Rasionalitas pemilih ini dibuktikan dari dua alasan utama memilih, yaitu rekam jejak atau prestasi yang baik, dan kesantunan yang mencerminkan kualitas kepribadian. Dua alasan ini sangat mendominasi, mengalahkan secara telak alasan kesamaan agama, juga kekayaan yang dimiliki.
Menyadari kondisi demikian, kiranya “triple A” --- dan juga para peserta Pilkada lainnya --- harus ekstra hati-hati mengangkat isu agama. Isu ini begitu sensitif, bahkan malah bisa jadi belati tajam yang siap berbalik menghunus pemegangnya. Sekali lagi ingat loch, publik makin rasional!
Survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pun menandaskan hal senada. Alasan kesamaan agama, tidak menjadi dominan terkait Pilgub DKI Jakarta. Karena, angka dari pemilih muslim yang bakal memilih “Ahok – Djarot” lumayan besar (38.5%), mengungguli prosentase untuk “Agus – Sylvi” (26,2%), dan “Anies – Sandi” (23,7%).
Parameter lain terkait rasionalitas pemilih ini juga terbukti dengan urutan alasan memilih. Mulai dari yang paling atas yakni jujur, bisa dipercaya dan bersih dari korupsi (44,7%); mampu memimpin Provinsi DKI Jakarta (17,2%); perhatian pada rakyat (16,2%); tegas dan berwibawa (14,5%); pintar atau berwawasan luas (5,0%); orangnya ramah atau santun (1,6%); kemudian, enak dipandang, tampan atau cantik (0,1%).
Akhirnya, kita semua menanti pertarungan “triple A” di media sosial. Pasangan “Ahok – Djarot” termasuk yang paling harus ambil kesempatan ini karena alasan “kurusnya” jumlah pemilih muda. “Ahok – Djarot” harus “dipermak” untuk tampil lebih young and trendy di media sosial. Menampilkan kinerja, kerja dan mulai berhati-hati menjaga lisan apalagi kelakuan, rasanya bisa makin membuat moncer performa duet petahana ini di jagat maya tempat berkerumun pemilih muda. Tapi tetap harus diingat, pemilih muda tidak usah dijejali ikon maupun pesan kepartaian. Pemilih muda di media sosial mengutamakan rasionalitas. Mereka justru bisa emoh memilih, kalau sedikit-sedikit “Ahok – Djarot” bawa-bawa nama partai pengusung. Lagipula, bukankah Ahok selama ini memang terkesan sebagai seorang petarung? Jadi, tampilkan saja image ini secara positif, dan yakinlah pasti besar efek raihan suaranya. Bukankah semua juga sudah paham bahwa Jakarta yang “keras” butuh pemimpin yang rada “koboi” tapi santun.
Sedangkan bagi “Agus – Sylvi”, bertarung melalui media sosial bisa berarti makin “menggemukkan” perolehan suara. Modal duet ini sudah begitu apik dalam tataran komunitas pemilih muda. Tapi jangan lengah. Penggarapan kampanye via media sosialnya jangan sampai diisi dengan blunder --- entah itu pernyataan maupun balasan komentar kepada lawan ---, pencitraan, tebar pesona, apalagi janji-janji politik. Patut juga diperhitungkan untuk mulai “menyamarkan” sosok sang ayah, Soesilo Bambang Yudhoyono, agar tidak seolah-olah membayangi setiap langkah dan gerak politik Agus yang kian taktis.
Bagaimana dengan “Anies – Sandi”? Rasanya, menunggu bagaimana Sandiaga Uno memaparkan rencana kerja ekonominya di media-media sosial dalam upaya mendongkrak lapangan kerja baru dan peningkatan kesejahteraan warga DKI Jakarta, akan menjadi sesuatu yang cukup ditunggu-tunggu. Lho terus, Anies-nya ‘gimana? Begini. Dengan kepandaiannya merangkai kata dan kalimat yang merangsang pikir juga motivasi, cuitan Anies di twitter, status singkatnya di facebook, maupun tampilan foto-foto humanisnya di instagram juga media sosial lain, yakinlah bakal sanggup menyentuh kembali nurani para fans Anies yang sempat “terkecewakan”. Untuk selanjutnya, mereka diharapkan memberi dukungan dan membuka jalan bagi Anies untuk kembali manggung.
Last but not least, selamat bertarung!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H