Sejumlah pekerja tampak sibuk memasang marmer. Batuan kristalin kasar yang merupakan produk tambang dari batu kapur atau dolomit ini menghias sisi kiri dan kanan trotoar Jalan Raya Ciater, Tangerang Selatang (Tangsel) sehingga menjadi cantik. Pemasangan marmer ini selain berfungsi mempercantik fisik kota, juga dapat dimanfaatkan warga ber-jogging.
Pemanfaatan produk tambang dalam kehidupan begitu banyak apabila ingin disebutkan. Ketika kita naik mobil misalnya. Bodymobil itu terbuat dari baja anti karat yang “disediakan” alam dalam bentuk bijih besi, nikel laterit dan bauksit.
Hal yang sama terjadi pada busi. Komponen ini terbuat dari isolator yang mampu menahan suhu begitu tinggi. Dan asal tahu saja, alam yang begitu kaya “menyediakan” bahan bakunya dalam bentuk kaolin, feldspar, ball clay dan beraneka jenis logam.
Itu cuma busi yang begitu kecil bentuknya. Bagaimana dengan kaca mobil kita? Kembali alam “menyuguhkan” dalam bentuk silika dengan kualitas tinggi. Tambah lagi kalau kita melongok lagi ke lampu kendaraan yang didalamnya tedapat elemen kawat juga kaca. Itu semua disediakan alam berupa silica, wallfram, tembaga dan chrome.
Satu lagi kalau kita mau sebut, shell accu mobil. Tahu enggak kalau itu berasal dari lempengen timah hitam (Pb) dan antimony(Sb). Lagi-lagi, alam menyiapkan semuanya dalam bentuk galena (Pbs) dan logam antimony.
Hampir mirip dengan timah, hardware komputer yang saya pakai juga pasti terkandung penggunaan tembaga (Cu atau cuprum). Kebanyakan tembaga ditambang atau diekstraksi dalam bentuk tembaga sulfide dari deposit atau tambang terbuka. Dalam penggunaannya, tembaga dipilih sebagai konduktor listrik terbaik karena tahan korosi, ekspansi termal rendah, konduktivitas termal tinggi, mudah disolder dan dipasang. Tembaga dipercaya sudah dimanfaatkan sejak 10.000 tahun lampau. Bahkan, ditemukan seuntai kalung tembaga di Irak yang diyakini berumur 9.500 sebelum masehi (SM).
Begitu banyak produk tambang yang bermanfaat dalam kehidupan. Tak salah apabila lomba blog di Kompasiana ini bertajuk #TambangUntukKehidupan.
Produk tambang yang banyak gunanya bagi dinamika kehidupan kita tak lepas kaitannya dengan bisnis tambang itu sendiri. Didalamnya ada regulator, regulasi, kontraktor, kontrak, sub kontrak dan seabrek urusan bisnis lain dari hulu sampai hilir.
Dari bisnis pertambangan yang njlimet dan panjang rentetannya, ada regulasi yang terkait Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility atau CSR). Melalui program-program CSR yang wajib dijalankan setiap pelaku industri tambang, muncul beragam produk maupun aktivitas yang positif dan memberdayakan masyarakat sekitar. Artinya, alam tidak hanya disayat-sayat isi perutnya lalu digali kandungan material didalamnya, tetapi juga harus diperbaiki kembali luka sayatan-sayatan tersebut demi kelestarian alam. Masyarakat sekitar tentu harus merasakan dampak positif dari bisnis pertambangan di wilayahnya. Inilah fungsi CSR.
Program CSR menjadi amanat UU No.40/2007tentangPerseroan Terbatas yang diantaranya mewajibkan setiap perseroan dengan kegiatan utamanya bergerak di bidang Sumber Daya Alam (SDA) agar melakukan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP).
Melalui bermacam-macam program CSR, kita dapat semakin lebih memahami makna tagar #TambangUntukKehidupan, karena masyarakat menjadi berdaya juga sejahtera, tidak hanya yang berada di wilayah sekitar tetapi juga lebih meluas lagi.
Makanya jangan heran apabila saya menunjukkan foto tiga jenis panganan kering, stick rumput laut, jagung ketan dan abon cumi. Lho, apa hubungannya panganan kriuk ini dengan pertambangan? Ya, inilah sedikit diantara sekian banyak produk yang dihasilkan masyarakat sekitar wilayah pertambangan, tepatnya di Sapeken, Sumenep, Jawa Timur.
Pelaku usaha rumahan yang memproduksi panganan kering ini tak lain adalah mitra binaan dari SKK Migas dan Kangean Energy Indonesia (KEI). SKK Migas atau Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi adalah institusi yang dibentuk oleh pemerintah Republik Indonesia melalui Perpres Nomor 9/2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Sedangkan KEI, merupakan pebisnis swasta yang menambang di sektor oil and gas.
Mau tahu apa saja produknya? No problem saya sebutkan beberapa saja yak. Ada udang kering, ikan teri nasi, kerupuk ikan bandeng laut, udang papai, amplang berau, abon tuna, ikan kering kerupuk, kerupuk ikan tenggiri, kue cincin, keminting, kue satu kacang, krispi kacang, minyak urut dayak, minyak bulus, batik etnik, kalung dan gelang manik-manik, sarung tenun, tas rotan dan masih banyak produk khas lainnya. Kios yang menjual Oleh-oleh Khas Berau ini tak lain adalah Rumah Kemas Basinang.
Ketika saya berkunjung ke penambangan bahan baku untuk membuat semen milik PT Semen Padang beberapa waktu lalu, salah satu program CSR yang dilakukan perusahaan ini antara lain memberdayakan usaha batik etnik dari pengrajin sekitar. Salah satunya pengrajin Batik Minang Tanah Liek. Batik etnik yang diproduksi pengrajin ini sangat unik, karena proses warna-warninya dihasilkan melalui pencelupan berbagai bahan alami, seperti tanah liat, kulit rambutan, kulit jengkol, gambir dan lainnya.
Hal yang mirip sama dilakukan oleh PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menggelar banyak program CSR. Mulai dari upaya konservasi tukik atau penyu laut di Pantai Maluk, bantuan Posyandu di Desa Mantun, pengembangan Pasar Maluk, meningkatkan edukasi di SDN Benete Maluk, Bank Sampah Lakmus di Desa Lakmus, kredit mikro Yayasan Olat Parigi, pengembangan industri rakyat perkebunan lidah buaya dan beras merah di Desa Sekongkang Bawah, hingga penguatan Koperasi Kemuning di Desa Kemuning Kecamatan Sekongkang. (Buka-bukaan Dunia Tambang, Mizan Pustaka, hal.136)
Bersama LPMAK, peningkatan kapasitas masyarakat pun dilaksanakan. Mulai dari menitikberatkan pada, pertama, pendidikan dan pelatihan. Situs resmi PTFI menyebutkan, rendahnya Angka Partisipasi Sekolah disebabkan oleh terbatasnya akses dan fasilitas pendidikan bagi masyarakat di Kabupaten Mimika serta rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Dari fakta ini, PTFI dan Biro Pendidikan LPMAK melakukan program pengembangan masyarakat dalam bidang pendidikan untuk membuka akses seluas-luasnya kepada putra-putri daerah memperoleh hak pendidikan layak. Caranya, menggandeng kerjasama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Mimika, Lembaga Pendidikan, Konsultan Pendidikan, dan mitra-mitra lainnya.
PTFI dan LPMAK sejak 1996 hingga 2011 telah memfasilitasi 8.049 siswa dalam program beasiswa mulai dari tingkat SD sampai dengan S3, dan secara rutin melakukan pemantauan langsung ke sekolah-sekolah dimana para penerima beasiswa tersebut menempuh pendidikan.
Dalam upaya meningkatkan kualitas bagi siswa-siswi dari daerah terpencil, PTFI dan LPMAK bekerjasama dengan Yayasan Pesat dan Keuskupan Timika mengeloka empat asrama putra dan putri di Mimika, dan dengan Yayasan Binterbusih di Jawa Tengah. Pendidikan berpola asrama ini bertujuan menanamkan sikap disiplin bagi siswa-siswi agar memiliki kemandirian dan memiliki pola hidup teratur.
PTFI juga membangun sebuah Institut Pertambangan untuk melatih putra dan putri asli Papua agar terampil menjadi pekerja tambang kelas dunia yang siap bersaing di dunia industri pertambangan.
Kedua, pemberdayaan perempuan. PTFI melalui Koperasi Aitomona sejak 2008 lalu mengedepankan pemberdayaan perempuan Papua dengan cara mengajarkan keterampilannya sehingga dapat berperan dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Lewat berbagai pelatihan seperti mengelola keuangan keluarga, menjahit sampai dengan membuat makanan dari bahan lokal diajarkan agar kelak dapat tecipta industri skala rumah tangga.
Ketiga, peningkatan kapasitan lembaga. PTFI terus berusaha dan mendukung lembaga-lembaga yang menjadi representatif masyarakat lokal dalam meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas pengelolaan dana program pengembangan masyarakat dari PTFI. Lembaga-lembaga yang menerima dana program pengembangan masyarakat adalah LPMAK, Yayasan Tuarek Natkime, Yayasan Waartsing, Yayasan Yu-Amako, Yayasan Hak Asasi Manusia dan Anti Kekerasan (YAHAMAK) dan Forum MoU 2000. Melalui auditor independen dan pelatihan pembuatan laporan keuangan sangat diperlukan untuk meningkatkan akuntabilitas lembaga, sehingga masyarakat dapat mengetahui penggunaan dana tersebut dan konflik kepentingan dapat dihindari.
Tak ketinggalan, program kesehatan masyarakat juga dilakukan dengan berfokus pada Kesehatan Ibu dan Anak, Pengendalian Malaria, Pengendalian HIV & AIDS, Pengendalian TB, Air bersih dan Sanitasi.
Khusus untuk program ekonomi, tujuannya dilaksanakan untuk mendukung pembangunan ekonomi masyarakat melalui pemanfaatan potensi sumberdaya alam di sekitar. Program ini mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat serta dipadukan dengan kearifan lokal. Contoh: program perikanan tangkap yang telah dimulai oleh PTFI pada 2009 dengan melibatkan LPMAK dan Koperasi Maria Bintang Laut (KMBL) dari Keuskupan Timika. PTFI, melalui tim Program Pendampingan dan Pengembangan Masyarakat Lima Desa (P3MD), memberikan pendampingan dan dukungan transportasi dan sumber daya manusia.
Program peternakan di Desa Wangirja (SP IX) dan Desa Utikini Baru (SP XII) di tujukan untuk meningkatkan keterampilan masyarakat dikampung tersebut. Program ekonomi di kedua kampung tersebut tidak terlepas dari program infrastruktur yang dibangun bagi masyarakat yang secara sukarela pindah dari kampung asal mereka di dataran tinggi ke dataran rendah.
Membaca sekilas apa yang sudah dilakukan sejumlah perusahaan melalui program CSR, rasanya kita bangga memiliki kekayaan alam yang berlimpah-ruah. Hasil bumi ini kemudian diolah, dan sebagian keuntungannya dikembalikan kepada masyarakat. Tak pelak, CSR merupakan pembangunan berkelanjutan yang memberdayakan kesejahteraan sosial masyarakat sekitar termasuk kelestarian lingkungan alamnya.
Menanti Jurus Pembenahan ala “Jonan - Arcandra”
Secara teknis, pertambangan berada dalam kewenangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Duet Ignasius Jonan sebagai Menteri ESDM dan Arcandra Tahar sebagai Wakil Menteri ESDM menakhodai kementerian teknis yang bertanggung-jawab atas lima undang-undang. Mulai dari energi (termasuk Energi Baru dan Terbarukan/EBT), minyak dan gas (migas), mineral dan batubara (minerba), panas bumi (geothermal), dan kelistrikan. Tantangan kerja bagi keduanya jelas teramat berat, mulai dari masalah legal yang utamanya terjadi pada minerba, dan mafia migas yang harus keduanya siasati dengan memainkan jurus sakti mandraguna.
Bagaimana kondisi terkini dari lima sektor ini? Mari kita tinjau pada dua sektor saja, migas dan minerba. Tabloid Kontan edisi 24 – 30 Oktober 2016 mengolah data dari berbagai sumber secara apik. Untuk Migas misalnya, kondisi saat ini digambarkan dalam kondisi yang kedodoran. Produksi minyak Indonesia terus merosot. Pada 2020 nanti, lifting minyak mentah diperkirakan tinggal 480 ribu – 550 ribu barel per hari (bph). Begitu juga dengan produksi gas Indonesia yang terus mengalami kondisi yang sama. Pada 2020 kelak, lifting gas diprediksi sekitar 1,1 juta – 1,2 juta barel setara minyak per hari (bsmph). Sementara pada sisi lain, konsumsi minyak Indonesia tumbuh tidak terkendali. Bahkan kini mencapai 1,6 juta bph dan meningkat jadi 2,2 juta bph dalam satu dasawarsa ke depan.
Menurut Taslim, ketahanan energi Nasional sudah dalam status genting. “Diperkirakan, mulai 2019 nanti, produksi minyak dan gas di Indonesia akan terus mengalami penurunan sampai dengan 2025. Untuk minyak, sebenarnya puncak produksi sudah mencapai tahap puncaknya pada 1995 (second peak oil year), lalu kemudian terus menerus terjadi penurunan, meski sempat naik pada 2016 ini, tapi setelah itu akan kembali turun lagi. Begitu pun gas bumi, puncak kiri dan kanan (peak gas) hanya terjadi pada 2010 dan 2018, sementara pada rentang kedua tahun ini terjadi fluktuasi yang cenderung turun. Nah, mulai 2019 nanti, barulah produksi minyak dan gas bumi diramalkan akan sama-sama terus menurun. Inilah yang dimaksud status “lampu merah” untuk kemandirian atau ketahanan energi Indonesia,” prihatin Taslim.
Kalau Taslim menyebut status ‘lampu merah’, sebenarnya hal ini sama saja artinya dengan apa yang di-wanti-wantiKontan. Apabila tidak ada eksplorasi sumur baru, maka dalam delapan tahun ke depan, cadangan minyak Indonesia akan habis. Sementara cadangan gas akan habis dalam tempo 10 tahun mendatang. Imbasnya, penerimaan negara dari sektor migas akan terus anjlok, dan impor migas semakin membebani neraca perdagangan Indonesia.
Masalahnya, ketika investor datang dan hendak melakukan eksplorasi juga eksploitasi sumur Migas di Indonesia, masuk akal apabila banyak sekali tantangan yang dihadapi. Bukan melulu soal kemampuan dan pengalaman an sich, tapi juga yang bersifat eksternal apalagi internal.
Meity selaku Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) menyampaikan, untuk melakukan eksplorasi seperti yang juga diharapkan Pemerintah tidak semudah membalik telapak tangan. Malah persoalannya membelit.
“Mulai dari harga minyak dunia yang semakin anjlok, meskipun disertai juga dengan penurunan sejumlah pos-pos biaya produksi. Adanya PP No.79/2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Migas Bumi, dimana PP ini diminta untuk segera direvisi. Biaya pengeboran eksplorasi yang makin mahal karena trend eksplorasi Migas mengarah ke wilayah Timur Indonesia yang notabene minim infrastruktur, dan offshore atau lepas pantai. Biaya operasional Migas yang ada saat ini semakin besar akibat sumur produksi yang dikelola sudah tua, sehingga laju produksi tidak berbanding lurus dengan biaya. Kondisi sumur produksi yang sudah tua menjadikan cost maintenance dan cost recovery menjadi mahal,” ungkapnya.
Pemerintah sendiri sebenarnya menyadari kondisi ketidaknyamanan ini. Lantaran dalam Nota Keuangan Beserta RAPBN 2017 disebutkan bahwa, secara umum, kinerja produksi minyak mentah di lapangan-lapangan migas nasional menunjukkan tren penurunan alamiah akibat kondisi sumur-sumur minyak yang sudah tua.
Di sisi lain, kegiatan eksplorasi yang dilakukan belum mampu memberikan hasil yang memadai untuk mengganti cadangan minyak yang telah diproduksi. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa blok utama penyumbang produksi minyak nasional seperti Blok Rokan dan Mahakam yang mengalami penurunan lifting secara bertahap.
Di samping itu, kondisi harga minyak dunia yang masih relatif rendah juga mengakibatkan banyak pelaku di industri hulu migas melakukan penundaan kegiatan investasi baik produksi, eksplorasi maupun pengembangan. Kendala lain yang masih sering dihadapi oleh industri hulu migas nasional antara lain: kendala operasional, upaya pembebasan lahan dan perizinan.
Menghadapi kondisi tersebut, Pemerintah terus berupaya melakukan koordinasi dan kerjasama yang baik dengan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) dan pemangku kepentingan lainnya untuk menjaga agar produksi minyak tidak terus menurun.
Upaya dimaksud antara lain melalui: (1) efisiensi penggunaan capital expenditure (Capex) dan operational expenditure (Opex) yakni dengan melakukan optimasi kegiatan pengeboran, (2) meningkatkan kegiatan kerja ulang (workover) dan perawatan sumur (well service) untuk mendapat tambahan produksi dari sumur-sumur yang ada, (3) mempertahankan kehandalan fasilitas produksi guna mengurangi kejadian gangguan produksi (unplanned shutdown), (4) menganalisis kembali kegiatan proyek dan rencana pengembangan yang keekonomiannya dipengaruhi oleh harga minyak, serta (5) mempertahankan kegiatan eksplorasi baik studi, survei seismik dan nonseismik, maupun pengeboran. Dengan mempertimbangkan potensi dan risiko operasional yang ada, serta upaya mitigasi risiko dimaksud, lifting minyak mentah pada 2017 diperkirakan sebesar 780 ribu bph.
Lebih lanjut, dukungan pembangunan infrastruktur gas yang memadai akan terus diupayakan seperti pengembangan jaringan gas kota, pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas, dan revitalisasi terminal gas domestik. Dengan mempertimbangkan kondisi, potensi, dan faktor risiko yang ada, lifting gas bumi diperkirakan sebesar 1.150 ribu bsmph.
Lantas, bagaimana dengan kondisi Minerba?
Setali tiga uang. Kondisinya perlu pembenahan reaksi cepat. Karena, terjadi inkonsistensi dalam mendorong hilirisasi mineral. Padahal, hingga kini baru dibangun 23 smelter, dan ditambah empat smelterlagi yang baru akan dibangun hingga akhir 2016. Penyebab ketidakkonsistenan ini karena Pemerintah dinilai kurang tegas menjalankan amanat UU No.4/2009 tentang Pertambangan Minerba.
Selain itu, mayoritas perusahaan tambang belum berstatus clean and clear. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengidentifikasi dari 11.000 izin tambang di Indonesia, sekitar 3.772 izin bermasalah. Lho, kenapa bisa begini? Desentralisasi yang mengakibatkan tumpang-tindih perizinan sehingga membuka patgulipat korupsi perizinan. Dan, banyak perusahaan tambang yang (berusaha) mangkir pajak.
Dua gambaran miris di sektor Minerba ini membawa dampak fatal. Pertama, operasional perusahaan tambah tidak memberikan manfaat maksimal untuk daerah dan negara. Kedua, kerusakan kawasan hutan sebagai akibat pertambangan yang menabrak aturan.
Membedah tambang dari sisi produk galian erat kaitannya dengan pemanfaatan dalam dinamika kehidupan. Tambang memang untuk kehidupan. Tapi, mematut tambang dari sisi perekonomian pun ternyata sangat berkorelasi dengan naik turunnya pendapatan juga belanja negara. Tak bisa disepelekan nilai sumbangsihnya terhadap penerimaan negara. Pada APBN 2015 misalnya, penerimaan negara secara total berjumlah Rp 1.793,6 triliun. Dari angka ini, SDA Migas menyumbang Rp 224,3 triliun, sedangkan SDA Non Migas menyokong Rp 30,0 triliun.
Terbayang kalkulasi risiko negatif ekonominya yang begitu besar bila sektor pertambangan tidak serius dibenahi atau dibiarkan stagnan dengan “ketidakhadiran” negara.
Peringatan yang seirama sebenarnya juga ditujukan agar duet “Jonan – Arcandra” segera aware dan ambil tindakan tegas terhadap maraknya tambang-tambang ilegal. Apa sudah sebegitu parah? Ya, sejumlah kasus sudah mengemuka dan mengancam kelestarian lingkungan hayati.
Setidaknya apa yang disampaikan Ketua Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan IPA Universitas Pattimura, Ambon, Yuthinus T Male seperti dimuat Kompas (19/9) harus menjadi perhatian. Misalnya, pekerja tambang ilegal yang menggunakan merkuri dan sianida di Gunung Botak, Maluku. Pemakaian merkuri untuk mendulang emas dipastikan bakal berdampak kerusakan jangka panjang. Air bekas proses pengikatan emas bisa merusak ratusan hektar kebun sagu dan areal persawahan warga.
Di Sulawesi Tengah beda lagi. Aktivitas penambangan liar justru sudah merambah dan menjarah hingga ke Taman Hutan Raya Sulteng. Padahal, taman hutan rakyat yang berada di perbukitan ini merupakan kawasan penyangga Kota Palu dan sangat vital mengendalikan bencana banjir maupun tanah longsor. Selain itu, sekitar 5.000 penambang liar di Poboya, disebut-sebut juga sudah menjarah 10 hingga 17 hektar kawasan Taman Nasional Lore Lindu yang mustinya haram untuk dieksploitasi.
Sesungguhnya, tambang untuk kehidupan!
Jangan biarkan siapa saja melakukan penambangan tanpa taat asas dan aturan. Apalagi tanpa tata kelola dan mengabaikan nasib masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H