Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Hari Radio: Dari Selebriti Siaran Sampai Demokrasi

11 September 2016   08:32 Diperbarui: 11 September 2016   11:25 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nirina Zubir dan Augie, duet siaran pagi di Radio Indika FM. (Sumber: website IndikaFM)

Hari ini diperingati sebagai Hari Radio Republik Indonesia (RRI) yang ke-71. Pada 11 September 1945 silam, RRI resmi berdiri. Statusnya sempat berubah-ubah sesuai bandul politik. Mulai dari Perusahaan Jawatan, Lembaga Penyiaran Pemerintah dan menjelma Lembaga Penyiaran Publik di era reformasi.

Masalahnya, tak bisa dipungkiri, orang menjadi rancu antara memperingati 11 September sebagai hari jadi RRI, atau merayakannya sebagai Hari Radio Nasional. Kerancuan ini sudah lama berlangsung. Malah, tiga tahun lalu, A Sobana Hardjasaputra, Guru Besar Unpad dan Unigal dalam tulisannya telak-telak menyebut, 11 September itu Hari Jadi RRI, bukan Hari Radio Nasional.

Kalau mau menelisik, kapan kira-kira tepatnya Hari Radio Nasional, Sobana memaparkan tiga masukan. Pertama, 2 Mei 1923 ketika didirikan Studio Radio Pemancar di Kawasan Gunung Malabar, Bandung. Kedua, 16 Juni 1925 pada saat berdirinya BRV (Bataviase Radio Vereniging). Dan ketiga, 29 Maret 1937 manakala berdiri PPRK atau Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran.

Ada baiknya, kerancuan ini jangan dilanggengkan terus. Terserah Pemerintah deh, mau menetapkan Hari Radio Nasional pada tanggal berapa. Karena faktanya, kerancuan yang sama persis terjadi juga di Hari Televisi Nasional yang banyak disebut jatuh pada setiap 24 Agustus. Padahal sebenarnya, tanggal tersebut mengacu pada hari kelahiran Televisi Republik Indonesia (TVRI), 24 Agustus 1962. Beuuhhhh

Untuk level dunia, UNESCO tegas menetapkan bahwa Hari Radio se-Dunia (World Radio Day) diperingati setiap 13 Februari. Acuannya adalah momentum berdirinya United Nations Radio pada 13 Februari 1946.

Tapi ya sudahlah, kalau ada yang ingin mengucapkan “Selamat Hari Radio Nasional” pada hari ini, silakan saja. Toh, enggakakan bakal dicabut status kewarganegaraannya … hahahahaaa. Lagipula, ucapan selamat yang umumnya berbunyi “Sekali di udara tetap di udara” pasti mampu jadi doping semangat kerja dan karya seluruh insan radio se-tanah air.

Suasana siaran radio di RRI. (Foto: halodisperindag.com)
Suasana siaran radio di RRI. (Foto: halodisperindag.com)
Yo wes, yuk tinggalkan kerancuan, mari lihat fakta industri radio masa kini. Utamanya, radio siaran swasta nasional (bukan RRI). Apa saja sih yang masih mereka “perdengarkan”?

Pertama, radio masih konsisten kedepankan sisi hiburan. Ini memang ‘takdir’ radio. Ia merupakan “sahabat yang paling dekat” bagi setiap pendengarnya. “Radio lebih bersifat menghibur dan menstimulasi pendengarnya, memberi kesenangan, nostalgia, ketegangan, atau rasa ingin tahu. Radio adalah hiburan. Bagi pendengarnya, radio adalah teman, sarana komunikasi, imajinasi, pemberi informasi; radio adalah seorang sahabat. Radio adalah media yang sifatnya pribadi,” urai Theo Stokkink, pakar radio asal Belanda.

Bukan saja menghibur lewat lagu-lagu pilihan yang diputarkan, tetapi lebih dari itu performance dan air personality setiap penyiarnya pun ikut masuk dalam kategori entertaining, menghibur. Makanya tidak heran, banyak stasiun radio yang mempekerjakan selebriti untuk jadi announcer, penyiar. Fenomena ini bukan fakta baru. Sudah lama, lebih dari tiga sampai empat dasawarsa lewat.

