Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Karpet Merah untuk 'Tukang Garap' Industri Hulu Migas

30 Agustus 2016   10:54 Diperbarui: 16 September 2016   15:52 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu lokasi eksplorasi migas di laut. (Foto: eksplorasi.id)

Selain medali emas persembahan dari pasangan ganda campuran Bulutangkis, Owi dan Butet di olimpiade kemarin, hadiah terindah 71 tahun kemerdekaan Republik Indonesia yaitu  informasi yang disampaikan oleh SKK Migas. Apa itu? Ya, kenaikan produksi minyak nasional. Sejak 2008 lalu, baru kali ini Indonesia kembali merasakan kenaikan tersebut. Kenaikannya, dari rata-rata harian 786 ribu barel per hari (BOPD) pada 2015 menjadi 834 ribu BOPD per Juli 2016, atau naik 6,2 persen.

Peningkatan produksi minyak ini utamanya bersumber dari Lapangan Banyu Urip yang sudah berproduksi (onstream) dengan skala penuh, proyek-proyek lain yang telah mulai berproduksi, dan beberapa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang capaian produksinya melampaui target yang ditetapkan dalam Work Program and Budget 2016.

Menyusul turunnya harga minyak dunia, selama dua tahun terakhir industri hulu (upstream) migas memang mengalami tantangan yang tidak ringan. Meski demikian, performa dan kinerja tetap terjaga sehingga sejumlah capaian prestisius pun tertorehkan. Kalau pembaca sempat membuka situs SKK Migas, maka prestasi tersebut dapat dengan mudah disimak, karena lima diantaranya menjadi caption photo headline dengan judul Membesarkan Bangsa.

Lima undakan Membesarkan Bangsa tadi adalah: Pertama, industri upstream migas sanggup membuka banyak lapangan kerja. Tercatat, sekitar 32 ribu tenaga kerja nasional bekerja pada industri hulu migas. Kedua, sejak 2009, transaksi industri ini melalui bank nasional mencapai sekitar US$ 44,9 miliar. Ketiga, industri hulu migas menyumbang sekitar Rp 310 triliun penerimaan negara pada 2014. Keempat, sepanjang 2014, komitmen TKDN pada pengadaan industri ini mencapai 54 persen. Dan kelima, industri hulu migas sudah tentu melaksanakan banyak sekali program tanggung-jawab sosial.

Statistik Produksi Nasional Minyak, Kondensat, dan Gas. (Sumber: SKK Migas)
Statistik Produksi Nasional Minyak, Kondensat, dan Gas. (Sumber: SKK Migas)
Statistik Produksi : Lifting Minyak dan Gas Bumi. (Sumber: SKK Migas)
Statistik Produksi : Lifting Minyak dan Gas Bumi. (Sumber: SKK Migas)
SKK Migas merupakan kependekan dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Institusi bentukan Pemerintah Republik Indonesia melalui Perpres No. 9/2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. SKK Migas bertugas melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama. Pembentukan lembaga ini dimaksudkan supaya pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Terkait KKKS, situs SKK Migas membagi keberadaan mereka menjadi empat kategori. Mulai dari KKKS CBM (Coal Bed Methane) yang jumlahnya mencapai 54 operator; KKKS Eksplorasi sebanyak 177 operator; KKKS Produksi mencapai 83 operator, dan KKKS Non Konvensional hanya 5 operator (dengan wilayah kerja di MNK Selat Panjang - Riau, MNK Sakakemang – Sulsel, MNK Palmerah – Sumsel dan Jambi, MNK Kisaran – Sumut, dan MNK Sumbagut). Adapun jumlah total Wilayah Kerja (WK) migas --- baik konvensional maupun non-konvensional --- per 30 Juni 2016, adalah sebanyak 289 WK.

Sekilas, jumlah operator yang menandatangani kontrak cukup banyak. Atau mungkin malah sebaliknya, jumlahnya masih kurang, apabila cara pandangnya dengan meyakini bahwa wilayah Indonesia yang begitu luas memiliki sumber daya alam, termasuk migas, yang melimpah-ruah. Ini terbukti dengan ketertarikan investor untuk menanamkan modalnya yang masih terus berdenyut. Seperti misalnya komitmen investasi guna pengembangan Train 3 di Kilang LNG Tangguh, Papua Barat, dengan nilai investasi US$ 8 miliar. Pun begitu, upaya peningkatan cadangan juga terus digiatkan. Sejak awal tahun sampai Juli 2016, terdapat 21 skema basis rencana pengembangan atau Plan of Development (POD) dan Plan of Further Development (PoFD) yang telah disetujui. Apabila seluruh POD/POFD dapat direalisasikan sesuai rencana, maka diharapkan dapat menambah cadangan migas sebesar 171 juta barrel oil equivalent (BOE).

Kendala Iklim Investasi

Setiap langkah usaha pasti punya tantangannya sendiri. Begitu pun investasi. Kendala pasti ada, sehingga untuk itu musti dicarikan solusinya. Di sektor industri hulu migas, kendala tersebut antara lain karena masih minimnya infrastruktur. Sederhananya begini. Indonesia memiliki basin atau cekungan-cekungan yang dipercaya mengandung sumber daya alam migas yang begitu kaya. Tetapi, basin ini berada nun jauh di pelosok Nusantara. Sementara, orang-orang di kota yang bakal menjadi penggunanya. Nah, infrastruktur untuk “mengalirkan” migas dari pelosok-pelosok itulah yang perlu dibangun karena masih minim.

Taslim Z Yunus, Kabag Humas SKK Migas. (Foto: Gapey Sandy)
Taslim Z Yunus, Kabag Humas SKK Migas. (Foto: Gapey Sandy)
Sorotan atas lemahnya infrastruktur ini juga yang disampaikan Kepala Bagian Humas SKK Migas, Taslim Z Yunus ketika menjadi pembicara dalam acara Kompasiana Nangkring Bareng SKK Migas bertajuk Menciptakan Iklim Investasi Yang Baik Untuk Industri Hulu Migas Indonesia pada 26 Agustus kemarin, di Rarampa Café, Jalan Mahakam, Jakarta Selatan.  

Dari sisi geologi, kata Taslim, kebanyakan cekungan-cekungan yang ada di Indonesia menghasilkan gas. Hanya sedikit yang punya kapasitas untuk menghasilkan minyak. “Ketika harga minyak murah, seluruh kebutuhan energi kita lebih mengandalkan minyak. Pada saat harga minyak naik, barulah kita menyadari, bahwa migas adalah sumber energi yang perlu kita gunakan. Tapi, manakala gas hendak kita pergunakan, infrastruktur belum siap untuk menyalurkan dan menerima gas kemana-mana di seluruh Indonesia,” urai pria berkacamata yang mengenakan kemeja batik berwarna dominan kuning ini.

Sebagai contoh, terang Taslim lagi, pengguna gas yang terbesar adalah Pulau Jawa, padahal sumbernya itu ada di Indonesia Timur semisal di Pulau Natuna. “Bagaimana bisa mengalirkan gas dari dari Indonesia Timur ini ke Pulau Jawa, kalau infrastruktur jaringan gas buminya saja belum merata? Hal ini menjadi salah satu kendala yang dihadapi Indonesia,” tuturnya yang menyampaikan materi berjudul Pemanfaatan Migas Untuk Kesejahteraan Rakyat.

Kini, lantaran trend eksplorasi migas di Indonesia semakin mengarah ke Timur Indonesia, berarti cost yang dikeluarkan oleh para investor bakal semakin mahal. Hal ini ekuivalen juga dengan semakin sulitnya menemukan wilayah yang memiliki kandungan migas.

Tabel Jumlah Wilayah Kerja Migas per 30 Juni 2016. (Sumber: SKK Migas)
Tabel Jumlah Wilayah Kerja Migas per 30 Juni 2016. (Sumber: SKK Migas)
Statistik Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) pada sektor industri hulu migas. (Sumber: SKK Migas)
Statistik Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) pada sektor industri hulu migas. (Sumber: SKK Migas)
“Sangat terasa sekali betapa dekade terakhi ini semakin susah kita menemukan Migas. Sudah proses penemuan migasnya semakin lama, sukses rasio eksplorasinya pun kian mengecil pula. Akibatnya, muncul penemuan sumber Migas yang kecil-kecil. Tak hanya itu, setelah ditemukan pun, tidak bisa langsung begitu saja dilakukan eksploitasi maupun produksi. Rentang waktu antara discovery dan produksi ini memakan waktu yang begitu lama. Contohnya, sumur migas di Blok Cepu yang sebenarnya ditemukan sejak 2001, tetapi baru mencapai tahap puncak produksi pada Februari 2016,” ungkap Taslim.

Semakin lamanya jeda waktu antara penemuan cadangan sampai dengan produksi, yakni antara 8 - 26 tahun, jelas menjadi indikator negatif bagi iklim investasi hulu migas. Menurut Taslim, fakta ini secara otomatis memaparkan bahwa kontraktor pada tahap eksplorasi menghadapi hambatan investasi. Hambatan ini musti segera ditanggulangi, karena dari 289 Wilayah Kerja (WK) yang ada di Indonesia saat ini, baru 67 WK saja yang mulai tahap produksi.

Problem lain yang mengemuka terkait WK adalah kenyataan bahwa begitu rendahnya minat investor guna mengikuti lelang WK migas yang dilakukan Pemerintah pada setiap tahun. Contoh, pada 2015 kemarin, penawaran delapan WK migas malah tidak berjodoh dengan pemenangnya. Alias, nihil. Kenihilan hasil lelang WK migas ini seakan membenarkan bahwa industri hulu migas Indonesia memang kurang atraktif. 

Dengan kondisi seperti ini, menurut Taslim lagi, kekhawatiran bahwa cadangan migas tidak akan mencukupi kebutuhan jangka panjang menjadi sangat masuk akal. Apalagi, kebutuhan minyak mentah Indonesia saat ini sebesar 1,4 juta bph, dan ironisnya produksi nasional cuma pada kisaran 800 ribu bph. “Walaupun produksi gas meningkat, tapi kalau pengembangan beberapa proyek besar tertunda, maka praktis produksi gas Indonesia tak akan sanggup memenuhi kebutuhan dalam negeri, terutama pada sektor kelistrikan,” terangnya.

Statistik Distribusi Penerimaan Negara pada sektor industri hulu migas. (Sumber: SKK Migas)
Statistik Distribusi Penerimaan Negara pada sektor industri hulu migas. (Sumber: SKK Migas)
Statistik Transaksi Melalui Perbankan Nasional pada sektor industri hulu migas. (Sumber: SKK Migas)
Statistik Transaksi Melalui Perbankan Nasional pada sektor industri hulu migas. (Sumber: SKK Migas)
Kendala lain yang juga tengah dihadapi industri hulu migas, papar Taslim, adalah fasilitas operasi produksi yang sudah tua, cadangan migas yang semakin menipis, penurunan produksi migas, migas yang masih mendominasi penggunaan energi primer, dan rasio penggantian cadangan (reserves replacement ratio/RRR) yang minus 50 persen. [Agar bisnis hulu migas bisa berkelanjutan, nilai RRR seharusnya minimal 100 persen, mengacu kepada pernyataan Deputi Pengendalian Perencanaan SKK Migas, Gunawan Sutadiwiria, belum lama ini di Bandung]  

Yang cukup membuat miris peserta Kompasiana Nangkring adalah ketika Taslim menyodorkan fakta bahwa status ketahanan migas Indonesia sudah “Lampu Merah”. Waduh, ini jelas gawat!

“Diperkirakan, mulai 2019 nanti, produksi minyak dan gas di Indonesia akan terus mengalami penurunan sampai dengan 2025. Untuk minyak, sebenarnya puncak produksi sudah mencapai tahap puncaknya pada 1995 (second peak oil year), lalu kemudian terus menerus terjadi penurunan, meski sempat naik pada 2016 ini, tapi setelah itu akan kembali turun lagi. Begitu pun gas bumi, puncak kiri dan kanan (peak gas) hanya terjadi pada 2010 dan 2018, sementara pada rentang kedua tahun ini terjadi fluktuasi yang cenderung turun. Nah, mulai 2019 nanti, barulah produksi minyak dan gas bumi diramalkan akan sama-sama terus menurun. Inilah yang dimaksud status “lampu merah” untuk kemandirian atau ketahanan energi Indonesia,” ujar Taslim prihatin, seraya berharap agar aktivitas eksplorasi dan eksploitasi terus berlangsung, sehingga kecukupan energi nasional pada 2025 dapat terpenuhi. “Jangan dulu bicara ekspor migas, bahkan untuk memenuhi kebutuhan energi migas nasional pun belum mencukupi”.

Tiga tahun lalu, kondisi ketahanan energi yang memprihatinkan pernah pula disampaikan Marwan Batubara, peneliti Indonesian Resources Studies. Menurutnya, pertumbuhan rata-rata energi global hingga 2035 diperkirakan mencapai 1,4 persen per tahun. Sementara peningkatan konsumsi energi global mencapai 12,4 Mtoe (2010), dan 16,7 Mtoe (2035). [Mtoe = Million Tonnes of Oil Equivalent. 1 ton = 7,3 barel]. Adapun peningkatan konsumsi minyak, ditaksir sebesar 87,5 barel per hari/bph (2012), dan diestimasikan menjadi 100 bph (2022). Sementara, pertumbuhan energi nasional hanya 4 persen per tahun. Sedangkan impor minyak mentah dan BBM terus meningkat, sekaligus pula pembangunan kilang migas stagnan. Kesimpulannya, ketahanan energi nasional rapuh.

