Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Hari Radio: Dari Selebriti Siaran Sampai Demokrasi

11 September 2016   08:32 Diperbarui: 11 September 2016   11:25 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana siaran radio di RRI. (Foto: halodisperindag.com)

“Kelebihannya, pendengar akan semakin mudah teredukasi dengan materi-materi siaran yang mencerdaskan dan disiarkan oleh para selebriti. Apalagi, masyarakat kita kadangkala lebih ‘patuh’ dengan apa yang dibilang sama public figure. Makanya, materi siaran radio para selebriti ini harus tetap edukatif. Kekurangannya, para selebriti ini kadang-kadang dalam siarannya hanya menyampaikan hal-hal yang tak lebih daripada sekadar curhatan pribadi yang sayang sekali kalau harus di-share di ruang publik. Content siarannya, bukan sesuatu yang menambah wawasan, mengedukasi pendengar dan sebagainya. Atau, kekurangan lainnya seperti, penggunaan gaya bahasa para selebriti ini yang asal semau gue, kurang santun,” ujarnya dalam wawancara via WhatsApp dengan penulis.

Menurut produser dan penyiar senior Radio DaktaFM di Bekasi ini, para selebriti yang siaran radio harus menyampaikan informasi dengan baik, materinya menambah wawasan, mengedukasi masyarakat, melibatkan pendengar untuk aktif berinteraksi, dan santun dalam siaran.

“Setiap radio memang punya pangsa pasar atau segmen audiencemasing-masing. Sehingga, kalaupun apa yang disampaikan para selebriti dalam siarannya ini kurang memberi efek edukasi kepada masyarakat, ya mungkin saja karena memang yang dikejar hanya rating program siaran saja. Kalau rating tinggi, maka iklan akan semakin banyak dan mahal. Adapun soal edukasi, mungkin masih belum prioritas,” ujar Syifa yang pernah jadi buah bibir karena sempat diperiksa yang berwajib dalam kasus informasi terkait dugaan adanya beras plastik.

Baik Achmad Zaini maupun Syifa Faradila menyatakan sah-sah saja selebriti siaran di radio. Asalkan tetap santun, dan segala yang disampaikan adalah dalam rangka bentuk tanggung-jawabnya mempergunakan ruang publik demi ikut menambah wawasan juga mengedukasi pendengar.

Acara Sarapan Seru JakFM bersama Ronal dan Tike. (Sumber: website JakFM)
Acara Sarapan Seru JakFM bersama Ronal dan Tike. (Sumber: website JakFM)
Sebagai contoh, kemarin siang (Sabtu, 10 September 2016) sekitar jam 11.00 wib, penulis menyimak siaran RONAL dan TIKE yang melakukan wawancara via telepon dengan staf dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Topiknya tentang Hari Pelanggan Nasional yang jatuh pada 4 September 2016. Ini jelas hal yang mencerdaskan, karena pendengar diingatkan kembali akan hak-hak sebagai konsumen, bagaimana mekanisme melakukan pengaduan pelanggan dan sebagainya. Maklum, namanya juga komedian, ada saja guyonan yang terselip, tapi hal ini tidak merusak tema talkshow yang disuguhkan. Dua jempol untuk ROTI, RONAL – TIKE!

Contoh lain? Pesan-pesan penting edukatif dapat pula dikemas secara entertaining, menghibur. Konkretnya, seperti yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan memproduksi Sandiwara Radio bertema Waspada dan Siaga Bencana. Sandiwara berjudul “Asmara Di Tengah Bencana” yang naskahnya dibuat oleh S Tidjab ini sedang menjalani masa putar sebanyak 50 episode di 20 stasiun radio se-Pulau Jawa. Luar biasa!

Kedua, radio tetap ajeg sebagai media informasi dan komunikasi. Di Indonesia, fungsi ini semakin menunjukkan peran secara serempak ketika era reformasi bergulir. Sebelumnya, pada era 1970-an, seluruh stasiun radio siaran swasta wajib memancarluaskan atau me-relay siaran berita yang diproduksi dan disiarkan RRI. Belakangan, karena hal demikian dianggap (mungkin) sebagai penyeragaman informasi, monopoli, indoktrinasi dan setback bagi kemajuan bangsa, maka kewajiban itu akhirnya dihapuskan. Sejak itu pula, kian maraklah stasiun-stasiun radio membentuk divisi pemberitaan. Format berita diproduksi dan disiarkan sendiri sesuai kemampuan. Jabatan wartawan radio semakin bermunculan, malah sempat muncul komunitas bernama Fowar alias Forum Wartawan Radio.

Pendek kata, era reformasi juga menciptakan kondisi dimana stasiun radio berlomba-lomba menyajikan format pemberitaan yang terbaik. Tidak sekadar sisipan yang berdurasi pendek, atau kemasan paket siaran, bahkan ada juga radio yang menampilkan news sebagai brand identity. Risikonya, kebutuhan akan jurnalis radio meningkat seiring makin intensnya produksi siaran berita.

Indy Barends dan Ben Kasyafani siaran di Radio FeMale. (Foto: website Radio Female)
Indy Barends dan Ben Kasyafani siaran di Radio FeMale. (Foto: website Radio Female)
Selain news, radio-radio juga seperti berlomba-lomba mengudarakan format talkshow yang membahas isu-isu aktual dengan mewawancarai secara live narasumber berkompeten. Euforia ini termanfaatkan oleh segelintir wartawan media cetak yang akhirnya juga turut dikontrak menjadi interviewer sekaligus anchor radio talkshow. Seiring waktu berjalan, kolaborasi saling menguntungkan ini mencapai klimaksnya juga. Pekerja radio semakin sadar bahwa bekerja di radio, tidak lagi hanya mengandalkan suara cakap, tapi juga skill wawancara, nalar kritis, berpengetahuan/berwawasan luas dan sebagainya.

Ini warning bagi selebriti (dan siapa saja) yang hendak berkecimpung di industri radio! Siaran radio sudah bukan zamannya lagi cuma mengandalkan suara ciamik, apalagi sekadar status bahwa penyiarnya seleb atau public figure. Lebih dari itu, profesionalitas diri menjadi tuntutan yang didalamnya termasuk penguasaan public speaking dan jurnalistik.          

Ketiga, radio masih merupakan lahan bisnis potensial. Konsultan radio Achmad Zaini mengemukakan hasil riset Nielsen Advertising Information Services yang dirilis Nielsen Indonesia dan menunjukkan, belanja iklan pada semester pertama tahun ini tumbuh sebesar 18 persen menjadi Rp 67,7 triliun. Kontributor utamanya masih dari media televisi sebesar Rp 51,9 triliun atau meningkat 26 persen jika dibandingkan 2015. Sementara sisanya, berasal dari iklan media cetak yang pergerakannya sedikit menurun, dari 15,2 persen (semester pertama 2015) menjadi 15 persen (semester pertama 2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun