuk melakukan operasi Bedah Bariatrik ini? Dr Handy bersedia menyebutkan estimasi besarannya. “Biaya operasinya memang terbilang mahal. Sekitar 40 sampai 70 juta rupiah, tergantung dari kelas kamar perawatan yang digunakan, karena pasca operasi pasien harus opname selama 2 hari. Yang bikin mahal itu titanium stapler untuk proses pemotongan lambung, karena kita masih harus mengimpor dengan harga Rp 3 juta per unit. Sementara untuk satu lambung itu diperlukan 5 sampai 6 unit titanium stapler,” ungkap Dr Handy.
Titanium, menurutnya lagi, adalah metal yang sifatnya sangat kuat, rigid, sangat ringan, tidak bereaksi terhadap jaringan dan dapat bertahan seumur hidup karena tidak korosif. Pada saat diaplikasikan titanium stapler akan menempatkan 6 layer atau 6 baris dari titanium, masing-masing 3 layer pada dua sisi. Sehingga akan membuat lambung yang terbentuk baru itu akan merapat dan kuat hanya dalam hitungan detik, dengan demikian risiko kebocoran akan bisa dihindari.
“Dengan alat canggih titanium stapler yang langsung menutup bekas sayatan di lambung, maka hampir tak pernah ada darah yang ditimbulkan pada saat operasi. Paling-paling hanya 5 cc sampai 10 cc darah yang ada. Malah, selama hampir 100 pasien melakukan operasi di sini, tak pernah ada dilakukan penambahan darah atau transfusi darah kepada pasien,” jelas Dr Handy.
Bila dibandingkan dengan tarif operasi yang sama, ujar Dr Handy, di luar negeri biayanya bisa menghabiskan biaya Rp 200 jutaan. Meskipun, untuk di Amerika Serikat, Australia dan Singapura misalnya, operasi ini sudah di-cover oleh pihak Asuransi.
Hasil yang memuaskan ini akan membawa dampak kesehatan yang begitu berarti, karena manfaatnya akan begitu terasa, mulai dari penurunan berat badan yang signifikan, perbaikan dari (ancaman) penyakit diabetes tipe 2, penurunan tekanan darah, penurunan kolesterol, perbaikan gangguan napas, berkurangnya nyeri sendi dan mobilitas bertambah, dan rasa percaya diri yang semakin meningkat.
o o o O o o o
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H