Sayangnya, saya bukan pendengar fanatik radio tertentu, kecuali pada masa tahun 2000-an ketika M97 FM radio classic rock masih mengudara. Di radio yang kesannya laki-laki banget ini, mendiang Denny Sakrie (pengamat musik), dan Patsy Widakuswara (kini jurnalis Voice of America) pernah mengasuh program siar masing-masing. Karena alasan ini, saya mengaktualkan lagi, siapa saja selebriti yang siaran radio dengan cara menelusuri website radio masing-masing.

Ketemulah nama-nama mereka, yang ditugaskan siaran pada jam-jam dengan rate iklan mahal alias primetime. Ada RONAL SURAPRADJA dan TIKE, komedian yang siaran Sarapan Seru di Radio JakFM; DESTA dan NYCTA GINA, duo selebriti yang siaran Desta & Gina In The Morning di Radio PramborsFM; ASRI WELAS dan STENY AGUSTAF yang cuap-cuap Asri & Teny In The Morning di Radio DeltaFM; NOVITA ANGIE dan LEMBU WIWORO JATI yang siaran di Radio CosmopolitanFM; ada juga duet NIRINA ZUBIR dan AUGIE di Radio IndikaFM; sedangkan KEMAL TJ siaran pagi di Radio GenFM; dan tak ketinggalan INDY BARENDS yang siaran bareng BEN KASYAFANI di Radio FeMaleFM.

Meski bukan fenomena baru, tapi bagaimana menilai kualitas siaran para selebriti yang merambah industri radio? Apakah slenge-an dengan materi siaran yang cuma mengajak pendengar ber-haha-hihi saja?

Achmad Zaini. konsultan radio dan Dirut Vox Pop Media. (Foto: Gapey Sandy)
Achmad Zaini. konsultan radio dan Dirut Vox Pop Media. (Foto: Gapey Sandy)
Menurut Achmad Zaini, konsultan radio sekaligus Direktur Utama Vox Pop Media, peta penyiar radio memang terus mengalami pergeseran. Apabila pada masa lampau, suara penyiar yang jantan lagi macho bakal “digila-gilai” pendengarnya, maka kondisi saat ini sudah berubah sama sekali.

“Peta penyiar radio sekarang ini memang sudah banyak mengalami pergeseran. Penyiar-penyiar yang bersuara nge-bass, mengatur irama suara banget, artikulasinya juga dijaga, tapi mereka juga memiliki kualitas presentasi yang oke (bisa juga menghibur lewat banyolannya) boleh dibilang sudah ditinggalkan rata-rata radio hiburan. Suara yang tidak bulat alias cempreng saja bisa siaran diradio, asal bisa nge-banyol, sedikit konyol dan ngocol. Apalagi kalau anda seorang selebritis alias seleb, maka dengan mudah suara anda akan terdengar paling tidak di seantero Jakarta,” tuturnya dalam wawancara via email dengan penulis.

Ironisnya, lanjut Zaini, soal wawasan, nalar, tehnik berkomunikasi oral yang baik, peguasaan istilah dan bahasa Indonesia yang baik, pengetahuan soal jurnalistik radio dan jurnalistik secara umum, tahu Kode Etik Jurnalistik, kemampuan tehnik wawancara yang oke, semuanya menjadi nomor kesekian.

“Syukur-syukur kalau punya kemampuan seperti itu, kalau tidak ya sudah, yang penting bisa ngocol dan nge-banyol. Urusan terpenuhi atau tidaknya kebutuhan pendengar untuk tahu lebih banyak dengan teknik penyampaian bertutur yang singkat dan padat terhadap berita hotdan isu yang sedang berkembang menjadi tidak penting,” urai mantan announcer Radio Elshinta Jakarta ini.

Tapi, sergah Zaini, tidak semua penyiar seleb radio atau penyiar radio hiburan “seburuk” itu tipikalnya. “Ada juga kok penyiaryang smart, punya wawasan bagus berbagai macam hal, dan bernalar lumayan. Jadi tahunya bukan cuma soal musik, tapi juga hal-hal lain diluar musik. Bicara soal politik oke, bicara soal fenomena sosial di tengah masyarakat oke, bicara masalah kasus-kasus yang sedang menjadi perhatian masyarakat oke. Penyiar manapun sebenarnya bisa smartseperti itu, jika mau belajar, mau mendengarkan masukan orang lain baik dari teman sejawat atau pendengar, tidak resisten, sombong, dan sok tahu alias sotoy,” urainya.