Tabel yang menunjukkan bahwa Ketahanan Migas Indonesia berada dalam status Lampu Merah. (Sumber: SKK Migas)
Tabel yang menunjukkan bahwa Ketahanan Migas Indonesia berada dalam status Lampu Merah. (Sumber: SKK Migas)
Kondisi miris ini tentulah bertolakbelakang dengan amanat UU No.30/2007 tentang Energi, yang diantaranya menjabarkan tujuan pengelolaan energi yaitu (a). Tercapainya kemandirian pengelolaan energi. (b). Terjaminnya ketersediaan energi dalam negeri, baik dari sumber di dalam maupun di luar negeri. (c). Tersedianya sumber energi dari dalam negeri dan/atau luar negeri. (d). Terjaminnya pengelolaan sumber daya energi secara optimal, terpadu dan berkelanjutan. (e). Termanfaatkannya energi secara efisien di semua sektor. (f). Tercapainya peningkatan akses masyarakat yang tidak mampu dan/atau yang tinggal di daerah terpencil terhadap energi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata. (g). Tercapainya pengembangan kemampuan industri energi dan jasa energi dalam negeri agar mandiri dan meningkatkan profesionalisme SDM. (h). Terciptanya lapangan kerja. (i). Terjaganya kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Undang-undang ini sekaligus menunjukkan pergeseran paradigma, dari semula yang hanya memprioritaskan ekspor energi kepada kebijakan energi yang lebih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Bahkan melalui pasal 5 UU Energi ini antara lain menyatakan: Untuk menjamin ketahanan energi nasional, pemerintah wajib menyediakan cadangan penyangga energi. Tapi faktanya? Malah muncul pernyataan status “lampu merah”, penilaian “rapuh” dan sejenisnya. Hmmmm

Semangat perbaikan, sempat diletupkan Pemerintahan SBY – Boediono. Ketika membuka konferensi, pameran industri minyak dan gas Indonesian Petroleum Association (IPA) ke-34 pada 18-20 Mei 2010, Wapres Boediono menandaskan, peran migas telah berubah. Semula hanya sebagai sumber penerimaan negara maupun ekspor, maka kini menjadi bagian dari sistem energi penyangga perekonomian nasional. Sasaran produksi migas tidak lagi semata untuk pendapatan negara dan kebutuhan ekspor, tetapi juga pertumbuhan ekonomi masyarakat Indonesia.

Benang merah antara produksi migas dan pertumbuhan ekonomi masyarakat ini, dipaparkan pula oleh Taslim. Menurut pria berkumis yang mengaku belum lama memegang tampuk sebagai Kabag Humas SKK Migas ini, multiplier effect economyindustri hulu migas begitu cair dan potensial. “Karena, pada setiap pembelanjaan US$ 1 juta oleh industri hulu migas dampaknya akan menghasilkan, output ekonomi sejumlah US$ 1,6 juta. Juga, tambahan GDP US$ 0,7 juta, tambahan pendapatan rumah tangga Rp 200 juta, dan tambahan lapangan kerja sebanyak 100 orang,” ungkapnya.

Diagram multiplier effect economy dari setiap pembelanjaan di sektor industri hulu migas. (Sumber: SKK Migas)
Diagram multiplier effect economy dari setiap pembelanjaan di sektor industri hulu migas. (Sumber: SKK Migas)
Sebagai contoh, tukas Taslim, yang terjadi pada masa lalu di Blok Natuna Alpha, yang waktu itu ditandatangani oleh Pak BJ Habibie kepada PT Exxon Mobil, dan ada saja pihak-pihak yang menganggap bahwa Indonesia secara relatif hanya mendapatkan pemasukan berupa pajak yang dibayarkan oleh pihak kontraktor saja. “Tetapi, Pak BJ Habibie berpikiran bahwa Indonesia sebenarnya tidak hanya memperoleh pemasukan pajak saja, tetapi juga multiplier effect economy dari modal besar yang ditanamkan PT Exxon Mobil di Natuna,” ujarnya.

Tawaran Solusi Iklim Investasi

Indonesia mempunyai luas wilayah yang sangat besar, 5.193.250 km2, mencakup daratan dan lautan. Sejarah industri Migas mencatat, Indonesia pernah menjadi penghasil Migas terbesar di Asia Tenggara. Saat ini pun, terdapat sejumlah lapangan Migas besar yang berhasil ditemukan tapi belum dikembangkan maksimal. Misalnya Lapangan Gas Tangguh di Papua Barat, Gas Abadi Blok Masela di Maluku, Jangkrik Blok Muara Bakau di Kalimantan, Indonesia Deepwater Development (IDD) Chevron, dan masih banyak lagi.

“Kalaupun ada yang menyangsikan bahwa Indonesia masih memiliki banyak cadangan sumber daya alam, khususnya migas, maka untuk menjawab keraguan tersebut harus dilakukan secara hati-hati. Karena keraguan itu bisa saja benar, tetapi juga bisa salah. Kalau melihat dari cadangan-cadangan migas yang sudah ditemukan, memang kita akui terjadi penyusutan. Itu bertul. Tapi, apakah eksplorasi sebenarnya sudah dilakukan maksimal? Jawabannya, belum! Makanya kita harus melihat cadangan-cadangan migas yang belum ditemukan, karena cekungan-cekungan yang ada di Indonesia itu banyak sekali. Mengapa belum ditemukan, boleh jadi karena memang trend eksplorasi bergerak ke Timur Indonesia dengan berbagai kendala beratnya, seperti lautnya yang sangat dalam, minim infrastruktur, sampai kepada lokasi yang terpencil,” urai Meity selaku Direktur Eksekutif IPA yang juga tampil sebagai pembicara pada talkshow ‘Kompasiana Nangkring Bareng SKK Migas’.

Potensi sumber migas yang luar biasa besar ini menurut Meity, wajib dilihat dan diselaraskan dengan bunyi Pasal 33 ayat 3 UUD ’45 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

“Artinya, kekayaan alam --- termasuk migas --- dimiliki oleh Pemerintah. Pasal 33 ayat 3 ini bagi saya ini penting, karena walaupun ada investor yang menjadi operator dari suatu wilayah kerja, tapi asset, minyak, gas dan semua peralatan adalah punya Negara. Jadi, ini bukan seperti business as usual, artinya selain si investor ini membawa uang dan teknologi, tapi si investor ini seperti tukang garap saja. Tapi, ini tukang garap yang bawa uang dan teknologi. Sehingga Pemerintah Indonesia tidak perlu lagi menaruh uangnya lebih dahulu. Tetapi, Pemerintah tetap berada pada posisi yang benar-benar sebagai pemegang kendali. Sehingga, investor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi di Indonesia, setiap tahun harus memaparkan rencana kerja secara detil, dan harus disetujui Pemerintah Indonesia terlebih dahulu, baru kemudian diizinkan untuk melakukan pekerjaannya,” urainya berapi-api.

Meity, Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association/IPA. (Foto: Gapey Sandy)
Meity, Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association/IPA. (Foto: Gapey Sandy)
Modal besar, pengalaman kerja dan teknologi tinggi memang menjadi syarat mutlak bagi perusahaan migas yang akan ditunjuk Pemerintah sebagai investor, karena kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam sungguh memiliki risiko tinggi. “Pemerintah tidak mungkin mengalokasikan dana APBN untuk membiayai eksplorasi yang penuh risiko. Maka dari itu, risiko eksplorasi adalah tanggung-jawab investor. Adapun pembiayaan eksploitasi dilakukan dahulu oleh investor bersama mitranya, untuk kemudian akan diganti secara bertahap setelah produksi mencukupi,” jelas Meity yang memang menamatkan studinya di bidang perminyakan.

Kerjasama antara Pemerintah dan Perusahaan Migas ini, kata Meity, berbentuk Kontrak Bagi Hasil, dengan kendali penuh di tangan Pemerintah --- melalui SKK Migas ---, salah satu implementasinya adalah seluruh rencana kerja, anggaran, dan pelaksanaannya wajib disetujui oleh Pemerintah.

Sesudah mengetahui besarnya potensi migas dan asas pemanfaatan sesuai amanah UUD ’45, tetap dibutuhkan kerjasama dengan kalangan investor. Mengapa? Karena, bukan cuma modal raksasa yang dibutuhkan tapi juga sumber daya manusia yang mumpuni dan teknologi tinggi.

“Industri migas membutuhkan uang yang besar, karena itulah mengapa sangat memerlukan investor yang membawa uang, bukan sekadar investor yang hanya berharap murni bagi hasil saja. Selain membawa uang, investor juga pasti akan membawa teknologi tinggi. Terkait teknologi, Pemerintah Indonesia pun apabila hendak menyerahkan satu wilayah kerja, akan selalu didahului dengan menganalisis, diantaranya, apakah calon perusahaan yang akan diberikan wilayah kerja memiliki kinerja perusahaan yang baik atau buruk, pengalaman perusahaan dalam bisnis migas, dan memenuhi standar serta peraturan untuk melakukan aktivitas migas atau atau tidak,” jelas Meity.

Suasana Kompasiana Nangkring Bareng SKK Migas. (Foto: Gapey Sandy)
Suasana Kompasiana Nangkring Bareng SKK Migas. (Foto: Gapey Sandy)
Ketika investor datang dan hendak melakukan eksplorasi juga eksploitasi sumur Migas di Indonesia, masuk akal apabila banyak sekali tantangan yang dihadapi. Bukan melulu soal kemampuan dan pengalaman an sich, tapi juga yang bersifat eksternal apalagi internal.

“Mulai dari harga minyak dunia yang semakin anjlok, meskipun disertai juga dengan penurunan sejumlah pos-pos biaya produksi. Adanya PP No.79/2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Migas Bumi, dimana PP ini diminta untuk segera direvisi. Biaya pengeboran eksplorasi yang makin mahal karena trend eksplorasi Migas mengarah ke wilayah Timur Indonesia yang notabene minim infrastruktur, dan offshore atau lepas pantai. Biaya operasional Migas yang ada saat ini semakin besar akibat sumur produksi yang dikelola sudah tua, sehingga laju produksi tidak berbanding lurus dengan biaya. Kondisi sumur produksi yang sudah tua menjadikan cost maintenance dan cost recovery menjadi mahal,” ungkap Meity terlahir dari keluarga yang bekerja pada bidang oil and gas.

Selain itu, imbuh Meity, banyaknya perizinan baik di tingkat pusat maupun daerah yang harus dipenuhi menyebabkan tidak adanya kepastian aturan terkait operasi Migas. Juga, banyak peraturan yang saling tumpang tindih antarinstansi terkait operasi Migas, baik di tingkat Pusat maupun Daerah. Dan, ketiadaan otoritas tunggal yang dapat menyelesaikan sengketa diantara instansi Pemerintah.

Usai membedah tantangan investasi, Meity pun menyodorkan sejumlah harapan agar karpet merah untuk para tukang garap Migas kian menarik. “Pada tahap eksplorasi misalnya. Pemerintah hendaknya memberikan insentif kepada perusahaan Migas dalam bentuk perpanjangan masa eksplorasi, perubahan PP No.79/2010, pengurangan jumlah perizinan yang diperlukan --- jangan sampai panjangnya rantai birokrasi malah memperpendek masa eksplorasi, penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) --- dengan alasan tahap eksplorasi belum tentu sepenuhnya menemukan dan menghasilkan Migas, serta pajak impor barang. Dan, yang juga penting adalah melakukan koordinasi fungsi terkait pada tingkat Pusat dan Daerah,” harap Meity yang sudah malang melintang bekerja di beberapa perusahaan Migas internasional.

Ilustrasi Prinsip Dasar Kontrak Kerja Sama di Sektor Hulu Migas. Sumber: SKK Migas)
Ilustrasi Prinsip Dasar Kontrak Kerja Sama di Sektor Hulu Migas. Sumber: SKK Migas)
Sedangkan pada tahap eksploitasi, lanjut Meity lagi, Pemerintah dapat memberikan insentif kepada perusahaan Migas dengan detil sebagai berikut: kepastian hukum bahwa kegiatan eksploitasi Migas merupakan lex specialist dan merujuk pada PSC Contract; pengurangan jumlah perizinan yang diperlukan; mengkoordinasikan fungsi terkait pada tingkat Pusat dan Daerah; serta, menentukan otoritas tunggal dalam penyelesaian sengketa antarinstansi baik di Pusat maupun Daerah.

Ciptakan Iklim Kondusif Investasi Hulu Migas

Mencermati perkembangan aktual yang terjadi di sektor industri hulu migas, tak pelak sejumlah saran perbaikan --- jangka pendek maupun panjang --- laik dikemukakan. Pertama, membenahi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan utamanya mengganjal bagi pihak investor. Ini bukan semata menuruti kehendak investor semata, melainkan sekaligus mengejawantahkan semangat Pasal 33 ayat 3 UUD ’45, sambil melakukan scanning and defragmenting terhadap beberapa peraturan yang terlanjur jadi maklumat.

Sebut saja misalnya, melakukan revisi atas PP No.79/2010 seperti yang dikeluhkan investor, termasuk menegosiasikan kembali pemberlakukan PBB pada tahap eksplorasi. Syukurlah, lampu hijau Pemerintah sudah menyala untuk kedua perubahan non-teknis tetapi mendasar ini. Bahkan diakui, dari tujuh klausul PP No.79/2010 yang dipergunjingkan, tiga diantaranya menjadi sangat prioritas guna meningkatkan laju investasi sektor hulu migas. Ketiganya adalah kepastian hukum, iklim investasi yang atraktif, dan penataan perpajakan atau fiskal. Bagaimana dengan pemberlakuan PBB? Usulan sementara ini sepertinya sudah manut pada keberatan investor, yakni PBB ditanggung oleh Pemerintah, atau kembali menggunakan prinsip assume and discharge.

Setidaknya hal ini sudah disampaikan Menko Bidang Kemaritiman sekaligus Plt Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Luhut Binsar Pandjaitan, pada 24 Agustus kemarin. “Fokus utama revisi terkait tiga pokok masalah, yakni investasi, perpajakan dan deregulasi. Pada sisi investasi, pengusaha meminta adanya internal rate of return atau IRR yang lebih tinggi dari biasanya. Sementara pada perpajakan, para usahawan berharap keringanan beban pajak saat melakukan eksplorasi. Kita paham, risiko eksplorasi cukup besar dan berpotensi tidak memperoleh hasil seperti yang diekspektasikan. Sedangkan di sisi deregulasi, perlu adanya stimulus aturan yang mampu mendorong pelaku usaha menggenjot kinerjanya, khususnya eksplorasi,” tuturnya.

Pernyataan Luhut Binsar Panjaitan ini tentu angin segar yang semriwing bagi investor.

Tanker Pertamina yang bermuatan LPG di lepas pantai Situbondo. (Foto: Gapey Sandy)
Tanker Pertamina yang bermuatan LPG di lepas pantai Situbondo. (Foto: Gapey Sandy)
Penulis ketika berada di atas anjungan tanker Pertamina Gas 2. (Foto: Gapey Sandy)
Penulis ketika berada di atas anjungan tanker Pertamina Gas 2. (Foto: Gapey Sandy)
Sambil jalan, Pemerintah juga diharapkan meniadakan tumpang-tindih peraturan. Seperti disampaikan pihak investor, khusus menyangkut audit biaya produksi. Menurut mereka, siapa sebenarnya instansi Pemerintah yang tepat melakukan audit biaya produksi? Maklum, ada kebingungan di lapangan, karena Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) meng-audit, SKK Migas meng-audit, begitupun Dirjen Pajak. Semua meng-audit. Apa tidak seharusnya ditegaskan ‘satu pintu’ saja?

Kedua, seperti sudah dikemukakan sejak awal tulisan ini, “derita hulu migas” diantaranya adalah belum terbangunnya infrastruktur. Utamanya yang mampu “mengalirkan” migas dari lokasi-lokasi yang semakin nge-trend menjangkau ke arah Timur Indonesia menuju ke penyebaran yang merata. Kita yakin, Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla memang selalu memprioritaskan pembangunan yang mulai dititikberatkan pada perbatasan terluar dan terpencil. Tetapi harapannya, fokus “Kerja Nyata” yang menjadi semboyan peringatan HUT RI ke-71 tahun ini, benar-benar dapat merembes pada pembangunan infrastruktur pada sektor upstream migas ini.

Tol laut? Bisa jadi salah satu keyword yang tidak boleh berhenti kita dukung untuk terus diterapkan, selain mematut lagi cara mengalirkan dengan pipa. Bukankah Indonesia ini Negara Martim, Negara Kepulauan? Masak sih “mengalirkan” migas melalui transportasi laut pun masih belum kunjung mumpuni?

Ketiga, mendesak segera dilaksanakannya kerjasama eksplorasi migas bersama TNI Angkatan Laut (AL) seperti disampaikan wacananya oleh Luhut Binsar Panjaitan. Mengapa ini penting? Ya, karena eksplorasi adalah tahapan penting aktivitas usaha hulu migas. Bagaimana mungkin menemukan cadangan migas baru tanpa eksplorasi, mulai dari studi geologi, geofisika, survei seismik, sampai pengeboran? Jelas, nonsense!

Salah satu lokasi eksplorasi migas di laut. (Foto: eksplorasi.id)
Salah satu lokasi eksplorasi migas di laut. (Foto: eksplorasi.id)
Bagaimana dengan budget eksplorasi yang meraksasa? Inilah konsekwensi. Kegiatan eksplorasi dengan biaya super mahal memang belum tentu bergayung sambut dengan penemuan cadangan migas baru. Tetapi, kalau tidak dimulai, terus mau sampai kapan kita menemukan cadangan migas-migas anyar itu? Makanya, segala biaya disinsentif yang menjadi ganjalan eksplorasi harus di-delete. Berharap dengan begitu, investor akan tertarik dengan iklim investasi hulu migas yang atraktif. Sebagai gambaran betapa super mahalnya biaya eksplorasi adalah seperti yang dilakukan pada 2009-2013. Sebanyak delapan perusahaan migas melakukan eksplorasi di Selat Makassar dan Sulawesi, dengan mengeluarkan biaya senilai kurang lebih Rp 13 triliun. Hasilnya? Belum menemukan cadangan migas yang bernilai ekonomis.

Kebayang toh, bagaimana kalau aktvitas eksplorasi belum menemukan cadangan migas baru. Uang sudah banyak keluar tapi pemasukan sama sekali nihil. Kebayang lagi, kalau pada tahap ini investor sudah dijejali tagihan ini-itu yang artinya sama dengan disinsentif.

Keempat, melakukan efisiensi penggunaan bahan bakar dan menerapkan diversifikasi bahan bakar. Mengapa? Begini. Berapapun cadangan migas dimiliki, pada kurun waktu tertentu akan habis. Pada 2015, cadangan minyak Indonesia 3,6 miliar barel dengan produksi 784 ribu barel per hari. Sedangkan jumlah lapangan (field) berjumlah 757 unit. Sementara gas bumi. Pada 2015 menujukkan cadangan sebesar 98 TCF dengan produksi mencapai 7,893 MMscfd. Adapun jumlah field mencapai 478 unit. Dengan cadangan migas sebanyak ini, kalangan peneliti meyakini, minyak bumi akan habis dalam tempo 10 tahun dengan tingkat konsumsi seperti saat sekarang ini. Sedangkan gas bumi, masih bisa bertahan hingga 37 tahun ke depan, juga dengan angka konsumsi yang besarannya seperti saat ini.

