Taksiran kasarnya, menurut Eka, untuk setiap bank sampah, per bulannya bisa mengumpulkan sampah sebanyak 300 - 500 kilogram. “Itemnya bisa berupa botol bekas, gelas plastik, kaca, karton, plastik keras, besi, koran, buku, dan boncos alias segala macam sampah seperti karton undangan, bekas snack box dan lainnya. Boncos ini harganya tidak seberapa, tapi kalau dikumpulkan di bank sampah bisa mengurangi volume sampah,” katanya.
Idealnya, jumlah bank sampah harus lebih banyak lagi. “Cita-cita kita, minimal dalam satu RW ada satu bank sampah. Nah, di Tangsel ini ada 7 kecamatan dan 54 kelurahan. Katakanlah dalam setiap kelurahan ada 10 RW, maka hendaknya dalam 1 RW itu minimal ada 1 bank sampah. Dengan begitu, cita-cita kami adalah membentuk 540 bank sampah se-Tangsel ini,” seru Eka.
Bank sampah yang dikelola Eka sendiri bernama “Vipamas” sebagai singkatan dari Villa Pamulang Mas. Sejak berdiri pada 2012, kini anggotanya sudah mencapai 120 orang. Dari delapan RT yang bergabung didalamnya, bank sampah “Vipamas” rata-rata dapat mengumpulkan sampah sebanyak 500 kilogram per bulan. “Sampah-sampah hasil pemilahan dan pemilihan ini kemudian dijual ke pengepul. Ini membenarkan apa yang sering diucapkan banyak pakar bahwa ‘Sampah Dipilah Menjadi Berkah dan Sampah Dipilah Menjadi Rupiah’. Saya bersama FORKAS sudah membuktikan kebenarannya,” tegas Eka.
Awalnya mendirikan “Vipamas”, Eka mengaku diajak oleh Ketua RW, yang tak lain suaminya sendiri. Peribahasa “witing tresno jalaran soko kulino” pun terjadi. Semakin lama, Eka justru semakin jatuh cinta pada upaya pengendalian sampah. “Dari yang awalnya benci kepada sampah, eh sekarang malah jatuh cinta karena akhirnya terbiasa “bergaul” dengan sampah. Tapi ingat ya, pengelolaan dan pengolahan sampah harus sama-sama, enggak boleh egois, masak rumah kita sendiri yang bersih sementara rumah tetangga-tetangga lain tidak bersih. Dari situlah akhirnya, empat tahun lalu saya mendirikan bank sampah “Vipamas” ini,” cerita Eka.
Eka masih ingat betul kendala-kendala yang dihadapi dirinya sewaktu pertama kali mendirikan bank sampah. Mulai dari ketidakpedulian warga, cemoohan, nyinyir dan lainnya. “Banyak yang merasa karena sudah membayar iuran sampah setiap bulan, maka segalanya selesai. Sama sekali tidak terpikirkan bahwa sampah adalah juga tanggung-jawab bersama untuk dikelola dan dientaskan,” kisahnya.
“Akhirnya, saya mulai bergerilya dengan mengajak terlebih dahulu para pembantu atau bahasa keren-nya asisten rumah tangga. Kepada para asisten rumga ini, saya mengiming-imingkan bahwa kalau bergabung dengan bank sampah, maka bakal punya tabungan uang. Meskipun, nilainya tidak banyak. Paling-paling setiap menimbang, seorang ‘nasabah’ hanya dapat Rp 5.000. Tapi lama kelamaan nilai yang sedikit pasti jadi bukit. Minimal, untuk para asisten rumga ini bisa beli pulsa handphone ketika mudik nanti,” ujarnya.
Kegigihan dan inflitrasi Eka berhasil. Provokasinya kepada para asisten rumga untuk bergabung dengan bank sampah mulai menunjukkan angka anggota. “Hahahaaaa … awalnya cuma lima asisten rumga saja yang sudi bergabung dengan “Vipamas” itu,” kenang ibu dari dua anak dan nenek dari dua cucu ini.
“Nah, berbekal posisi cukup berwibawa sebagai “Ibu RW” dan atas nama Ketua RW, maka saya semangat lagi untuk menggelindingkan terus ide bank sampah sekaligus membesarkannya. Saya pun masuk dan memberi pengaruh kepada delapan RT yang ada dibawah koordinasi Ketua RW. Perlahan tapi pasti, pola sosialisasi yang digerakkan Eka menemukan hasilnya. Sampai akhirnya, pada Oktober 2015, jumlah anggota bank sampah saya naik dratis menjadi 90 orang,” tutur Eka yang menegaskan tidak akan pernah memaksakan kehendak agar orang masuk menjadi anggota bank sampah. “Biar saja mereka bergabung dengan inisiatif sendiri, sesuai kemanfaatan pribadi dan lingkungan.”