“Sudah saatnya generasi muda memberikan nilai tambah melalui usaha yang mereka rintis. Potensi generasi muda untuk berkiprah di jalur wirausaha karena bertumpu pada kekuatan kreativitas dan inovasi sesuai dengan perkembangan teknologi saat ini,” tutur Inge.
Menyitir pendapat Profesor Scot Osterweil dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Aranggi Soemardjan mengatakan bahwa, bermain adalah belajar itu sendiri bagi anak-anak.
“Anak saya sendiri pada usia kelas 3 SD mengalami masalah pada hubungan sosial dengan teman-temannya, plus juga termasuk seorang anak yang introvert. Bahkan, saya dan istri saya, Sisca yang kebetulan seorang Psikolog Anak, sampai-sampai membawa anak saya ini untuk menjalani terapi akibat permasalahan pada hubungan sosial ini. Nah, ini pula yang mendasari kenapa kami membuat kegiatan camp di Clevio. Ketika anak saya kelas 4 SD, ia tertarik untuk membuat game melalui program Android, dan ternyata kemampuannya bagus sekali ketika membuat game itu. Intinya, kami meyakini benar bahwa bermain itu belajar. Bermain itu sangat powerful bagi anak-anak. Kalau permainannya hal-hal yang baik maka hasilnya pun akan baik. Bermain itu begitu impresif bagi anak, selain mengembangkan imajinasi anak itu sendiri. Penting untuk orangtua memegang prinsip what does he play, how does he play, dan who does he play with,” ujarnya seraya menghimbau agar orangtua juga belajar bermain game bersama dengan anak untuk perlahan-lahan mempraktikkan konsep parenting yang baik.
Sedangkan bagi Wisnu Sanjaya, anak-anak yang hobi dan maniac bermain games maka harus diperhatikan lagi sejumlah kebiasaan berikutnya. “Sesudah hobi main game, orangtua jangan terburu-buru menghalang-halangi anak menjadi gamer. Lakukan penelitian berikutnya tentang semua kebiasaan anak, karena boleh jadi justru hal ini sesuatu yang bagus. Kalau anaknya punya hobi main game sekaligus gemar baca komik, senang menggambar dan membuat cerita, maka ini adalah ciri-ciri anak yang sebenarnya berbakat untuk menciptakan games. Kalau sudah bisa membuat game pada usia anak-anak, mustinya orangtua malah senang dan bangga. Karena, tidak banyak orangtua yang sudah menemukan bakat anaknya sejak kecil,” ujar CEO Cody’s App Academy ini.
Sementara itu, Kurie Suditomo menyatakan, anak-anak zaman sekarang apabila memegang gadget terlihat begitu cepat sekali melakukan adaptasi.
“Mereka cepat sekali membuka program di kiri dan kanan, bahkan aplikasi di atas juga bawah pun mudah sekali mereka kuasai. Karena, mereka jauh lebih cepat dalam menangkap kemampuan menguasai gadget. Seolah-olah sudah ada blueprint dalam otak anak-anak itu. Hal ini dimungkinkan karena anak-anak zaman sekarang ini lebih cepat dalam menguasai pembelajaran coding bila dibandingkan dengan anak-anak generasi sebelumnya, yaitu anak-anak yang hanya berhenti belajar komputer pada program Microsoft Office saja,” jelas Co-Founder Coding Indonesia ini.
Karena itu, Kurie memberi saran, daripada memberikan kontrol yang begitu ketat terhadap anak dalam bermain games yang isinya hanya berupa larangan ini dan itu, maka akan lebih baik bila orangtua memberikan tools kepada anak-anak yang hobi bermain games.
“Tools ini misalnya, meminta anak untuk mengerjakan sesuatu yang lebih berupa pengembangan atas games tersebut. Contoh, bila si anak sudah bisa membuat tokoh kucing dalam game tersebut bergerak, maka untuk selanjutnya beri tantangan lagi kepada si anak untuk membuat agar si kucing melakukan suatu aktivitas tertentu lainnya. Hal ini akan lebih menantang anak untuk berpikir bagaimana mewujudkan tantangan dari orangtua mereka tersebut,” terang Kurie seraya menyebutkan bahwa begitulah pada dasarnya bagaimana cara mengajarkan coding pada anak.
Dengan meningkatkan terus kemampuan si anak dalam memainkan game, imbuh Kurie, sebenarnya secara perlahan hal ini dapat terus meningkatkan kemampuan anak tersebut secara bertahap.