Bolehlah sedikit berkaca pada negeri jiran, Malaysia. Pemerintah setempat mulai memberlakukan diversifikasi bahan bakar sejak 1979 melalui Kebijakan Energi Nasional, kemudian dilanjutkan dengan Kebijakan Penipisan Nasional (1980), dan Kebijakan Diversifikasi Bahan Bakar pada 1981. Utamanya, Malaysia menetapkan tiga target: mengamankan kecukupan, keamanan dan biaya efektif dengan mengembangkan sumber-sumber energi asli, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak; mempromosikan efisiensi baham bakar sambil mencegah pemborosan; dan ujungnya menyelamatkan lingkungan hidup sebagai akibat pemakaian bahan bakar. Hasilnya? Malaysia mampu mengemilinir ketergantungan konsumsi minyak dari sebesar 71,4 persen (1990), lalu menjadi 53,1 persen (2000), dan menjadi 6 persen (2003).

Antrian kendaraan mengisi bahan bakar di SPBU. (Foto: metrosulawesi.com)
Antrian kendaraan mengisi bahan bakar di SPBU. (Foto: metrosulawesi.com)
Indonesia sendiri, juga terus melakukan hal yang sama pada sektor hilir (downstream) migas ini. Utamanya, pada gerakan hemat energi, stop pemborosan migas, melakukan diversifikasi bahan bakar menjadi gas bumi, listrik tenaga surya dan sebagainya. Artinya, pada sektor hilir migas, sudah dapat dikatakan sanggup “bersinergi” dengan sektor hulunya. Ini kunci jawaban guna mendukung iklim investasi yang penting juga bukan?

Kelima, menemukan dan memanfaatkan sumber energi terbarukan. Lagi-lagi, masalah yang akan dihadapi adalah soal klasik, yakni biaya penelitian dan pengembangan untuk sumber energi terbarukan yang akan membengkak. Tapi, membayangkan bagaimana hasilnya akan berdayaguna dan kaya manfaat bagi masyarakat dengan menggunakan sumber energi terbarukan yang tersedia ‘gratis’ dari alam sekitar, akan sangat melegakan.

Penulis pernah mengikuti perjalanan Presiden Joko Widodo beserta rombongan, tepatnya pada 27 Desember 2015, dalam rangkaian peresmian Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 5 MWP di Desa Oelpuah, Kupang, NTT. [Lihat foto] Peresmian listrik tenaga surya ini disambut hangat masyarakat setempat yang selama ini memang memiliki keluhan terhadap pasokan aliran listrik. Proyek-proyek seperti demikian hendaknya semakin menjamur lagi di Indonesia yang sebenarnya dianugerahi kekayaan sinar sang surya.

Oh iya, sebagai cerminan betapa mahalnya biaya riset litbang sumber energi terbarukan adalah seperti yang dilakukan Jerman. Pada 1974, negara asal tim sepakbola raksasa Bayern Muenchen ini mengeluarkan kocek US$ 20 juta untuk aktivitas litbang energi terbarui. Kemudian, meningkat jadi US$ 300 juta pada 1982. Selama 1977 – 1982, Jerman fokus pada bagaimana memanfaatkan energi turbin dan tenaga surya. Hasilnya? Pada 1990-an, energi turbin menempati posisi kedua yang dimanfaatkan. Pada kurun yang sama, energi tenaga surya juga sanggup diimplementasikan dengan sekitar 70 instalasi besar guna memenuhi beragam keperluan.

Presiden Joko Widodo ketika meresmikan PLTS di Desa Oelpuah, Kupang, NTT, pada akhir 27 Desember 2015. (Foto: Gapey Sandy)
Presiden Joko Widodo ketika meresmikan PLTS di Desa Oelpuah, Kupang, NTT, pada akhir 27 Desember 2015. (Foto: Gapey Sandy)
Panel listrik tenaga surya untuk PLTS yang diresmikan Joko Widodo di Desa Oelpuah, Kupang, NTT, pada akhir 27 Desember 2015. (Foto: Gapey Sandy)
Panel listrik tenaga surya untuk PLTS yang diresmikan Joko Widodo di Desa Oelpuah, Kupang, NTT, pada akhir 27 Desember 2015. (Foto: Gapey Sandy)
Keenam, konsistensi dan fokus untuk terus mensukseskan kebijakan energi nasional. Hal ini sebenarnya sudah lama disampaikan banyak kalangan, termasuk Tirta N Mursitama dan Maisa Yudono (2010), peneliti yang menelurkan buku Strategi Tiga Naga – Ekonomi Politik Industri Minyak Cina di Indonesia. Tanpa konsistensi, masing-masing stakeholders berada dalam kebingungan sehingga berdampak pada saling main tafsir nafsi-nafsi atau sendiri-sendiri. Tanpa fokus, berat sekali bagi kebijakan energi nasional membawa dampak manfaat demi pembangunan Indonesia jangka panjang. Kita semua, tentu tidak mau itu!


o o o O o o o

Tonton di sini, Video Blogging (VLOG)-nya.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun