Untuk memberikan dukungan bagi para start up muda yang kreatif melakukan inovasi dalam mengembangkan pendidikan berbasis teknologi di Indonesia, Bank Central Asia (BCA) melalui program Bakti BCA menggelar forum pertemuan untuk generasi muda yang ingin berpartisipasi mengembangkan pendidikan berbasis teknologi, khususnya bidang pengajaran coding di Indonesia. Coding umumnya diartikan sebagai pemrograman.
Acara yang disajikan dalam bentuk talkshow dengan nama ‘CoDe @BCA’ ini bertajuk ‘Bagaimana Start Up Memberikan Manfaat Untuk Anak-Anak’. Diselenggarakan di lantai 22 Menara BCA Grand Indonesia, Jakarta, pada Rabu, 30 November 2016 kemarin, talkshow yang merupakan salah satu kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) ini menggandeng kerjasama dengan komunitas Code Margonda.
Tampil tiga pembicara yang merupakan pakar wirausaha bidang edukasi coding dalam dunia teknologi digital, yaitu Founder Clevio Aranggi Soemardjan, Co-Founder Coding Indonesia Kurie Suditomo, dan CEO Cody’s App Academy Wisnu Sanjaya. Sedangkan Head of e-Business Technology Kementerian Kominfo Sonny Sudaryana hadir sebagai pembicara tamu yang diantaranya menyampaikan target Pemerintah untuk menggesa peluncuran 1.000 start up yang mampu berkompetisi pada level internasional hingga 2020 nanti. Sonny juga menyinggung rencana dan kebijakan Kementerian Kominfo yaitu Palapa Ring yang akan menyatukan seluruh kabupaten/kota se-Indonesia menggunakan jaringan fiber optik.
Didi menjelaskan, Code Margonda sendiri membuka kelas pembelajaran bagi siapa saja yang ingin belajar Animasi, Android, iOS hingga kelas lanjutan.
“Kami menyediakan kelas-kelas pembelajaran dari yang berbayar hingga free. Selama tiga tahun berdiri, kami sudah dikunjungi 100.000 orang, dan memiliki 1.200-an komunitas beraneka latarbelakang yang bergabung didalam aneka kegiatan. Dari tempat kami terlahir start up lokal, nasional bahkan hingga level internasional. Salah satunya bahkan baru kembali dari melakukan unjuk karya ke Istanbul, Turki, yaitu custom yang berkenaan dengan kemudahan memperoleh jasa layanan tukang jahit. Para tukang jahit ini kebanyakan belum punya market, tetapi karena kemudian terkoordinir melalui platform digital, maka pesanan jahitan dapat semakin banyak. Awalnya, hanya mencakup satu tukang jahit, kini sudah bergabung 20 tukang jahit,” urai Didi di hadapan sekitar 100 penggiat start up digital se-Jabotabek yang hadir memenuhi Ruang Break Out.
Sementara itu, General Manager Corporate Social Responsibility (CSR) BCA Inge Setiawati mengatakan, sebagai salah satu bank yang peduli perkembangan teknologi digital, BCA menjadikan ajang ‘CoDe @BCA’ ini sebagai upaya mendorong munculnya anak-anak muda maupun siapa saja untuk meraih sukses menjadi wiraswasta dengan memahami bisnis-bisnis start up.
“BCA adalah salah satu bank yang sangat peduli dengan perkembangan teknologi digital. Kami melihat, antara perkembangan teknologi digital dan generasi muda saat ini harusnya bisa disejajarkan. Teknologi digital bagi anak-anak itu tidak selamanya selalu negatif. Banyak juga hal positif yang bisa dimanfaatkan oleh anak-anak untuk masa depan mereka. Kedepannya, mereka ini tidak harus menjadi pegawai, baik di instansi pemerintah maupun swasta. Kita justru meng-encourage anak-anak muda zaman sekarang yang sebetulnya ingin bekerja secara lebih bebas, memenuhi inovasi-inovasi dan kreatifitas yang tinggi, sehingga melalui ajang ini seharusnya menjadi jalan untuk meraih masa depan, atau memberikan wawasan kepada mereka,” tutur Inge.
Secara praktik, Inge menambahkan, BCA memiliki program Sakuku yang sebenarnya berasal dari hasil karya juara para anak-anak muda yang kreatif di ajang FinHack 2016 belum lama ini. “BCA pernah buat FinHack yang merupakan ajang kontes aplikasi sistem pembayaran dan akhirnya menghasilkan karya-karya juara. Salah satunya bahkan menjadi produk BCA yang merupakan aplikasi sederhana untuk sharing bill. Aplikasi ini lalu jadi program Sakuku yang berasal dari pengayaan ide anak-anak muda kreatif juga inovatif,” bangga Inge.
Sekali lagi, kata Inge, pihaknya berharap penyelenggaraan panel-panel diskusi semacam ‘Code @BCA’ ini dapat semakin mendorong dan merangsang kreativitas generasi muda Indonesia untuk terus berkarya dalam menciptakan bisnis start up yang inovatif.
“Sudah saatnya generasi muda memberikan nilai tambah melalui usaha yang mereka rintis. Potensi generasi muda untuk berkiprah di jalur wirausaha karena bertumpu pada kekuatan kreativitas dan inovasi sesuai dengan perkembangan teknologi saat ini,” tutur Inge.
Menyitir pendapat Profesor Scot Osterweil dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Aranggi Soemardjan mengatakan bahwa, bermain adalah belajar itu sendiri bagi anak-anak.
“Anak saya sendiri pada usia kelas 3 SD mengalami masalah pada hubungan sosial dengan teman-temannya, plus juga termasuk seorang anak yang introvert. Bahkan, saya dan istri saya, Sisca yang kebetulan seorang Psikolog Anak, sampai-sampai membawa anak saya ini untuk menjalani terapi akibat permasalahan pada hubungan sosial ini. Nah, ini pula yang mendasari kenapa kami membuat kegiatan camp di Clevio. Ketika anak saya kelas 4 SD, ia tertarik untuk membuat game melalui program Android, dan ternyata kemampuannya bagus sekali ketika membuat game itu. Intinya, kami meyakini benar bahwa bermain itu belajar. Bermain itu sangat powerful bagi anak-anak. Kalau permainannya hal-hal yang baik maka hasilnya pun akan baik. Bermain itu begitu impresif bagi anak, selain mengembangkan imajinasi anak itu sendiri. Penting untuk orangtua memegang prinsip what does he play, how does he play, dan who does he play with,” ujarnya seraya menghimbau agar orangtua juga belajar bermain game bersama dengan anak untuk perlahan-lahan mempraktikkan konsep parenting yang baik.
Sedangkan bagi Wisnu Sanjaya, anak-anak yang hobi dan maniac bermain games maka harus diperhatikan lagi sejumlah kebiasaan berikutnya. “Sesudah hobi main game, orangtua jangan terburu-buru menghalang-halangi anak menjadi gamer. Lakukan penelitian berikutnya tentang semua kebiasaan anak, karena boleh jadi justru hal ini sesuatu yang bagus. Kalau anaknya punya hobi main game sekaligus gemar baca komik, senang menggambar dan membuat cerita, maka ini adalah ciri-ciri anak yang sebenarnya berbakat untuk menciptakan games. Kalau sudah bisa membuat game pada usia anak-anak, mustinya orangtua malah senang dan bangga. Karena, tidak banyak orangtua yang sudah menemukan bakat anaknya sejak kecil,” ujar CEO Cody’s App Academy ini.
Sementara itu, Kurie Suditomo menyatakan, anak-anak zaman sekarang apabila memegang gadget terlihat begitu cepat sekali melakukan adaptasi.
“Mereka cepat sekali membuka program di kiri dan kanan, bahkan aplikasi di atas juga bawah pun mudah sekali mereka kuasai. Karena, mereka jauh lebih cepat dalam menangkap kemampuan menguasai gadget. Seolah-olah sudah ada blueprint dalam otak anak-anak itu. Hal ini dimungkinkan karena anak-anak zaman sekarang ini lebih cepat dalam menguasai pembelajaran coding bila dibandingkan dengan anak-anak generasi sebelumnya, yaitu anak-anak yang hanya berhenti belajar komputer pada program Microsoft Office saja,” jelas Co-Founder Coding Indonesia ini.
Karena itu, Kurie memberi saran, daripada memberikan kontrol yang begitu ketat terhadap anak dalam bermain games yang isinya hanya berupa larangan ini dan itu, maka akan lebih baik bila orangtua memberikan tools kepada anak-anak yang hobi bermain games.
“Tools ini misalnya, meminta anak untuk mengerjakan sesuatu yang lebih berupa pengembangan atas games tersebut. Contoh, bila si anak sudah bisa membuat tokoh kucing dalam game tersebut bergerak, maka untuk selanjutnya beri tantangan lagi kepada si anak untuk membuat agar si kucing melakukan suatu aktivitas tertentu lainnya. Hal ini akan lebih menantang anak untuk berpikir bagaimana mewujudkan tantangan dari orangtua mereka tersebut,” terang Kurie seraya menyebutkan bahwa begitulah pada dasarnya bagaimana cara mengajarkan coding pada anak.
Dengan meningkatkan terus kemampuan si anak dalam memainkan game, imbuh Kurie, sebenarnya secara perlahan hal ini dapat terus meningkatkan kemampuan anak tersebut secara bertahap.
“Melakukan hal demikian, sebenarnya anak tersebut semakin terus belajar Matematika tanpa ia sadari. Kalau sejak awal kita bilang, ayo belajar Matematika, tentu si anak bisa-bisa enggan melakukannya. Tetapi, kalau kita bilang belajar membuat game, maka anak tadi akan antusias, padahal sebenarnya tetap saja itu adalah pembelajaran Matematika. Maka tepat seperti dikatakan Aranggi Soemardjan dengan mengutip Profesor Scot Osterweil tadi, bahwa sesungguhnya bagi anak-anak, bermain adalah belajar itu sendiri,” urai Kurie.
“Seperti biasanya, untuk menjawab hal tersebut saya selalu menasehati para orangtua tadi, bahwa sebenarnya bukan gamesyang salah, tetapi kesalahan terletak pada masalah parenting. Untuk itu, orangtua harus membuka diri dari ketakutan-ketakutan akan dampak negatif dari games, misalnya dengan mendiskusikan atau bertanya langsung kepada si anak tentang gamesyang mereka mainkan, dan apa yang menjadi tema dari games tersebut. Kita tidak pernah tahu apa sebenarnya yang menjadi target dari permainan games yang dimainkan anak-anak. Tetapi sebenarnya, hal itu merupakan bahasa Calistung (membaca, menulis dan berhitung) bagi anak-anak zaman sekarang penghobi banget main games yang sesuai dengan masanya,” tutur Kurie.
Kurie membagi dua kategori games yang biasa ada di smartphonedan iPad. “Seluruh gamesyang ada itu, merupakan produk dari industri produsen games. Sebelum masuk ke industri, games itu saya bagi jadi dua tingkatan yaitu created computing dan talent scouting. Untuk tingkat created computing tidak akan bisa menyinggung quality control dan standarisasi. Logikanya, kita tidak bisa melakukan standarisasi dari sebuah taman bermain untuk anak-anak. Coding Indonesia sendiri punya banyak game dari berbagai sumber termasuk mancanegara, tetapi masing-masing kita teliti kelebihan dan kekurangannya. Nah, dari sini, kita melakukan mixmatch, mana game yang cocok untuk kondisi tertentu, dan seterusnya,” ujar perempuan berambut pendek ini.
Sekilas BCA
Selain peduli perkembangan teknologi digital, BCA juga merupakan salah satu bank terkemuka di Indonesia yang fokus pada bisnis transaksi perbankan serta menyediakan fasilitas kredit juga solusi keuangan bagi segmen korporasi, komersial dan UKM serta konsumer. Pada akhir September 2016, BCA memfasilitasi layanan transaksi perbankan kepada 15 juta rekening nasabah melalui 1.204 cabang, 17.057 Automatic Teller Machine, dan ratusan ribu Electronic Data Capture dengan dilengkapi layanan internet banking serta mobile banking. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H