Desta & Gina in the morning di Radio Prambors. (Sumber: website PramborsFM)
Desta & Gina in the morning di Radio Prambors. (Sumber: website PramborsFM)
Zaini memahami, target audiens antara radio hiburan dengan berita atau setengah berita, memang beda. Radio hiburan memiliki target audiens anak-anak muda yang mudah bosen, pusing kalau denger siaran radio berita.

“Secara bisnis, mungkin menempatkan seleb sebagai penyiar radio menguntungkan, paling tidak apabila disukai pendengar otomatis akan meningkatkan rating radio secara umum dan program unggulan mereka secara khusus. Ujungnya pemasang iklan akan datang dan menempatkan iklan mereka di jam-jam siaran favorit pendengar. Meskipun rate iklannya jadi mahal, tetap saja pemasang iklan mau juga menaruh iklannya,” tuturnya.

Intinya seleb boleh dan sah-sah saja jadi penyiar radio, kata Zaini, asalkan memperhatikan juga kualitas knowledge-nya, tidak asal bunyi. Soal kualitas suara, menjadi tugas stasiun radio bersangkutan untuk lebih cerdas memilih seleb yang punya standar vokal sebagai penyiar. Banyak tipe pendengar yang sangat mementingkan kualitas penyiar yang bersahabat, smart, sekaligus lucu dan  punya wawasan serta airpersonality yang bagus. Kalau cuma sekedar mendengarkan musik, toh mereka tinggal on kan saja perangkat MP3, hape, atau iPod saja. Playlist lagu-lagunya tentu lebih bagus dan sesuai dengan selera.

Zaini berpesan, janganlah korbankan dunia radio untuk kepentingan bisnis semata, tapi melupakan kewajiban memberikan informasi dan edukasi yang benar kepada masyarakat. “Ingat loh, yang digunakan radio-radio itu adalah frekuensi milik publik yang diatur oleh regulasi dari pemerintah. Sehingga radio-radio memiliki tanggungjawab kepada publik,” serunya dengan bijak.

Nirina Zubir dan Augie, duet siaran pagi di Radio Indika FM. (Sumber: website IndikaFM)
Nirina Zubir dan Augie, duet siaran pagi di Radio Indika FM. (Sumber: website IndikaFM)
Sementara itu produser sekaligus penyiar radio senior, Syifa Faradila punya pandangan berbeda terkait selebriti yang siaran di radio. Dari sisi pekerjaan, sah-sah saja bila selebriti juga “mencangkul” di dunia radio.

“Kelebihannya, pendengar akan semakin mudah teredukasi dengan materi-materi siaran yang mencerdaskan dan disiarkan oleh para selebriti. Apalagi, masyarakat kita kadangkala lebih ‘patuh’ dengan apa yang dibilang sama public figure. Makanya, materi siaran radio para selebriti ini harus tetap edukatif. Kekurangannya, para selebriti ini kadang-kadang dalam siarannya hanya menyampaikan hal-hal yang tak lebih daripada sekadar curhatan pribadi yang sayang sekali kalau harus di-share di ruang publik. Content siarannya, bukan sesuatu yang menambah wawasan, mengedukasi pendengar dan sebagainya. Atau, kekurangan lainnya seperti, penggunaan gaya bahasa para selebriti ini yang asal semau gue, kurang santun,” ujarnya dalam wawancara via WhatsApp dengan penulis.

Menurut produser dan penyiar senior Radio DaktaFM di Bekasi ini, para selebriti yang siaran radio harus menyampaikan informasi dengan baik, materinya menambah wawasan, mengedukasi masyarakat, melibatkan pendengar untuk aktif berinteraksi, dan santun dalam siaran.

“Setiap radio memang punya pangsa pasar atau segmen audiencemasing-masing. Sehingga, kalaupun apa yang disampaikan para selebriti dalam siarannya ini kurang memberi efek edukasi kepada masyarakat, ya mungkin saja karena memang yang dikejar hanya rating program siaran saja. Kalau rating tinggi, maka iklan akan semakin banyak dan mahal. Adapun soal edukasi, mungkin masih belum prioritas,” ujar Syifa yang pernah jadi buah bibir karena sempat diperiksa yang berwajib dalam kasus informasi terkait dugaan adanya beras plastik.

Baik Achmad Zaini maupun Syifa Faradila menyatakan sah-sah saja selebriti siaran di radio. Asalkan tetap santun, dan segala yang disampaikan adalah dalam rangka bentuk tanggung-jawabnya mempergunakan ruang publik demi ikut menambah wawasan juga mengedukasi pendengar.

Acara Sarapan Seru JakFM bersama Ronal dan Tike. (Sumber: website JakFM)
Acara Sarapan Seru JakFM bersama Ronal dan Tike. (Sumber: website JakFM)
Sebagai contoh, kemarin siang (Sabtu, 10 September 2016) sekitar jam 11.00 wib, penulis menyimak siaran RONAL dan TIKE yang melakukan wawancara via telepon dengan staf dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Topiknya tentang Hari Pelanggan Nasional yang jatuh pada 4 September 2016. Ini jelas hal yang mencerdaskan, karena pendengar diingatkan kembali akan hak-hak sebagai konsumen, bagaimana mekanisme melakukan pengaduan pelanggan dan sebagainya. Maklum, namanya juga komedian, ada saja guyonan yang terselip, tapi hal ini tidak merusak tema talkshow yang disuguhkan. Dua jempol untuk ROTI, RONAL – TIKE!

Contoh lain? Pesan-pesan penting edukatif dapat pula dikemas secara entertaining, menghibur. Konkretnya, seperti yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan memproduksi Sandiwara Radio bertema Waspada dan Siaga Bencana. Sandiwara berjudul “Asmara Di Tengah Bencana” yang naskahnya dibuat oleh S Tidjab ini sedang menjalani masa putar sebanyak 50 episode di 20 stasiun radio se-Pulau Jawa. Luar biasa!

Kedua, radio tetap ajeg sebagai media informasi dan komunikasi. Di Indonesia, fungsi ini semakin menunjukkan peran secara serempak ketika era reformasi bergulir. Sebelumnya, pada era 1970-an, seluruh stasiun radio siaran swasta wajib memancarluaskan atau me-relay siaran berita yang diproduksi dan disiarkan RRI. Belakangan, karena hal demikian dianggap (mungkin) sebagai penyeragaman informasi, monopoli, indoktrinasi dan setback bagi kemajuan bangsa, maka kewajiban itu akhirnya dihapuskan. Sejak itu pula, kian maraklah stasiun-stasiun radio membentuk divisi pemberitaan. Format berita diproduksi dan disiarkan sendiri sesuai kemampuan. Jabatan wartawan radio semakin bermunculan, malah sempat muncul komunitas bernama Fowar alias Forum Wartawan Radio.

Pendek kata, era reformasi juga menciptakan kondisi dimana stasiun radio berlomba-lomba menyajikan format pemberitaan yang terbaik. Tidak sekadar sisipan yang berdurasi pendek, atau kemasan paket siaran, bahkan ada juga radio yang menampilkan news sebagai brand identity. Risikonya, kebutuhan akan jurnalis radio meningkat seiring makin intensnya produksi siaran berita.

Indy Barends dan Ben Kasyafani siaran di Radio FeMale. (Foto: website Radio Female)
Indy Barends dan Ben Kasyafani siaran di Radio FeMale. (Foto: website Radio Female)
Selain news, radio-radio juga seperti berlomba-lomba mengudarakan format talkshow yang membahas isu-isu aktual dengan mewawancarai secara live narasumber berkompeten. Euforia ini termanfaatkan oleh segelintir wartawan media cetak yang akhirnya juga turut dikontrak menjadi interviewer sekaligus anchor radio talkshow. Seiring waktu berjalan, kolaborasi saling menguntungkan ini mencapai klimaksnya juga. Pekerja radio semakin sadar bahwa bekerja di radio, tidak lagi hanya mengandalkan suara cakap, tapi juga skill wawancara, nalar kritis, berpengetahuan/berwawasan luas dan sebagainya.

Ini warning bagi selebriti (dan siapa saja) yang hendak berkecimpung di industri radio! Siaran radio sudah bukan zamannya lagi cuma mengandalkan suara ciamik, apalagi sekadar status bahwa penyiarnya seleb atau public figure. Lebih dari itu, profesionalitas diri menjadi tuntutan yang didalamnya termasuk penguasaan public speaking dan jurnalistik.          

Ketiga, radio masih merupakan lahan bisnis potensial. Konsultan radio Achmad Zaini mengemukakan hasil riset Nielsen Advertising Information Services yang dirilis Nielsen Indonesia dan menunjukkan, belanja iklan pada semester pertama tahun ini tumbuh sebesar 18 persen menjadi Rp 67,7 triliun. Kontributor utamanya masih dari media televisi sebesar Rp 51,9 triliun atau meningkat 26 persen jika dibandingkan 2015. Sementara sisanya, berasal dari iklan media cetak yang pergerakannya sedikit menurun, dari 15,2 persen (semester pertama 2015) menjadi 15 persen (semester pertama 2016).

“Sayangnya, hasil riset ini tidak menyebut bagaimana pertumbuhan belanja iklan untuk radio. Apakah anjlok atau ikut terkerek menikmati pertumbuhan 18 persen ini?” ujarnya.

Asri Welas dan Steny Agustaf, duet penyiar Radio DeltaFM. (Sumber: website DeltaFM)
Asri Welas dan Steny Agustaf, duet penyiar Radio DeltaFM. (Sumber: website DeltaFM)
Novita Angie dan Lembu Wiworo Jati yang siaran di Radio Cosmopolitan FM. (Sumber: website Radio Cosmopolitan FM)
Novita Angie dan Lembu Wiworo Jati yang siaran di Radio Cosmopolitan FM. (Sumber: website Radio Cosmopolitan FM)
Ia juga mengutip pendapat Ketua Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Bali, Komang Agus Satuhedi yang menyampaikan, data belanja iklan radio (radio advertising expenditure) menunjukkan alokasi belanja iklan untuk radio rata-rata hanya 0,7 persen dari total belanja iklan di media secara keseluruhan (advertising expenditure)dan pertumbuhannya rata-rata hanya 7 persen.

“Artinya, belanja iklan radio masih bertumbuh. Namun, apakah dinikmati oleh sebagian besar radio siaran yang ada, atau hanya dinikmati segelintir radio saja? Radio sebenarnya tidak perlu bersaing dengan media lain dalam mendapatkan jatah belanja iklan, karena radio memiliki karakteristik yang berbeda dengan media lainnya. Kekuatan radio adalah suara (audio), bisa dinikmati dimana saja (apalagi dengan adanya era digital), murah, fleksibel dan tidak ribet, serta personal dan akrab. Iklannya rata-rata juga relatif lebih murah jika dibandingkan dengan TV atau suratkabar, bahkan media online. Hanya radio-radio tertentu saja yang berkategori tarif iklannya mahal,” tutur Zaini.

Sebagai gambaran, tengoklah Radio DaktaFM Bekasi yang tidak pernah sepi terima order iklan komersial. “Iklannya variatif, mulai dari produk, pendidikan, kesehatan, iklan layanan masyarakat dari Pemerintah dan sebagainya. Dalam satu hari, kami siarkan iklan sebanyak 140 sampai 150 iklan dalam bentuk spot, ekspose maupun adlip (iklan yang naskahnya dibacakan oleh penyiar),” ungkap Syifa Faradila, produser dan penyiar senior DaktaFM.

Dengan kuantitas iklan yang (masih) gemuk ini, aku Syifa, tak berlebihan kalau DaktaFM mematok target perolehan iklan sekitar Rp 7 miliar sepanjang 2016 ini. Wowwww … fantastis!

Berpose dengan studio mobile siaran luar atau Outdoor Broadcasting Van milik RRI di Kupang, NTT. (Foto: Gapey Sandy)
Berpose dengan studio mobile siaran luar atau Outdoor Broadcasting Van milik RRI di Kupang, NTT. (Foto: Gapey Sandy)
Keempat, radio harus terus jadi mesin dengar yang menggerakkan sekaligus memantau tegaknya iklim demokrasi. Sayangnya, fungsi ini yang kelihatannya masih kurang. Umumnya materi siaran radio, masih banyak yang enggan apabila harus menyiarkan hal-hal aktual dalam bingkai opini publik. Padahal, memberi ruang interaksi bagi publik untuk bersuara dan berpendapat sangatlah penting guna menciptakan kedaulatan di tangan rakyat. Kekhawatirannya memang berlebihan, karena apabila pendengar diberi kesempatan menyampaikan opini, takut malah menyuarakan ujaran kebencian (hate speech). Ya, ini risiko perjuangan. Bukan berarti karena risikonya tinggi, maka kanal-kanal bagi publik untuk berpendapat melalui siaran radio malah ditutup. Tetaplah dibuka dengan cara elegan, kreatif dan mencerdaskan.

Akhirnya, Selamat Hari Radio Republik Indonesia, dan Hari Radio Nasional! Itu saja

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun