Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Tanpa Tanam Pohon, Warga Tak Dapat Cap Stempel RW

1 November 2016   22:40 Diperbarui: 2 November 2016   02:09 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Generasi muda pun terlibat untuk menanam sayur secara hidroponik. (Foto: glintunggogreen.com)

Tuntutlah ilmu sampai ke Malang, Jawa Timur.
Lho, kok ke sana?
Ya, karena di sana ada Pak Bambang.

* * *

Pak Bambang yang dimaksud tak lain adalah Ir H Bambang Irianto (59). Ketua RW 023 Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing, Kota Malang ini namanya sudah meroket hingga mancanegara sebagai pegiat lingkungan yang sukses!

“Cuma” seorang Ketua RW saja kok bisa sampai mendunia? Hebat bener?

Bukan cuma hebat, bersama segenap dukungan warganya, Bambang sanggup menyulap lingkungan tempat tinggalnya yang semula negatif, menjadi destinasi favorit peneliti dan turis domestik maupun mancanegara.

“Pada masa lalu, janganlah pernah memarkir kendaraan bermotor begitu lama dan tanpa pengawasan di lingkungan tempat tinggal kami. Karena bisa saja, kaca spion hilang. Atau, helm pun raib. Angka kriminalitas tinggi,” kata Bambang ketika menjadi pembicara tunggal Seminar Gerakan Hijau Lingkungan Bersih yang diselenggarakan Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman (DKPP) Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Senin, 31 Oktober kemarin di kantor walikota.

Selain faktor keamanan yang rawan, kawasan RW tempat Bambang tinggal juga terkenal sebagai lokasi yang rapornya merah untuk ketenteraman dan ketertiban masyarakat. “Setiap malam Minggu, selalu saja ada yang mabuk dan berbuat onar, berkelahi dan segala macam,” kenang Bambang yang lahir di Malang, 5 Mei 1957.

Sejak Bambang kecil, sekitar tempat tinggal juga menjadi langganan banjir saat musim penghujan. Gang kecil yang menjadi jalan utama kondisinya rusak dan bergelombang sehingga gampang tergenang air. Akibatnya, sulit sekali dilakukan pengaspalan jalan.

Tingkat kesejahteraan masyarakat pun masih belum beranjak dari garis standar normal. “Banyak warga kami yang membuka usaha kecil-kecilan justru menjadi nasabah “BCA” atau Bank Cicilan Awal yang sebenarnya tak lain adalah rentenir. Kalau ada orang yang turun dari motornya, dengan tetap memakai jaket dan helm, kemudian mengeluarkan buku catatan kecil lalu keluar-masuk lorong-lorong kampung, maka itulah biasanya sosok rentenirnya,” terang Bambang disambut gelak tawa hadirin.

Bambang Irianto ketika menjadi pembicara tunggal dalam Seminar Gerakan Hijau Lingkungan Bersih di kantor Walikota Tangsel. (Foto: Gapey Sandy)
Bambang Irianto ketika menjadi pembicara tunggal dalam Seminar Gerakan Hijau Lingkungan Bersih di kantor Walikota Tangsel. (Foto: Gapey Sandy)
Satu-satunya piala yang berhasil direbut oleh pengurus RW 023 sebelumnya, adalah piala hasi menjuarai lomba memandikan jenazah. “Mungkin karena warga kami banyak yang mengalami over weight, sakit jantung, stroke, darah tinggi dan segala macam. Cukup banyak yang meninggal dunia, sehingga kami juga cukup sering praktik memandikan jenazah, sehingga pantas memang dan meraih piala tersebut,” kata Bambang yang kembali mengundang tawa peserta seminar.    

Uang Kas Nol Rupiah   

Sewaktu terpilih sebagai Ketua RW 023 pada 9 November 2012, Bambang serasa memegang amanah penderitaan rakyat. Betapa tidak, ketika serah-terima jabatan RW dari penjabat lama kepada Bambang, pundi-pundi kas yang ada di kantong sekretariat RW sama sekali kosong melompong.

“Uang kas nol rupiah. Semua dana tersisa dihabiskan untuk masa pemilihan RW lengkap dengan kampanye sampai kepada pergelaran acara serah-terima jabatan Ketua RW. Bayangkan, saya mulai bekerja dengan kas RW yang posisinya nol rupiah,” tutur Bambang.

Padahal, Rukun Warga 023 termasuk gemuk jumlah warganya. “Di RW kami, ada 3mpat RT yang seluruhnya terdiri dari 303 Kepala Keluarga. Total seluruhnya ada 1.086 jiwa. Sebagian besar pekerjaan warga kami adalah buruh dan membuka usaha kecil-kecilan,” ujar Bambang yang punya titel Sarjana Pertanian.

Meski “diwariskan” uang kas nol rupiah, tapi Bambang tidak galau, sensi apalagi baper. Ia justru semakin bertekad bulat untuk tidak mau hanya sekadar menengadahkan tangan minta bantuan dana kepada Lurah. Atau, cuma “menjajakan” jasa dengan mengharap imbalan seketip dua ketip manakala ada warga yang butuh tanda-tangan dan cap stempel RW.

“Saya tidak mau yang seperti itu. Maka dari itu, sebagai manajer wilayah, saya bertekad untuk mempelajari potensi kewilayahan, yang ternyata, lokasi tempat tinggal kami berada di jalur strategis. Modal yang paling utama adalah karena di depan gang kami adalah jalan protokol, yang bahkan apabila Presiden RI Joko Widodo bolak balik ke Malang, pasti melintasi wilayah kami. Termasuk, kalau naik kereta api menuju Malang pun pasti akan melintasi wilayah kami, tidak mungkin lewat kota wisata, Batu,” tuturnya.

Nah, berbekal pembelajaran geografi dan demografi kewilayahan serta menjalankan fungsi manajer wilayah secara ethos pathos logos, mulailah Bambang bergerilya mewujudkan Tata Kelola Wilayah Berbasis Gotong-Royong.

Bambang Irianto memaparkan upaya yang dilakukan dalam mengubah mindset warga. (Foto: Gapey Sandy)
Bambang Irianto memaparkan upaya yang dilakukan dalam mengubah mindset warga. (Foto: Gapey Sandy)
Menurut Bambang, untuk mengubah semua perilaku buruk yang terlanjur menempel di lingkungan RW-nya, “Membangun lingkungan itu berarti sebanyak 60 persen adalah sama dengan mengubah mindset atau pola pikir, mental, dan budaya. Bahwa mengubah pola pikir masyarakat itu membutuhkan dana, jawabannya adalah benar, tetapi ini hanya menyumbang sekitar 20 persen saja. Sedangkan faktor ilmu pengetahuan hanya mendukung 10 persen. Sisanya, 10 persen lagi dilakukan dengan cara melakukan lomba, pressure dan regulasi,” urai Bambang.

Andaikata ada yang coba mengubah wajah suatu kampung dengan sekadar menggelar lomba ini-itu, maka efektivitasnya hanyalah 3,3 persen dari total upaya mengubah pola pikir masyarakat.

“Kalau cuma melaksanakan lomba ini-itu, maka ibaratnya apa yang dilakukan hanyalah sekadar supaya menang lomba. Ini sesuatu yang salah orientasi. Upaya melakukan perubahan lingkungan bisa jadi melempem dan patah semangat karena jumlah partisipasi warga yang sangat sedikit. Padahal seharusnya, partisipasi sebanyak 10 persen warga saja sudah merupakan jumlah yang luar biasa untuk mengubah wajah perkampungan,” terang Bambang sembari menampilkan meme pergelaran lomba-lomba antar kampung seperti seorang bocah gemuk yang wajahnya didandani bedak putih serampangan dengan diberi tulisan “tiwas dandan gak sido budal” (terlanjur sudah dandan tapi malah tidak jadi pergi).

Untuk membongkar mindset warga menuju perubahan yang baik, Bambang teringat semangat the founding fathers negara Indonesia yang sudah menanamkan jargon ’Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya’. “Semangat ini kemudian saya ejawantahkan dengan cara, dimulai dari sekarang juga; dimulai dari diri sendiri; dan dimulai dari yang mudah. Semua itu harus didasarkan pada dimulai dengan niat ibadah!” tegas Bambang.

Tapi, bukan berarti Bambang dengan mudah mengubah mindset warganya. Setahun upaya mengubah pola pikir itu hanya “dihabiskan” dengan melakukan banyak pertemuan atau rapat, diskusi, pro-kontra dan lainnya bersama warga.

Nah, dari frekwensi pelaksanaan rapat yang banyak dilakukan sepanjang satu tahun itu, akhirnya tercapai kesamaan pendapat dan kesepakatan bersama untuk melakukan gerakan penghijauan di RW 023. Tapi, meski sudah diketok palu dan disahkan, tetap saja kendala menghadang, karena para RT sepakat bertanya: “Mana dana untuk penghijauannya, Pak RW?” Padahal seperti sudah dijelaskan sebelumnya, dana kas RW itu kosong melompong.

Menyadari bahwa uang kas RW sama sekali nihil untuk menggerakkan penghijauan, spontan banyak warga yang mulai pesimis akan keberhasilannya. “Malah muncul istilah ‘ati karep, bondo cupet’ yang artinya ‘maksud hati benar-benar kepingin tetapi apa daya tidak ada dana’. Beginilah gambaran kepesimisan warga waktu itu,” cerita Bambang.

Warga yang tidak menanam pohon, tidak akan dilayani permintaan tandatangan dan cap stempel RW. (Foto: Gapey Sandy)
Warga yang tidak menanam pohon, tidak akan dilayani permintaan tandatangan dan cap stempel RW. (Foto: Gapey Sandy)
Kesamaan pendapat dan kesepakatan bersama untuk melakukan gerakan penghijauan di lingkungan RW 023 memang terkendala ketiadaan dana kas, tetapi hal ini tidak menyurutkan langkah Bambang untuk maju terus! “Sebagai manajer wilayah saya harus tetap optimis. Sebagai Ketua RW saya tidak boleh lemah. Kalau pemimpinnya saja sudah tidak optimis dan lemah, ya bagaimana nanti dengan nasib warganya?” tanya Bambang.

Melahirkan Suku Dalu (Suku Malam)

Gerakan penghijauan RW 023 pun dimulai dengan gemar melakukan kerja bakti. Sayangnya, banyak juga warga yang rata-rata tidak mau ikut kerja bakti dengan alasan tidak ada waktu, kerja lembur, pulang kerja sudah malam dan sebagainya. Menyikapi hal ini, Bambang tidak kehabisan akal. Ia pun mulai menggelorakan semangat kerja bakti yang dilaksanakan pada malam hari.

“Kebijakan ini cukup mendapat dukungan dari warga masyarakat. Mereka pun mulai banyak yang bekerja bakti pada malam hari. Gara-gara kegiatan ini, maka lahirlah yang namanya Suku Dalu atau Suku Malam, sebagai gambaran komunitas warga yang malam-malam melakukan kerja bakti. Jadi, kalau Indonesia ingin menambah jumlah suku dalam ke-bhineka tunggal ika-annya, maka tambahkan Suku Dalu ini,” canda Bambang.

Selain menyatu dengan warganya untuk menggemari kerja bakti, Bambang juga memiliki akal yang edukatif dan kreatif sebagai penjabat RW. Dirinya tidak akan segan-segan menampik permohonan permintaan tanda-tangan dan cap stempel RW, apabila di rumah warga yang bersangkutan tidak ada pepohonan yang ditanam sebagai bentuk dukungan gerakan penghijauan.

“Harga cap stempel RW di tempat saya menjadi “mahal”, karena warga harus melakukan penanaman pohon terlebih dahulu di rumahnya, apabila menginginkan dokumennya dibubuhkan cap stempel RW,” ungkapnya. Tapi, gara-gara kebijakan itu pula, tak sedikit warga yang menambahkan “predikat” baru untuk Bambang yaitu sebagai “RW dzalim”, “RW melanggar HAM”, “RW tidak Pancasilais” dan sebagainya.

Bagi Bambang, “predikat” tersebut tidak menjadi masalah berarti, asalkan yang penting warga menanam pohon di rumahnya. Kalaupun tetap ada yang ngotot, Bambang malah balik menantang, untuk mempersilakan dirinya dipecat saja sebagai Ketua RW.

“Malah ada kejadian, seorang warga baru melahirkan anaknya. Tetapi karena di rumahnya tidak ada tanaman sama sekali, maka permohonan surat pengurusan akte kelahiran saya tangguhkan. Sampai yang bersangkutan menanam pohon di rumahnya lebih dahulu, atau datang lagi dengan membawa bibit pohon untuk ditanam. Itulah mengapa, kemana-mana saya selalu membawa cap stempel RW,” ujar Bambang.

Gerakan Asal Hijau digelorakan Kampung 3G sebagai wujud syukru atas anugerah oksigen gratis dari Tuhan Yang Maha Esa. (Foto: Gapey Sandy)
Gerakan Asal Hijau digelorakan Kampung 3G sebagai wujud syukru atas anugerah oksigen gratis dari Tuhan Yang Maha Esa. (Foto: Gapey Sandy)
Kampung 3G sudah banyak meraih prestasi dan penghargaan nasional maupun internasional. (Foto: glintunggogreen.com)
Kampung 3G sudah banyak meraih prestasi dan penghargaan nasional maupun internasional. (Foto: glintunggogreen.com)
Gerakan penghijauan yang digerakkan Bambang kemudian semakin memperoleh dukungan warga. Melalui program Gerakan Asal Menanam, banyak warga yang mulai menanam pohon dengan pot yang seadanya, mulai dari kaleng bekas, botol bekas, teko air bekas dan banyak lagi. Semakin beragam pot yang digunakan warga, Bambang tak pernah mempersoalkan hal tersebut. “Malah semakin beragam dan semakin jelek potnya, justru semakin unik,” tukasnya.

Solusi Penghijauan di Lahan Sempit

Gerakan penghijauan di RW 023 pimpinan Bambang semakin inovatif juga kreatif. Untuk mensiasati sempitnya lahan penanaman pohon misalnya, terwujud ide melakukan penanaman pohon dengan menggunakan polybag, vertical garden, hidroponik, sky garden dan flying garden. Praktiknya di lapangan, warga yang rumahnya bertingkat, harus juga menanam sayur-mayur di lantai dua rumahnya.

Apa yang diusahakan Bambang bersama warga RW 023 membuahkan hasil. Kini, dengan luas wilayah yang sempit dan terbatas, RW 023 berhasil memiliki kebun terung seluas 2 hektar. Lho, memang ada lahan kosong seluas 2 hektar? Tidak! Tetapi bentuknya adalah dengan kewajiban bahwa setiap warga wajib menanam dua pohon terung di rumahnya dengan menggunakan polybag. “Apabila dalam satu kampung kami ada 400 rumah, maka berarti ada 800 pohon terung ditanam menggunakan polybag. Kalau ke-800 pohon terung ini ditanam di lahan, maka sama saja dengan membutuhkan lahan tanah seluas 2 hektar. Inilah yang mengartikan bahwa RW kami memiliki lahan seluas 2 hektar, bukan dalam bentuk lahan, tapi polybag,” jelas Bambang.

Setelah sukses dengan “menambah” lahan perkebunan terung seluas 2 hektar, Bambang dan segenap warga RW 023 kemudian menginginkan untuk menanam cabai. Maka, gerakan menanam cabai pun dilakukan, sama seperti “membuka” lahan terung dengan menggunakan polybag. “Tak heran, kini RW kami punya lahan perkebunan baru yang berhektar-hektar jumlahnya, tetapi bukan dalam bentuk lahan terbuka, melainkan polybag,” jelas Bambang.

Menanam pohon, bagi Bambang adalah wujud rasa syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. “Saya terus memompa semangat agar Gerakan Asal Hijau ini maju berkembang dengan dukungan warga. Semua dilaksanakan sekaligus sebagai wujud dari rasa syukur kepada Allah SWT karena sudah diberikan oksigen yang berlimpah dan gratis,” tutur Bambang.

Kampung 3G semarak menyambut HUT ke-71 RI. (Foto: glintunggogreen.com)
Kampung 3G semarak menyambut HUT ke-71 RI. (Foto: glintunggogreen.com)
3g-9-5818b5d3ad7e61e40b8b456a.jpg
3g-9-5818b5d3ad7e61e40b8b456a.jpg
Bambang coba berhitung, seorang manusia itu menghirup oksigen kira-kira sebanyak 2,88 liter per hari. Andaikata harga oksigen per liternya adalah Rp 25.000, maka dalam satu hari, seorang manusia harus mengeluarkan uang sebanyak Rp 75.000 untuk memenuhi kecukupan oksigennya. Kalau dihitung per bulan, maka uang untuk membeli oksigen adalah Rp 2.250.000, dan per tahun mencapai Rp 21.250.000. Apabila seseorang itu hidup sampai 50 tahun, maka oksigen yang harus dibelinya adalah seharga Rp 41. 062.500.000.

“Bayangkan, begitu mahal harganya kalau kita harus membeli oksigen untuk bernafas. Sementara, Allah SWT memberikan oksigen secara gratis. Maka itu kita harus bersyukur atas anugerah cuma-cuma dari Allah SWT ini dengan cara menanam pohon, karena bukankah oksigen dihasilkan dari pohon-pohon itu. Niatkanlah menanam pohon itu sebagai ibadah dan insya Allah menjadi kunci masuk surga,” seru Bambang.

Kunci keberhasilan untuk menggiatkan gerakan penghijauan adalah karena bermodalkan empat hal sepele tapi penting. Pertama, kita semua memiliki waktu. Bambang mengistilahkan hanya orang yang dirawat di ICU rumah sakit saja yang tidak punya waktu. Kedua, kita punya akal. Ketiga, kita punya sampah. Dan keempat, kita punya teman. “Dengan keempat modal ini, maka semuanya menjadi mungkin,” tukas Bambang sembari menyebutkan bahwa langkah selanjutnya adalah melakukan interaksi, networking, silaturahim, dan bertukar pikiran dengan para ahli.

Gerakan Menabung Air

Bambang juga memprakarsai GEMAR atau Gerakan Menabung Air. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi berbagai krisis yang mendera dunia, diantaranya krisis air. Menurut Bambang, air yang ada di seluruh dunia, 97,5 persen terdiri dari air laut, dan 2,5 persennya adalah air tawar.

Dari 2,5 persen air tawar itu, sebanyak 70 persennya berada di kutub, dan 29,7 persen berada didalam tanah, serta 0,3 persen adalah air tawar danau dan sungai. “Yang membuat banjir dan sebagainya berasal dari yang 0,3 persen ini,” ujarnya.

Kalau pada masa lampau yang belum banyak bangunan didirikan, air hujan itu 10 persennya mengalir, 40 persennya menguap, dan 50 persennya meresap ke dalam tanah. Sedangkan kini, dengan banyaknya bangunan pemukiman dan gedung-gedung pencakar langit, maka ketika hujan turun 30 persen menguap, 50 persen mengalir, dan hanya 15 persen saja yang terserap ke dalam tanah. “Mencermati hal ini, maka siapa pun penjabat gubernur DKI Jakarta, pasti akan mengalami ancaman risiko banjir ketika musim penghujan,” ujar Bambang seraya berpesan agar setiap warga harus bijak mengelola air.

Generasi muda pun terlibat untuk menanam sayur secara hidroponik. (Foto: glintunggogreen.com)
Generasi muda pun terlibat untuk menanam sayur secara hidroponik. (Foto: glintunggogreen.com)
Hijau dimana-mana di Kampung 3G. (Foto: glintunggogreen.com)
Hijau dimana-mana di Kampung 3G. (Foto: glintunggogreen.com)
Kalau di Tangsel saat ini --- seperti disaksikan sendiri oleh Bambang ---, sedang giat dilakukan perbaikan gorong-gorong air dari kantor walikota menuju ke arah sungai, maka hal itu sebenarnya adalah bentuk saluranisme atau kanalisme belaka. Artinya, hanya memindahkan satu lokasi musibah banjir ke lokasi lain di sekitar kantor walikota. “Jadi, tidak memecahkan masalah banjir sama sekali,” nilai Bambang.  

Sistem kanalisme yang hanya memindahkan satu lokasi banjir ke lokasi lain di sekitarnya ini tidak berlaku di RW 023. Karena, menurut Bambang, ketika musim penghujan tiba, melalui program GEMAR maka air hujan diharapkan jangan sampai “pergi” ke RW tetangga. “Melalui program GEMAR, kami berharap air bisa masuk meresap ke dalam tanah melalui lubang-lubang biopori, sumur-sumur injeksi, bak kontrol resapan, parit-parit resapan dan lainnya,” urai Bambang.

Khusus menyangkut Lubang Resapan Biopori (LRB), menurut Bambang, fungsinya banyak sekali. Mulai dari mempercepat peresapan air hujan sehingga efektif mencegah genangan air dan banjir serta erosi tanah juga longsor. LRB juga mampu mengatasi sampah organik sehingga mampu meningkatkan cadangan air tanah, dan menghasilkan kompos untuk semakin menyuburkan tanah. “Pada akhirnya, dengan LRB maka penyakit yang disebabkan genangan air dan banjir akan berkurang, terciptanya lingkungan hidup yang nyaman dan lestari karena kelembaban terjaga, serta untuk mendukung pengembangan agribisnis perkotaan,” tutur Bambang.

Bambang punya cara sendiri untuk menjaga jangan sampai air hujan yang turun di wilayah RW 023 berpindah atau “lari” ke RW tetangga. Caranya, ia meminta kepada segenap warga untuk apalagi hujan turun, maka perhatikan secara seksama bagaimana dampak genangan yang ditimbulkan. “Setiap ada genangan air, maka segera diberi tanda. Maksudnya, agar keesokan harinya dapat segera dibuat lubang biopori maupun sumur injeksi. Opsi diantara dua ini disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkat genangan airnya,” tutur Bambang.

Dari program GEMAR ini, akhirnya RW 023 berhasil membuat kalkulasi matang. Dari seluruh 650 lubang resapan biopori (terdiri dari tiga jenis: standar menggunakan pipa paralon, jumbo dari kaleng cat 10 kilogram, dan super jumbo yang terbuat dari kaleng cat 25 kilogram), 6 sumur injeksi, 3 bak kontrol resapan, dan 40 meter parit resapan, efektivitasnya pada setiap kali hujan turun, mampu menampung air hingga 44.050 liter. “Dari April 2015 hingga April 2016 dimana terjadi 96 kali hujan, maka begitu dikalikan: 96 kali hujan x 44.050 liter = 4.228.800 liter air hujan yang mampu ditampung,” ujarnya semangat.

Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany menegaskan perlunya komitmen, niat, usaha dan motivasi bersama untuk lakukan perubahan menuju lebih baik. (Foto: Gapey Sandy)
Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany menegaskan perlunya komitmen, niat, usaha dan motivasi bersama untuk lakukan perubahan menuju lebih baik. (Foto: Gapey Sandy)
Kepala DKPP Kota Tangsel, Mochammad Taher Rochmadi terinspirasi Kampung 3G. (Foto: Gapey Sandy)
Kepala DKPP Kota Tangsel, Mochammad Taher Rochmadi terinspirasi Kampung 3G. (Foto: Gapey Sandy)
Dengan berbagai program kegiatan yang kreatif lagi inovatif dibawah arahan dan bimbingan sang manajer wilayah yakni Bambang, RW 023 akhirnya mampu mencatatkan pengumpulan uang kas dalam jumlah fantastis! Uang kas RW yang semula nol rupiah kini menjadi Rp 796.750.000. Bahkan belum lama ini, harian lokal Malang Post menurunkan judul headline besar-besar bertuliskan ‘Kas RW 23 Tembus Rp 1 Miliar’.

Prestasi RW 023 yang kemudian punya sebutan nama Glintung Go Green (3G) pun semakin moncer dan banyak diganjar penghargaan. Misalnya, Juara I Lomba Kampung Hijau yang diselenggarakan harian Radar Malang pada 2014; ditunjuk oleh Kemendagri sebagai kampung yang berbasis partisipatif dan inovatif masyarakat sehingga layak menjadi proyek percontohan nasional; dan pada Oktober kemarin Kampung 3G berhasil meraih prestasi internasional dengan menembus babak final kompetisiGuangzhou International Award for Urban Innovation.

Semakin melejitnya nama Kampung 3G menjadikan tak henti-hentinya peneliti, mahasiswa dan turis lokal maupun asing datang berkunjung. “Apa yang sudah kami capai membuktikan bahwa ketiga pilar pembangunan lingkungan yang diterapkan Kampung 3G yaitu konservasi air, ketahanan pangan, dan energi ternyata cukup berhasil. Kini, semua itu dikemas dalam bentuk Wisata Edukasi 3G, sehingga menjadikan Green Business yang menguntungkan bagi seluruh stakeholders, termasuk warga masyarakat,” ujar Bambang.

Tangsel Terinspirasi Kampung 3G

Usai menyimak paparan Bambang Irianto tentang geliat Kampung 3G yang begitu mempesona, Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany menanggapi bahwa kunci dari semua perubahan yang berlangsung di RW 023 adalah berkat komitmen, niat, usaha dan motivasi bersama dengan masyarakat.

“Sebenarnya, di Tangsel sendiri sudah terdapat beberapa proyek yang sejenis dengan apa yang sudak dilakukan Kampung 3G, hanya saja mungkin kurang terekspose, seperti misalnya urban farming di perkotaan yang memperoleh apresiasi dari peneliti mancanegara, jumlah bank sampah yang sudah mencapai ratusan, dan ide membangun Gang Cantik di Kecamatan Ciputat yang mungkin serupa hijaunya dengan yang sudah dilakukan di RW 023,” jelas Airin yang mengingatkan kembali programnya pada tiga tahun lalu agar setiap warga membersihkan saluran air yang ada di depan rumahnya masing-masing. “Coba, itu saja dilakukan kembali. Insya Allah banjir tidak akan terjadi lagi di Tangsel.”

Warga yang baru bisa bekerja bakti pada malam hari karena sibuk di siang hari, disebut sebagai Suku Dalu atau Suku Malam di Kampung 3G. (Foto: glintunggogreen.com)
Warga yang baru bisa bekerja bakti pada malam hari karena sibuk di siang hari, disebut sebagai Suku Dalu atau Suku Malam di Kampung 3G. (Foto: glintunggogreen.com)
Suku Dalu menjadi sebutan bagi warga yang baru bisa bekerja bakti pada malam hari akibat sibuk di siang hari. (Foto: glintunggogreen.com)
Suku Dalu menjadi sebutan bagi warga yang baru bisa bekerja bakti pada malam hari akibat sibuk di siang hari. (Foto: glintunggogreen.com)
Sementara itu, Kepala DKPP Tangsel, Mochammad Taher Rochmadi mengatakan, apa yang sudah dilakukan dan dicapai oleh Kampung 3G menjadi inspirasi Kota Tangsel untuk meneladani dan melakukan hal yang sama bahkan lebih. Hal senada diungkapkan Kepala Bidang Kebersihan DKPP Tangsel, Yepi Suherman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun